Huru-hara RUU Cipta Kerja Berujung Demo Anarkis di Jakarta & Berbagai daerah, Siapa Bertanggung-jawab ?

Jakarta, b-Oneindonesia – Satu per satu fasilitas umum di Ibu Kota Jakarta hancur. Halte bus TransJakarta hingga pos polisi dibakar di banyak tempat. Tak luput gedung pemerintah menjadi sasaran amuk massa, seperti kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jl MH Thamrin. Bentrokan ribuan demonstran yang menolak omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja dengan polisi pecah di Jakarta dan mencapai puncaknya pada Kamis, 8 Oktober 2020.

Bentrokan aparat keamanan dengan massa pendemo juga terjadi di banyak daerah: Bekasi, Sukabumi, Bandung, Tasikmalaya, Cirebon, Semarang, Malang, Surabaya, Denpasar, Medan, Makassar, Kendari, Pontianak, Maluku, dan Yogyakarta. Demo setidaknya dilakukan oleh para buruh, mahasiswa, dan pelajar di 18 provinsi di Indonesia. Massa menduduki gedung dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Di Surabaya, rumah dinas Wali Kota Tri Rismaharini pun disatroni massa.

Rentetan demonstrasi yang berujung kerusuhan ini buntut dari pengesahan RUU Cipta Kerja dalam rapat paripurna DPR RI, Senin, 5 Oktober 2020. Dari sembilan fraksi di DPR, enam fraksi menyetujui pengesahan RUU Cipta Kerja. Satu fraksi, yaitu Partai Amanat Nasional (PAN), menyetujui dengan catatan. Sedangkan dua fraksi lainnya, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menolak. PD melakukan aksi walkout

Pengesahan RUU Cipta Kerja yang dinilai terburu-buru membuat 32 federasi dan konfederasi serikat buruh melakukan mogok nasional pada Selasa-Kamis, 6-8 Oktober. Mogok nasional itu diklaim diikuti oleh sekitar 2 juta buruh di seluruh Indonesia. Mereka juga melakukan aksi unjuk rasa di masing-masing pabrik.

Tak hanya itu, pengesahan omnibus law diprotes para mahasiswa dan pelajar di seluruh Indonesia.
Aksi unjuk rasa semakin tak terkendali pada hari kedua karena adanya massa tak dikenal yang menyusup dan melakukan tindakan anarkistis. Polisi mengatakan 1.000-an perusuh ditangkap di sejumlah daerah, termasuk Jakarta. Sebagian besar yang ditangkap adalah para perusuh dari kelompok anarko yang menunggangi aksi demo buruh dan mahasiswa. “Sudah hampir seribu yang kita amankan. Itu adalah anarko-anarko, itu perusuh-perusuh, itu yang menunggangi teman-teman aksi demo yang dilakukan elemen buruh dan mahasiswa,” ungkap Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, Kamis, 8 Oktober 2020.

Koalisi Masyarakat Sipil mengkritisi tindakan represif aparat. Tindakan keras polisi dianggap menjadi alat rezim kekuasaan di tengah alam demokrasi. Koalisi yang berisi sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan aktivis HAM, seperti Greenpeace Indonesia, Ketua Umum Federasi Buruh Migas Lintas Pabrik, Kontras, hingga Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu meminta aparat keamanan menghentikan kekerasan terhadap para pendemo. “Kita lihat, pola yang terjadi hari ini sangat persis dengan aksi sebelumnya seperti di #ReformasiDikorupsi.

Massa aksi juga dibuat seolah perusuh. Padahal aksi ini diawali dengan aksi damai hingga akhirnya polisi melepaskan gas air mata,” kata Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti.

DPR dan pemerintah seharusnya mendengarkan gelombang penolakan Undang-Undang Cipta Kerja yang terjadi sebelumnya sebelum mengesahkannya. Selain itu, dalam sejarahnya, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan yang sudah disahkan DPR pun hingga kini tak pernah diberlakukan. “Seingat saya, pada waktu itu lebih banyak buruh (protes). Kalau sekarang kan luas sekali.

Berbagai stakeholder, pemuka agama, juga menolaknya. Juga akademisi. Jadi sebetulnya nggak ada alasan untuk mengesahkan,” tutur Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebutkan alasan penolakan UU Cipta Kerja yang berisi 174 pasal itu di antaranya masalah upah minimum penuh syarat dan hilangnya upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK).

Selain itu, nilai pesangon berkurang dari 32 kali upah atau gaji menjadi 25 kali upah atau gaji, di mana enam kali gaji dibayar oleh pemerintah. Lalu kontrak kerja tanpa batas waktu, outsourcing seumur hidup, kompensasi baru didapat minimal 1 tahun kerja, serta waktu kerja berlebihan dan soal hak cuti yang hilang. Total ada 12 poin UU  Ciptaker yang menurut KSPI merugikan pekerja.

