OTT Menteri KKP dan Urgensi Reformasi Tata Kelola Sumber Daya Perikanan Laut (Bagian Pertama)

Oleh: Didik S Setyadi*)

Ditangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menambah citra buruk tentang pengelolaan sumber daya alam oleh Negara.  Padahal Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia telah mengamanahkan bahwa Sumber Kekayaan Alam harus dikelola oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Meskipun proses hukum terhadap Edhy Prabowo yang telah mengundurkan diri dari jabatan Menteri KKP masih cukup panjang untuk membuktikan yang bersangkutan benar atau salah secara hukum, namun dengan bukti permulaan yang diungkap KPK tampaknya Edhy akan kesulitan untuk berkelit dari sangkaan atau bahkan nantinya dakwaaan tindak pidana korupsi.

Dalam satu Jurnal Ilmiah Subramanian. K.R (2018) mendefiniskan sumber daya alam adalah:

Natural resources refer to the things that exist freely in nature for human use and do not necessarily require the action of mankind for their generation or production. The key aspect of natural resources is that they determine the survival of humans and other life forms on earth. These resources include land, rocks, forests (vegetation), water (ocean, lakes, streams, seas, and rivers), fossil fuel, animals (fish, wild life, and domesticated animals), minerals, sunlight and air.

Ada penekanan kata-kata “for human use” di dalam definisi tersebut. Penekanan ini menyiratkan arti bahwa sumber daya alam memiliki nilai tertentu dalam kehidupan manusia, yang sekarang jamak dikenal salah satunya sebagai sesuatu yang bernilai ekonomis.

Terkait dengan Sumber Daya Alam Kelautan dan Perikanan Indonesia telah menerbitkan beberapa undang-undang diantaranya:

  1. Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perikanan;
  2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan;
  3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil;
  4. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut).

Seemua ketentuan Undang-undang tersebut di atas memiliki dimensi kedaulatan wilayah sekaligus dimensi ekonomi untuk kesejahteraan rakyat.

Dalam konsideransi Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 misalnya, disebutkan:

  1. bahwa perairan yang berada dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia serta laut lepas mengandung sumber daya ikan yang potensial dan sebagai lahan pembudidayaan ikan merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia yang memiliki falsafah hidup Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan memperhatikan daya dukung yang ada dan kelestariannya untuk dimanfaatkan sebesarbesarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia;
  2. bahwa pemanfaatan sumber daya ikan belum memberikan peningkatan taraf hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan melalui pengelolaan perikanan, pengawasan, dan sistem penegakan hukum yang optimal;
  3. bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan belum sepenuhnya mampu mengantisipasi perkembangan teknologi dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya ikan;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;

Dari point ke point kosideransi undang-undang tersebut terbaca jelas bahwa laut dan potensi perikanan di dalamnya harus dikelola secara berkelanjutan dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.

Kementerian Kelautan dan Perikanan pun menegaskan dalam Visi, Misi dan Tujuannya sebagai berikut:

  1. VISI

Salah satu misi pembangunan nasional yang terkait dengan pembangunan kelautan dan perikanan adalah Mewujudkan Indonesia menjadi Negara Maritim yang Mandiri, Maju, Kuat dan Berbasis Kepentingan Nasional. Sebagai organisasi yang membantu Presiden untuk membidangi urusan kelautan dan perikanan, maka visi KKP ditetapkan selaras dengan visi pembangunan nasional serta bertujuan untuk mendukung terwujudnya Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Visi KKP adalah “Mewujudkan Sektor Kelautan dan Perikanan Indonesia yang Mandiri, Maju, Kuat dan Berbasis Kepentingan Nasional”.

Mandiri dimaksudkan ke depan Indonesia dapat mengandalkan kemampuan dan kekuatan sendiri dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan, sehingga sejajar dan sederajat dengan bangsa lain. Maju dimaksudkan dapat mengelola sumber daya kelautan dan perikanan dengan kekuatan SDM kompeten dan iptek yang inovatif dan bernilai tambah, untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang tinggi dan merata.

Kuat diartikan memiliki kemampuan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari pengelolaan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan dan menumbuhkan wawasan dan budaya bahari. Berbasis kepentingan nasional dimaksudkan adalah mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat.

