PILKADA DI TENGAH PANDEMI LANJUT APA TUNDA?

Oleh: Didik Sasono Setyadi*)

 

Di luar prakiraan banyak pihak, ternyata sampai bulan September 2020 ini paparan virus Corona tetap mengganas di Indonesia dan di luar negeri. Ikhtiar untuk menghentikan Covid-19 telah banyak dilakukan, namun tampaknya umat manusia di dunia masih harus bersabar karena obat yang mujarab atau vaksin yang tepat belum bisa diproduksi apalagi didistribusikan untuk mengendalikan pandemi yang di Indonesia telah berlangsung lebih dari enam bulan ini.

Celakanya, pandemi ini masih melanda justru pada saat beberapa daerah di Indonesia sedang memasuki agenda yang penting dalam kehidupan demokrasinya, yaitu agenda Pemilihan Kepada Daerah secara serentak di berbagai daerah di Indonesia.

Pilkada ini tentunya ditunggu-tunggu oleh: pertama, oleh para penantang dan pendukungnya yang ingin perubahan kepemimpinan di daerahnya dan yang kedua, oleh petahana dan pendukungnya yang ingin pemantapan dan keberlanjutan kepemimpinannya, atau yang ketiga oleh para kontestan yang sama-sama baru bertanding karena kepemimpinan lama tidak bisa lagi mengikuti kontestasi karena aturan.

Pilkada adalah Pra-Sarana untuk Perbaikan Pelayanan Kepada Masyarakat?

Untuk Negara-negara demokratis yang menerapkan model pemerintahan yang Citizen Centric Government (Pemerintahan Yang Berpusat Pada Warga Negara / Warga Daerah) maka Pilkada merupakan momentum penting bagi kesempatan untuk peningkatan pelayanan dan peningkatan kesejahteraan warga negara / rakyat. Menurut Kearney (Wasistiono: 2017) ada tujuh karakteristik dari Citizen Centric Government yaitu:

  1. Foster Organizational Change
  2. Cultivate Leadership
  3. Establish Culture Value
  4. Build Costumer Relationship
  5. Improve Operations
  6. Manage Performance
  7. Support Sustainability

Inti dari ketujuh karakteristik tersebut adalah bahwa pemerintahan yang berpusat pada warga Negara itu dibangun dan diterapkan berdasarkan prinsip-prinsip partisipasi warga negara serta kolaborasi warga Negara dengan pemerintahannya yang scope yang seluas-luasnya. Organisasi pemerintahan dan nilai-nilai dalam sistem pemerintahan, etika kepemimpinan pemerintahan serta nilai-nilai birokrasi pemerintahan dibangun untuk memuliakan warga Negara sebagai pemilik sah kedaulatan dan atau kewenangan publik. Selanjutnya semua ini diarahkan untuk memandang jauh ke depan (visioner) agar keberlangsungan, keberlanjutan dan kemajuan-kemajuan dapat diraih dengan optimal.

Kembali pada masalah Pilkada, maka bila Pilkada ini dianggap sebagai momentum partisipasi penting bagi rakyat dalam pembentukan kepemimpinan pemerintahan daerah dalam konteks penerapan sistem Citizen Centric Government maka layak Pilkada tetap harus ditempuh oleh rakyat, apapun risikonya. Sebab Pilkada dalam konteks ini bisa menjadi bagian dari rangkaian solusi untuk mengatasi pandemi di daerahnya melaui hadirnya kemimpinan baru yang lebih “responsif”, “proaktif” dan “solutif” yang dihasilkan melalui Pilkada tersebut. Sehingga demikian Pilkada akan dipandang sebagai proses penting dalam meningkatkan pelayanan kepada warga Negara / masyarakat di daerah tersebut.

