INDUSTRI HULU MINYAK DAN GAS BUMI DI INDONESIA BERKEMBANG BERIRINGAN DENGAN PENGEMBANGAN ENERGI BARU DAN TERBARUKAN

Jakarta b-oneindonesia-Indonesia ke depan masih membutuhkan energi fosil minyak dan gas bumi, meskipun energi baru dan terbarukan akan dikembangkan secara massif. Demikian ditegaskan oleh DR. (Cand) Didik Sasono Setyadi, SH, MH, Kepala Divisi Formalitas yang juga merangkap Plt. Kepala Divisi Hukum SKK Migas dalam acara Webinar “Kepastian Hukum dan Pengaruhnya Terhadap Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan” (Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi / EBTKE) yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FHUA) di Jabodetabek bersama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya pada hari Sabtu 20 Maret 2021.

“Berdasarkan data bauran energi nasional, di tahun 2025 dan tahun 2050, prosentase bauran energi fosil dari minyak dan gas bumi dalam roadmap kebijakan bauran energi memang menurun tapi tolong jangan hanya dilihat prosentasenya saja ya, mari kita lihat angka pembilang dan pembaginya. Dari situ jelas terlihat bahwa volume kebutuhan energi berbasis fosil di tahun 2025 dan 2050 ternyata malah meningkat dibandingkan sekarang, meskipun prosentasenya tampaknya turun”, kata Didik.

Didik yang sekaligus Ketua Alumni FHUA di Jabobetabek ini menggaris bawahi bahwa kebutuhan mengembangkan EBTKE bagi Indonesia bukanlah semata-mata untuk memenuhi komitmen Paris Agreement yang telah diratifikasi oleh Indonesia, namun juga harus dilihat dari perspektif kebutuhan ketahanan energi nasional yang dipastikan akan meningkat seiring dengan bonus demografi Indonesia ke depan, serta mempertimbangkan dengan adanya kecenderungan (trend) penurunan alamiah dari suplai energi tak terbarukan (fosil base).

“Jadi menurut saya, antara energi migas dan EBTKE sampai beberapa dasa warsa ke depan, sifatnya masih komplementer (saling melengkapi) ketimbang substitutif (menggantikan)”, lanjut Didik.

Hal tersebut diamini oleh Dhanny Jauhar, SH, LLM, Alumni FHUA, nara sumber yang berprofesi sebagai Senior Legal Advisor KUFPEC (Kuwait Foreign Petroleum Exploration Company) yang menyatakan bahwa ketergantungan kita terhadap energi fosil tidak akan hilang, setidaknya sampai dengan beberapa puluh tahun ke depan.

“Itulah mengapa SKK Migas melakukan ekplorasi yang masih dan menetapkan target produksi minyak sebesar satu juta barel oil per hari serta gas sebesar dua belas milyar kaki kubik per hari pada tahun dua ribu tiga puluh”, kata Dhanny.

Ia juga menambahkan bahwa dewasa ini makin banyak perusahaan energi dunia berbasis energi fosil yang tertarik bertransformasi untuk menjadi perusahaan EBTKE.

Didik yang menjadi pembicara pertama dalam Webinar tersebut menyampaikan materi berjudul “Lesson Learned Tata Kelola Hulu Migas. Strategi untuk Mengembangkan Energi Baru dan Terbarukan” sangat perlu bagi para Stakeholders EBTKE untuk memperhatikan empat faktor Utama dalam investasi EBTKE yaitu: potensi cadangan, potensi pasar / serapan, sistem / kebijakan fiscal, kemudahan berusaha. Dua faktor pertama merupakan business risk dan dua faktor berikutnya merupakan country risk / kepastian hukum.

Lebih dalam lagi terkait dengan kepastian hukum yang menjadi thema sentral Webinar ini, Didik menyoroti “Contract Sanctity atau penghormatan terhadap kontrak harus benar-benar dijaga, jangan sampai kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat bersama Investor dengan mudah di tengah jalan diubah dengan peraturan / kebijakan tertentu oleh pemerintah di kemudian hari” Disamping itu masalah banyaknya Perizinan dan sulitnya Pengadaan Lahan yang selama ini banyak dikeluhkan; Standar Audit oleh pemerintah yang terkadang belum sesuai dengan perkembangan sistem yang berlaku di dunia usaha; serta adanya Penegakan Hukum yang kadang bersifat kriminalisasi terhadap keputusan-keputusan bisnis yang nature-nya menuntut adanya breakthrough serta fleksibilitas yang tinggi, semuanya perlu diperhatikan. Hal-hal yang dapat menyebabkan ketidak pastian hukum seperti itu yang saat ini sering dihadapi oleh Industri Hulu Migas harus terus menerus diperbaiki guna mendukung Tata Kelola EBTKE yang akan diprioritaskan untuk dikembangkan.

Webinar Nasional ini menghadirkan seluruh pembicara / nara sumber yang merupakan alumni Fakultas Hukum Universitas Airlangga dari berbagai angkatan. Keynote Speech pun disampaikan oleh Eko SA Cahyanto, SH, LLM, Direktur Jenderal Ketahanan Perwilayahan dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian yang juga seorang Alumni FHUA.

Pada kesempatan tersebut Eko menyampaikan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015 – 2035, dimulai dari pemanfaatan optimal Sumber Daya Alam kemudian berlanjut pada Sumber Daya Manusia, hingga pada akhirnya akan mengandalkan pada pemanfaatan Sumber Daya Buatan berbasis Inovasi dan Teknologi.

Narasumber lain adalah Agung Siswanto, SH, MM, VP Expert Development & PLN Group yang memaparkan bagaimana PLN mempersiapkan diri menyambut pengembangan EBTKE ke depan. Selain itu Webinar ini juga menghadirkan Johannes Sahetappy – Engel, SH, MH, serta M Kasmali, SH, LLM dari keduanya adalah Lawyers terkenal di kalangan Investor / Perusahaan Pertambangan dan Energi Internasional. Mereka masing-masing menyampaikan paparan tentang RUU EBTKE serta PP-PP dari Undang-undang Cipater yang menurut mereka sudah cukup ramah terhadap investor.

Webinar yang dimoderatori oleh Fessy Alwi, SH, MKN, alumni FHUA Angkatan tahun 1998 diakhiri oleh catatan dan rangkuman dari Iman Prihandono, SH, MH, LLM, PhD, Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang mengingatkan agar semua stakeholders tetap memperhatikan dan memprioritaskan isu-isu lingkungan sebagaimana dasar dan tujuan adanya Paris Agreement. Sekalipun kebijakan-kebijakan ramah investasi itu bagus dan diperlukan namun pemerintah dan sektor private jangan sampai melupakan perkembangan masyarakat internasional yang semakin peduli terhadap energi yang bersih untuk lingkungan hidup yang lebih baik. Sekarang semakin banyak gugatan yang dilakukan oleh warga Negara di berbagai Negara di dunia ini, terhadap pemerintah ataupun swasta yang dianggap kurang peduli terhadap semangat Paris Agreement. “Menyadari hal itu, melihat pentingnya pengembangan EBTKE ke depan maka FHUA siap untuk mendirikan Pusat Studi Pengembangan EBTKE” demikian tegas Iman, Dekan Fakultas Hukum yang baru saja mendapatkan Peringkat Terbaik Kedua, setelah Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Komentar