Perubahan Paradigma Kekuasaan & Perlunya Kesamaan Platform Dibalik Reshuffle 6 Menteri

Karyono Wibowo: Direktur Ekselutif IPI

Jakarta, b-Oneindonesia – Akhirnya, Presiden Joko Widodo melakukan reshuffle. Seperti yang sudah saya prediksi sebelumnya, bahwa soal reshuffle kabinet pemerintahan Jokowi Jilid II itu hanya menunggu waktu. Sinyal reshuffle menguat sejak Presiden Jokowi menegur keras para menterinya saat pidato pembukaan pada Sidang Kabinet Paripurna, Juni 2020.

Saat itu presiden mengungkapkan kekesalannya terhadap kinerja sejumlah menteri yang kurang tanggap di tengah kondisi darurat menghadapi pandemi Covid 19. Meskipun presiden tidak menyebut nama menteri secara langsung, tetapi dapat dibaca kekecewaan presiden mengarah pada Terawan Agus Putranto Menteri Kesehatan pada saat itu. Selain mengarah pada menteri kesehatan, Jokowi juga menyoroti kementerian di bidang sosial dan ekonomi. Logis jika presiden menyoroti bidang itu karena sangat vital dalam penanganan masalah pandemi.

Sinyal Reshuffle kian menguat saat dua menteri terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT( KPK. Peristiwa itu menjadi momentum yang tepat untuk melakukan reshuffle kabinet dan akhirnya Presiden Jokowi benar-benar merealisasikan pergantian 6 menteri dinataranya menteri kesehatan, menteri perdagangan, menteri sosial, menteri KKP, menteri agama, dan menteri pariwisata. Menariknya, reshuffle dilakukan di penghujung tahun 2020, tepat di Hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember. Secara simbolis mungkin ini sebagai bentuk hadiah akhir tahun dan persembahan untuk ibu pertiwi.

Jika dianalisa dalam perspektif kompetensi, dari 6 sosok menteri baru tersebut ada satu menteri yang di luar mainstream selama ini, yaitu Budi Gunadi Sadikin yang menempati posisi menteri kesehatan yang menggantikan Terawan Agus Putranto. Budi Gunadi bukan datang dari latar belakang dokter. Meski jabatan menteri merupakan jabatan politis yang tidak harus linier sesuai bidang tugas tetapi pengangkatan Budi tentu mengundang tanya. Tapi di balik pengangkatan Budi Gunadi yang berlatar belakang pendidikan teknik Fisika Nuklir lulusan ITB dan seorang profesional yang memiliki banyak pengalaman di bidang bisnis dan perbankan tentu ada tujuan. Keputusan Presiden Jokowi ini justru menarik. Dugaan saya, hal ini berkaitan dengan skema penanganan masalah pandemi covid 19 yang memerlukan langkah cepat dan tepat. Ini merupakan langkah “extra ordinary” yang memang dibutuhkan ketika menghadapi kondisi yang luar biasa seperti sekarang ini. Publik sangat berharap, pergantian menkes ini mampu membuktikan kinerja yang lebih baik, khususnya dalam menghadapi pandemi. Kita tunggu saja apakah eksperimen ini berhasil atau tidak, biar waktu yang menentukan.

Soal sosok Tri Rismaharini, tentu tidak asing lagi. Rekam jejak walikota Surabaya dua periode itu sudah dikenal publik sebagai figur pemimpin yang tegas, berani dan cukup prestasi. Pelbagai terobosan kebijakan mampu membawa kemajuan Kota Surabaya. Hal itu terafirmasi dalam survei yang dilakukan Indo Survey & Strategy (ISS) pada awal November 2020, tingkat kepuasan masyarakat Kota Surabaya terhadap kinerja Risma sebagai walikota sebesar 96, 36%. Tingkat keberhasilan pembangunan dalam persepsi publik juga sangat tinggi. Ada 91,82% responden menjawab program pembangunan yang dilakukan pemerintah Kota Surabaya berhasil.

