MESKI TERLAMBAT, TETAP RAYAKAN HARI NUSANTARA DAN JAGALAH INDONESIA

Oleh: Didik Sasono Setyadi *)

Hiruk pikuk kasus penahanan Rizieq Shihab, kasus korupsi Mensos Juliari Batubara, kasus OTT Edhy Prabowo, membuat kita hampir terlupa peristiwa penting di Indonesia yang diperingati setiap tanggal 13 Desember yaitu Hari Nusantara.

Adalah Presiden Megawati Sukarno Putri yang menerbitkan Keppres Nomor 126 Tahun 2001 untuk menegaskan tanggal 13 Desember sebagai hari yang dicanangkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid sebagai hari Nusantara.

Adapun hari Nusantara sendiri diambil dari suatu peristiwa yang sangat bersejarah dalam Ketata Negaraan Indonesia, yaitu peristiwa yang popular disebut dengan Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957 yang menegaskan bahwa laut diantara pulau-pulau / daratan-daratan Indonesia adalah bagian yang menyatukan wilayah Indonesia, bukan yang memisahkan Indonesia.

Indonesia menyatakan dirinya sebagai Negara kepulauan (Archipelagic State) dan bukan Negara Daratan (Continental State). Maka ketika Deklarasi Djuanda kemudian dikukuhkan dalam Undang-undang No. 4 / Prp /1960, wiayah Indonesia luasnya menjadi 2,5 kali lipat dibanding dengan saat diproklamasikan pada tahun 1945.

Sebelum menjadi Negara kepulauan luas perairan Indonesia sangat terbatas, karena setiap pulau hanya memiliki wilayah peraian sejauh 3 mil laut dari garis pantai yang mengelilinginya sebagaimana diatur oleh Belanda melalui Teritoriale Zeeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939. Konon sejarahnya mengapa 3 mil laut itu karena disesuaikan dengan jangkauan terjauh tembakan Meriam pada zaman dulu.

Adalah Hugo de Groot yang juga disebut dengan Grotius yang memperkenalkan doktrin Mare Liberum pada tahun 1609. Melalui doktrin tersebut, Grotius pada intinya ingin mengatakan bahwa konsep kepemilikan (possession) termasuk kepemilikan laut, hanya dapat terjadi terhadap benda-benda yang dapat dipegang teguh serta jelas batas-batasnya. Sementara laut adalah sesuatu yang tidak terbatas dan bersifat cair, dengan demikian, menurut Grotius, klaim kepemilikan terhadap laut sebagaimana lazim terjadi saat itu berdasarkan teori penemuan (discovery) atau penguasaan dalam jangka waktu lama (prescription) tidak dapat diterima.

Doktrin Mare Liberum ini dibantah oleh Doktrin Mare Claussum (Laut Tertutup) yang digagas oleh John Selden dari Inggris. Selden mengatakan bahwa pada kenyataannya laut itu bisa dikuasai dan dimiiliki oleh suatu Negara yang memiliki kemampuan untuk menjaga dan mengatur laut dengan armada kapal-kapal perangnya.

Di kemudian hari Mare Liberum maupun Mare Claussum ini tidak lagi dianut oleh Negara-negara di dunia secara kaku, namun dicarikan jalan tengah sehingga dengan Deklarasi Djuanda, klaim Indonesia sebagai Negara kepulauan dapat diterima oleh Negara-negara lain, jika tidak maka bisa dibayangkan diantara wilayah Negara Republik Indonesia diluar 3 Mil laut bisa menjadi wilayah perairan bebas yang sudah barang tentu akan sangat berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia sebagai Negara yang terdiri atas banyak pulau-pulau.

Saat ini dengan telah diakuinya United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 dan yang telah diratifikasi dengan  Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut) maka Indonesia menjadi negara kepulauan (Archipelago State) yang memiliki 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 99.000 kilometer. Wilayah lautan Indonesia terdiri atas 300.000 kilometer persegi (5, 17 %) laut territorial, 2.800.000 kilometer persegi (48,28%) wilayah perairan kepulauan, serta 2.700.000 kilometer persegi (46, 55 %) adalah Zona Ekonomi Ekslusif. Wilayah laut dan perairan Indonesia merupakan salah satu wilayah yang paling kaya biota lautnya di seluruh dunia.

