Pernikahan Bukan Hanya Soal Cinta

Denpasar,b-Oneindonesia – “Pernikahan bukan hanya soal cinta belaka. Anak-anak harus diberi pemahaman sejak dini apa itu pernikahan sebab menikah juga membutuhkan perencanaan yang matang untuk masa depan,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga saat membuka Sosialisasi Pendidikan Pranikah dengan tema “Kita Perkuat Karakter Generasi Muda dalam Merencanakan Keluarga Sejahtera dan Berkualitas” bagi pelajar SMA/SMK se-Kota Denpasar yang diselenggarakan dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) Ke-32, di Kota Denpasar, Bali(07/02/20)

Perkawinan usia anak dapat mengancam pemenuhan hak-hak dasar anak termasuk merenggut masa depan anak itu sendiri. Padahal jelas tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dimana kita harus memastikan semua hak-hak anak dapat terpenuhi.

Menteri Bintang menuturkan sudah menjadi tugas kita bersama untuk menjamin pemenuhan hak anak serta berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak termasuk di dalamnya memberikan edukasi terkait perkawinan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, sebanyak 11,21% perempuan berusia 20-24 tahun yang telah menikah dan melaksanakan pernikahan pada usia anak. Sebanyak 20 provinsi memiliki angka perkawinan yang lebih tinggi dari rata-rata nasional dimana Provinsi Bali berada pada posisi ke-26 dengan angka perkawinan usia anak tertinggi.

Sementara itu, Walikota Denpasar, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra mengatakan berbagai upaya akan terus dilakukan untuk mencegah perkawinan usia anak. “Sosialisasi seperti ini sangat baik dan harus terus dilakukan. Menikah itu membutuhkan perencanaan yang baik dan matang. Tingkat kedewasaan dan kesiapan mental akan berpengaruh terhadap kemampuan untuk memilah mana yang baik dan buruk, keputusan apa yang harus diambil dalam menghadapi masalah,” tambah Dharmawijaya.

Salah satu langkah yang diambil Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dalam mencegah perkawinan anak yakni dengan menargetkan penurunan angka perkawinan anak dari 11,21% menjadi 8,74% yang tertuangan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Selain itu pengesahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga menjadi langkah progresif yang telah diambil Kemen PPPA.

Anak-anak peserta sosialisasi tentunya menyambut baik sosialisasi pendidikan pranikah yang mendukung penurunan angka perkawinan anak. Salah satunya Shanti, peserta sosialisasi pendidikan pranikah mengatakan setuju dengan kampanye stop perkawinan anak ini. “Memberikan pendidikan pranikah pada pelajar SMA/SMK merupakan langkah yang tepat, ini juga dapat mendukung agar pelajar ini memilih untuk melanjutkan pendidikan dibanding menikah muda. Melalui sosialisasi ini diharapkan mampu mengedukasi bagaimana perencanaan yang baik dan benar,” ujar Shanti.

Begitu banyak dampak negatif dari perkawinan anak diantaranya, kurangnya kesiapan fisik anak perempuan untuk mengandung dan melahirkan sehingga dapat meningkatkan risiko angka kematian ibu dan anak. Selain itu, ketidaksiapan mental untuk membina rumah tangga juga meningkatkan resiko kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, ketidaksehatan mental, dan pemberian pola asuh yang tidak tepat pada generasi selanjutnya.

“Impian Indonesia bebas perkawinan anak akan terwujud dengan sinergi dari seluruh pihak dari berbagai pelaku pembangunan baik pemerintah tingkat pusat, daerah, akademisi, lembaga masyarakat maupun dunia usaha, termasuk WHDI. Semoga kerja sama antara pemerintah dan WHDI yang selama ini terjalin dengan baik dapat terus berlanjutb untuk melindungi anak-anak Indonesia,” ujar Menteri Bintang.

Komentar