DPR Mulai Munculkan Wacana Penggunaan Hak Angket Skandal Jiwasraya

Jakarta,b-oneindonesia- Wacana penggunaan hak angket atas kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang berpotensi merugikan negara hingga Rp13,7 triliun mulai menggelinding dari Senayan, Jakarta.
Penggelindingan wacana ini berbarengan dengan munculnya dorongan agar DPR membentuk Pansus Jiwasraya Gate untuk mengungkap kasus yang merugikan 17.000 nasabah BUMN di bidang asuransi tersebut.

Wacana penggunaan hak angket tersebut disuarakan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Didik Mukrianto, melalui akun Twitter-nya, Sabtu (28/12/2019).

Sebelumnya,  Wasekjen Partai Demokrat,  Andi Arief, telah lebih dulu meminta Presiden Jokowi agar meminta partai-partai koalisinya di DPR agar membentuk Pansus Jiwasraya Gate.

Cuitan Didik yang melontar wacana penggunaan hak angket, disambut anggota Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini dengan respon dukungan pembentukan Pansus Jiwasraya.

Respon Jazuli itu ditanggapi Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKS Hidayat Nurwahid yang juga mendukung pembentukan Pansus Jiwasraya Gate

Seperti diketahui, skandal gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) ditengarai melibatkan orang dalam lingkaran Istana, yakni Hary Prasetyo, tenaga ahli madya Kepala Staf Presiden yang duduk sebagai Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Hary dikabarkan telah kabur ke luar negeri. 

Skandal Jiwasraya dimulai dari produk JP Saving Plan, sebuah produk asuransi jiwa berbalut investasi yang ditawarkan Jiwasraya melalui bank (bancassurance). Produk ini mengawinkan produk asuransi dengan investasi seperti halnya unit link. Bedanya, di Saving Plan risiko investasi ditanggung oleh perusahaan asuransi, sementara risiko investasi unit link di tangan pemegang polis.

Ada tujuh bank yang menjadi penjual produk JP Saving Plan ini,  yakni PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), Standard Chartered Bank, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN), PT Bank QNB Indonesia, PT Bank ANZ Indonesia, PT Bank Victoria International Tbk (BVIC), dan PT Bank KEB Hana. Total polis jatuh tempo atas produk ini pada Oktober-Desember 2019 ialah sebesar Rp 12,4 triliun. 

Manajemen baru BUMN ini mengaku tidak akan sanggup membayar polis nasabah yang mencapai triliunan itu karena dalam kondisi kesulitan keuangan akibat kesalahan investasi yang dilakukan oleh manajemen lama Jiwasraya.
Perseroan sempat menyatakan rasio kecukupan modal perusahaan atau Risk Based Capital (RBC) minus hingga 850%. RBC adalah rasio solvabilitas yang menunjukkan kesehatan keuangan perusahaan asuransi, di mana semakin besar maka makin sehat pula kondisi finansialnya.

Angka ini sangat jauh dari ketentuan OJK dimana syarat modal minimum yang harus dipenuhi oleh perusahaan asuransi baik umum atau jiwa adalah 120%.

Dalam Dokumen Penyelamatan Jiwasraya yang diperoleh media, disebutkan untuk mencapai nilai RBC sampai 120% dibutuhkan dana sebesar Rp 32,89 triliun. Dana tersebut terdiri dari kebutuhan pemenuhan RBC sebesar Rp2,89 triliun dan adanya total ekuitas setelah terjadi impairment asse yakni sebesar Rp30,13 triliun.
Impairment asset adalah penurunan nilai aset karena nilai tercatat aset (carrying amount) melebihi nilai yang akan dipulihkan. Hingga September 2019 ekuitas negatif Jiwasraya sebesar Rp23,92 triliun, sementara kewajiban mencapai Rp49,60 triliun.

Dalam Dokumen Penyehatan Jiwasraya disebutkan periode penyehatan Jiwasraya terbagi dalam lima periode yakni Periode I 2006-2008, Periode II 2009-2010, Periode III 2011-2012, Periode IV 2013-2017, dan Periode V 2018-sekarang.

Dalam rencana penyehatan Keuangan Jiwasraya yang sudah disampaikan ke OJK, menurut management pemenuhan tingkat kesehatan keuangan minimum (RBC > 120%) diproyeksikan baru akan tercapai tahun 2028.
Melalui surat nomor 00512/JIWASRAYA/U/0519 tanggal 22 Mei 2019, perusahaan mengajukan dispensasi atas pengenaan sanksi pemenuhan tingkat kesehatan keuangan minimum sampai dengan tahun 2028.

Mantan Sekretaris Menteri BUMN Muhammad Said Didu dalam sebuah wawancara dengan sebuah stasiun televisi pada 22 Desember 2019) malam, curiga penyebab gagal bayar yang dialami Jiwasraya diakibatkan oleh penggunaan dana perusahaan itu untuk membiayai Pilpres 2019.
“Sebuah perusahaan yang berada pada puncak-puncak sehat langsung anjlok, penyebabnya kemungkinan ada tiga; pimpinannya menjadi gila, ada tsunami ekonomi dan perampokan,” kata dia. 

Ia menjelaskan,  pada 2005 ia menerima laporan dari direksi saat itu bahwa Jiwasraya sakit karena punya utang Rp 6 triliun akibat dampak krisis pada 1998.BUMN itu kemudian dibenahi dan performance-nya terangkat pada 2009, karena pada tahun itu Jiwasraya sudah mulai dapat mencatatkan laba dan bahkan pada 2012-2016 menjadi perusahaan asuransi terbaik di Indonesia. 

Pada 2016 merupakan puncak performance perusahaan ini karena membukukan laba hampir Rp2 triliun,  dan Pada 2017, Jiwasraya menyatakan untung Rp2,3 triliun, tapi dikoreksi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)  menjadi Rp400 miliar. 

“Tahu-tahu 2018 terjadi kerugian puluhan triliun. Yang gak bisa dibayar hampir 1 triliun, tapi potensi ruginya Rp1 triliun. Agak aneh, (karena 2018) tidak ada kejadian apapun kecuali persiapan Pilpres,” ujarnya.

Komentar