Oleh karenanya, tidak aneh jika sosok Risma dipercaya menjadi menteri sosial menggantikan Juliari Batubara. Justru dengan menunjuk Risma menjadi mensos, sedikitnya dapat memulihkan citra negatif pemerintah dan juga PDI Perjuangan akibat kasus korupsi yang menjerat kader banteng moncong putih itu. Setidaknya, dengan diangkatnya figur Risma dapat menimbulkan kepercayaan publik yang sempat menurun. Banyak yang berharap, figur Risma tidak sekadar memperbaiki kinerja kemensos, tapi juga membersihkan korupsi dinkeneterian tersebut.

Yang tak kalah menariknya adalah pergantian menteri agama dari Fachrul Razi diganti Ketua Umum GP ANSOR Yaqut Cholil Qoumas dari unsur Nahdlatul Ulama (NU). Pergantian posisi menteri agama ini akhirnya dikembalikan ke pakem lama dimana posisi menteri agama seolah menjadi “kavling” Nahdlatul Ulama. Memang, sejak menteri agama diduduki Fachrul Razi, tak sedikit yang kaget dan protes. Tapi mungkin saat itu ada pertimbangan Presiden Jokowi kenapa mengambil langkah di luar kebiasaan yaitu menyerahkan posisi menteri agama ke mantan perwira tinggi militer. Hemat saya, langkah tersebut merupakan skema pemerintah dalam memberantas radikalisme/ekstrimisme beragama yang kian menguat. Tetapi, hasilnya kurang maksimal, tidak sesuai harapan. Eksperimen politik yang dilakukan Presiden Jokowi belum memuaskan hasilnya. Mungkin itu yang menjadi pertimbangan mengganti menteri agama dengan Yaqut. Memilih figur Yaqut tentu bukan sekadar cek kosong. Kepercayaan yang diberikan kepada Ketua Umum GP Ansor itu tidak bergeser dari skema awal, selain memperbaiki kinerja di kementerian agama, sosok Yaqut diharapkan lebih berani dan tegas dalam membersih anasir radikalisme/ekstrimisme baik di internal kementerian maupun eksternal.

Tiga figur menteri yang baru lainnya yakni M. Lutfi, Sandiaga Uno dan Wahyu Sakti Trenggono dikenal sebagai pengusaha besar yang sukses dalam menjalankan bisnis. Sama dengan Erick Thohir yang mengawali karirnya menjadi pengusaha sebelum terjun di dunia politik dan menjadi pejabat di pemerintahan. M Lutfi pernah menjadi kepala BKPM dan menteri perdagangan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan menjadi duta besar untuk Amerika Serikat sebelum diangkat menjadi menteri perdagangan oleh Presiden Jokowi menggantikan Agus Suparmanto. Wahyu Sakti Trenggono selain menjadi pengusaha, ia adalah wakil menteri pertahanan sebelum diangkat menjadi menteri KKP menggantikan Eddy Prabowo yang tertangkap KPK. Sedangkan Sandiaga Uno selain pengalamannya sebagai pengusaha, dia pernah menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarta. Ketiga figur menteri baru tersebut memiliki kesamaan latar belakang sebagai pengusaha dan sama-sama memiliki pengalaman di pemerintahan.

Karenanya, jika dilihat dari aspek kompetensi, tentu tidak banyak yang meragukan. Yang tak kalah penting adalah soal integritas dan moralitas. Sebab tidak ada persyaratan khusus soal latar belakang profesi untuk menjadi menteri sejauh memiliki integritas, moralitas, kapabilitas dan kompetensi serta memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Poin penting yang ingin saya sampaikan adalah tentang paradigma kekuasaan. Hemat saya, kekuasaan semestinya menjadi instrumen untuk mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945 sebagai visi besar menuju Indonesia yang dicita-citakan.

Oleh karenanya, paradigma kekuasaan harus kembali ke khitah agar tujuan pembangunan dapat tercapai dan tidak terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Kabinet pemerintahan yang berisikan orang-orang dari pelbagai latar belakang harus memiliki paradigma yang sama dan platform yang sama dalam memajukan Indonesia meski berbeda partai dan latar belakang.

Komentar