Rokhmin Dahuri, Mantan Menteri KKP di dalam Website Wantimpres pernah menyebutkan: Secara potensi, perikanan Indonesia adalah yang terbesar di dunia, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Berdasarkan modus operandi atau cara produksi, perikanan terbagi menjadi dua yaitu perikanan tangkap (capture fisheries) dan perikanan budidaya (aquaculture), dengan potensi produksi lestari sekitar 67 juta ton/tahun. Dari angka ini, potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield = MSY) perikanan tangkap laut sebesar 9,3 juta ton/tahun

Ali Suman dalam sebuah Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia (2016) menjelaskan: “Secara keseluruhan komposisi jenis sumber daya ikan di perairan Indonesia didominasi kelompok ikan pelagis kecil sebesar 36 % dan ikan pelagis besar sebesar 25 %. Potensi sumber daya ikan di perairan Indonesia adalah sebesar 9,931 juta ton per tahun dengan potensi tertinggi terdapat di WPP 718 (Laut Arafura) sebesar 1,992 juta ton/tahun (20%), di WPP 572 (Samudera Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda) sebesar 1,228 juta/tahun (12 %) dan di WPP 711 (Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan) sebesar 1,143 juta ton/tahun (12 %)”

Menurut Tribuana Ketua Umum Perusahaan Maritim dan Perikanan Tangkap Indonesia (Aspitindo) di Liputan6.com mengatakan “Indonesia memiliki potensi ikan tangkap mencapai 130 juta ton atau setara dengan Rp 2.500 triliun hingga Rp 3.000 triliun per tahun. Namun sayangnya pemerintah hanya mampu memanfaatkan potensi tersebut sebesar 5,9 juta ton atau senilai Rp 90 triliun”[1], sedangkat menurut Rokhmin Dahuri di Republica.co.id. “Potensi total nilai ekonomi pada 11 sektor kelautan Indonesia diperkirakan sebesar 1,3 triliun dolar AS per tahun atau sekitar 1,4 kali PDB dan tujuh kali APBN 2016”

Luar biasa bukan…..?  Apabila dikelola dengan benar maka kemakmuran rakyat yang diamanahkan UUD 1945 nampak jelas di hadapan mata.

 

Sayangnya apa yang terjadi?

Ternyata masih terjadi kasus suap ekspor benih Lobster, terjadi kasus komisi / jatah pejabat dalam tiap paket Bantuan Sosial untuk rakyat miskin yang terdampak pandemi dan terjadi kasus pendegradasian hukum, ketertiban sosial dan protokol kesehatan, terjadi obral ujaran-ujaran kebencian, terjadi provokasi-provokasi sektarian yang memecah belah bangsa, merendahkan lambang dan simbol Negara, martabat kepemimpinan Negara dan lain-lainnya

Sudah seharusnya kita akhiri semua kebobrokan-kebobrokan mental yang hanya merusak keutuhan dan kewibawaan Nusantara yang sejatinya penuh nilai etika dan estetika.

Bila laut ciptaan Tuhan yang begitu ganas ombaknya, begitu dalam dasarnya, ternyata telah mampu mempersatukan bangsa Indonesia dengan Wawasan Nusantaranya, mengapa dunia maya / sosial media, keserahakan uang dan perebutan kursi kekuasan, perbedaan pilihan politik dan aliran malah menjadi ancaman nyata yang dapat memecah belah bangsa?

Oleh karena itu…. Mari Rayakan dan Gaungkan Kembali Hari Nusantara, sebagai  Momentum Kembalinya Persatuan Indonesia ……..!!!

*) Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik, sedang menempuh Program Doktor Ilmu Pemerintahan, Chairman Airlangga Law and Governance Institute

 

 

Komentar