Sementara itu, Fraksi Partai Demokrat menolak pengesahan RUU Cipta Kerja karena dianggap tak sesuai dengan mekanisme tata tertib persidangan di DPR. Keputusan pimpinan DPR mengesahkan RUU tersebut dianggap sewenang-wenang. Padahal, sesuai mekanisme yang ada, harus melalui lobi untuk menyamakan pandangan. Bila tak menemukan titik temu, dilanjutkan dengan pemungutan  suara (voting).

“Jadi pimpinan sewenang-wenang. Tidak dikasih kesempatan kepada kami untuk menyampaikan pandangan, maka kami menyampaikan sikap walkout,” kata anggota FPD Benny K Harman, Kamis, 8 Oktober 2020.

Benny mengungkapkan, pengesahan RUU Cipta Kerja didorong oleh kondisi pandemi COVID-19, menurutnya, adalah alasan yang lucu. Selain itu, ada permintaan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar rancangan undang-undang tersebut lekas disahkan. Sebab, menurut laporan intelijen, akan ada demonstrasi besar-besaran pada 8 Oktober 2020.

Karena itu, rancangan undang-undang yang belum selesai perumusan dan penyisiran setiap pasalnya itu dibawa ke rapat paripurna. Maka tidak mengherankan, ketika rapat paripurna berlangsung, tidak ada satu pun anggota Dewan yang memegang naskah RUU itu. Bahkan draf finalnya belum ada.

“Jadi yang kita setujui ini RUU hantu. Yang mana yang kita sahkan? Lazimnya, pada saat rapat paripurna itu, tiap anggota dibagikan naskahnya. Yang kedua, tidak boleh lagi ada perubahan setelah rapat paripurna kecuali rapat paripurna menugaskan Baleg atau Pansus untuk melakukan penyempurnaan dan perubahan. Kalau setelah itu mereka melakukan perubahan lagi tanpa perintah paripurna, itu adalah cacat. Oleh sebab itu, setiap perubahan yang dilakukan harus dimintakan persetujuannya di rapat paripurna,” kata Benny.

PD menilai, secara substantif, beleid Cipta Kerja tak ada urgensinya di tengah masyarakat Indonesia yang tengah menderita, apalagi pandemi COVID-19. Selain itu, Undang-Undang Cipta Kerja lebih mengakomodasi kepentingan pengusaha. Contoh soal pesangon yang diturunkan dari 32 gaji atau upah menjadi 25 upah. “Setelah ini, nanti akan ada PHK habis-habisan. Dan kalau PHK, dengan undang-undang ini, pesangon akan dibayar jauh lebih murah. Karena itu, kita menolak ini habis-habisan,” katanya.

Pengamat politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan masalah krusial saat ini adalah penjelasan pemerintah kepada masyarakat tentang prosedur pengesahan dari undang-undang itu. Ia menilai tudingan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto tentang adanya pihak-pihak yang mensponsori demonstrasi justru hal yang kontraproduktif. “Jadi, menurut saya, yang bisa meredakan ini, ya DPR dan pemerintah. Mereka yang sudah buat (UU Cipta Kerja) ya sekarang mereka redakanlah. Yang saya sesalkan dari pembahasan UU ini kan kurangnya mendengarkan. Koleganya saja nggak didengarkan sama Ketua DPR,” kata Hendri Kamis, 8 Oktober 2020.

Meski begitu, Hendri berharap, kedua belah pihak, baik yang pro maupun yang kontra terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja, tidak main kuat-kuatan. Kalau hal itu terjadi, akan merugikan bangsa ini. “Jadi strateginya jangan kuat-kuatan. Paling besok sudah berhenti (demo), jangan seperti itu. Para pendemo, saran saya, jangan merusak. Kalau merusak, ya apa bedanya mereka dengan orang-orang yang mereka protes? Pendemo harus menunjukkan mereka lebih pintar, bijak, dan lebih cinta Indonesia,” pungkasnya.

Pascakerusuhan, Menko Polhukam Mahfud Md mengadakan jumpa pers bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala Badan Intelijen Negara Jenderal Budi Gunawan. Mahfud mengatakan, tidak ada satu pun pemerintah yang ingin menyengsarakan rakyat dengan undang-undang. Undang-Undang Cipta Kerja telah dibahas cukup panjang dan semua fraksi telah menyampaikan pandangan.

Pemerintah juga telah mengajak serikat buruh duduk bersama. Memang pada akhirnya tidak semua keinginan terakomodasi dalam undang-undang itu. Maka, terhadap pihak-pihak yang tak puas terhadap undang-undang itu, Mahfud menyarankan menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Pemerintah menghargai penyampaian pendapat melalui unjuk rasa, tapi menyayangkan terjadinya aksi-aksi anarkistis yang mengiringi aksi demonstrasi. “Tindakan itu jelas merupakan tindakan kriminal yang tidak dapat ditolerir dan harus dihentikan,” kata Mahfud.

Komentar