Namun sebaliknya, bila kualitas demokrasi saat ini belum mampu menjadi “enabler” bagi Citizen Centric Government dan malahan melestarikan sistem politik yang oligarkis, maka Pilkada di tengah pandemi akan menjadi “mudlarat” bagi rakyat. Mengapa? sebab sumber daya, sumber dana, energi, focus dan segala daya upaya lainnya yang seharusnya bisa dikonsentrasikan bagi penanganan Covid-19 akan dialihkan sebagian untuk mengurus hal-hal yang menurut istilah “prokem” zaman sekarang “un-faedah” bagi rakyat, karena hanya untuk kepentingan elite oligarki saja.

Pilkada Itu Hak atau Kewajiban Bagi Rakyat?

Secara filosofis dan secara konseptual dalam demokrasi, Pilkada atau Pemilu pada umumnya merupakan sarana yang sangat baik bagi orang-orang terbaik untuk dapat berkuasa. Begitulah teorinya, namun ternyata tidak jarang sejarah mencatat bahwa Pemilu (election) juga bisa menjadi cara bagi orang “jahat” untuk memanipulasi rakyat agar bisa berkuasa.

Dalam sejarah tercatat hitam dan putih penerapan kekuasaan oleh suatu pemerintahan. Oleh karena itu ada pemikiran-pemikiran pembatasan kekuasaan yang muncul dalam aliran konstitusionalisme. Ada teori-teori / doktrin-doktrin pemisahan / pembagian kekuasaan. Namun ada juga aliran lain yang di Indonesia kerap dikenal dengan “Negara Integralistik” sebagaimana dikenalkan oleh Soepomo yang mengagumi Hegel, Spinoza dan Adam Muller.

Memang betul bahwa Pilkada bukanlah bicara tentang kedaualatan Negara. Pilkada hanya bicara tentang “Aspek Administrasi Penyeleggaraan Kewenangan Eksekutif” saja. Namun Mc Iver dalam bukunya Web of Government dan Ibnu Khaldun dalam Muqqadimah memandang tetap ada hubungan antara kekuasaan di dalam scope kecil-kecil sampai dengan scope besar (Negara)

Ibnu Khaldun Filsuf dari Timur Tengah pernah mengatakan “kendatipun kekuasaan itu memiliki segi-seginya yang negatif, terutama apabila di tangan orang-orang yang telah lupa akan keluhuran budi pekerti yang menjadi dasar dari kekuasaan itu, aspek-aspeknya yang positif jauh melebihi segi-seginya yang negatif. Kelanjutan eksistensi manusia di dunia tergantung pada kekuasaan, karena kekuasaan itulah menjadi katalisator bagi manusia untuk bekerjasama dan tolong- menolong dalam memenuhi kebutuhan hidup, serta menghalang-halangi orang-orang dari mengikuti kemauan hatinya yang pada umumnya bersifat destruktif. Dan kekuasaa itu memiliki perkembangannya sendiri, mulai dari suatu lingkungan yang kecil, dan berkembang terus sampai, apabila mendapatkan kesempatan, mencapai tingkat kekuasaan tertinggi , yaitu kekuasaan negara” (Muqqadimah, dalam Ni’matul Huda: 2016)

Kembali pada Pilkada, maka Pilkada sesungguhnya / hakekatnya adalah “Hak Politik” bagi rakyat untuk menentukan kepemimpinan / kekuasaaan di daerahnya. Pilkada bukanlah “Kewajiban Politik”. Pilkada adalah wujud partisipasi rakyat atau bahkan kekuasaan rakyat untuk menentukan pemimpin di daerahnya guna memberikan pelayanan dan kesejahteraan yang lebih baik bagi rakyat di daerahnya, sehingga  Pilkada bukanlah / tidak boleh dijadikan sarana mobilisasi bagi oligarki untuk mencari legitimasi kekuasaan.

Jadi apakah di tengah Pandemi ini Pilkada Lanjut atau Tunda?

Rakyat lah yang paling berwenang menjawabnya……….

 

*) Chairman Airlangga Law and Governance Institute (ALGI), Pengamat Hukum Pemerintahan dan Kebijakan Publik

Komentar