  1. MISI

Mengacu pada tugas, fungsi dan wewenang yang telah dimandatkan oleh peraturan perundang undangan kepada KKP dan penjabaran dari misi pembangunan nasional, maka terdapat 3 pilar yang menjadi misi KKP yakni:

  1. Kedaulatan (Sovereignty), yakni mewujudkan pembangunan kelautan dan perikanan yang berdaulat, guna menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumberdaya kelautan dan perikanan, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan
  2. Keberlanjutan (Sustainability), yakni mewujudkan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan.
  3. Kesejahteraan (Prosperity), yakni mewujudkan masyarakat kelautan dan perikanan yang sejahtera, maju, mandiri, serta berkepribadian dalam kebudayaan.
  4. TUJUAN

Menjabarkan misi pembangunan kelautan dan perikanan, maka tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah:

Kedaulatan(Sovereignty) yakni:

  1. Meningkatkan pengawasan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan
  2. Mengembangkan sistem perkarantinaan ikan, pengendalian mutu, keamanan hasil perikanan, dan keamanan hayati ikan

Keberlanjutan(Sustainability) yakni:

  1. Mengoptimalkan pengelolaan ruang laut, konservasi dan keanekaragaman hayati laut
  2. Meningkatkan keberlanjutan usaha perikanan tangkap dan budidaya
  3. Meningkatkan daya saing dan sistem logistik hasil kelautan dan perikanan

Kesejahteraan(Prosperity), yakni:

  1. Mengembangan kapasitas SDM dan pemberdayaan masyarakat
  2. Mengembangkan inovasi iptek kelautan dan perikanan

Rokhmin Dahuri, Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan di website Dewan Pertimbangan Presiden pernah mengatakan secara potensi, perikanan Indonesia adalah yang terbesar di dunia, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Berdasarkan modus operandi atau cara produksi, perikanan terbagi menjadi dua yaitu perikanan tangkap (capture fisheries) dan perikanan budidaya (aquaculture), dengan potensi produksi lestari sekitar 67 juta ton/tahun. Dari angka ini, potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield = MSY) perikanan tangkap laut sebesar 9,3 juta ton/tahun. Rokhmin bahkan menambahkan “Potensi total nilai ekonomi pada 11 sektor kelautan Indonesia diperkirakan sebesar 1,3 triliun dolar AS per tahun atau sekitar 1,4 kali PDB dan tujuh kali APBN 2016”.

Ali Suman dalam sebuah Jurnal (2015) mengatakan secara keseluruhan komposisi jenis sumber daya ikan di perairan Indonesia didominasi kelompok ikan pelagis kecil sebesar 36 % dan ikan pelagis besar sebesar 25 %. Potensi sumber daya ikan di perairan Indonesia adalah sebesar 9,931 juta ton per tahun dengan potensi tertinggi terdapat di WPP 718 (Laut Arafura) sebesar 1,992 juta ton/tahun (20%), di WPP 572 (Samudera Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda) sebesar 1,228 juta/tahun (12 %) dan di WPP 711 (Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan) sebesar 1,143 juta ton/tahun (12 %)

Tribuana Ketua Umum Perusahaan Maritim dan Perikanan Tangkap Indonesia (Aspitindo) dalam Liputan8.com mengatakan “Indonesia memiliki potensi ikan tangkap mencapai 130 juta ton atau setara dengan Rp 2.500 triliun hingga Rp 3.000 triliun per tahun. Namun sayangnya pemerintah hanya mampu memanfaatkan potensi tersebut sebesar 5,9 juta ton atau senilai Rp 90 triliun”. Sementara Moch Dede dalam tulisan di sebuah Jurnal (2019) mengingatkan “kerugian akibat illegal fishing mencapai Rp100 – Rp300 triliun per tahun, padahal sektor perikanan laut di sebagian besar wilayah pesisir Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang dapat memicu pengembangan dan interaksi regional”

Sayangnya bila dilihat dari kontribusi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor Perikanan angkanya sangat memprihatinkan. Pajak ditambah PNBP nya hanya mampu menyumbangkan sekitar 1 Trilyun Rupiah saja, tidak sebanding dengan potensinya.

Kenaikan Produksi Perikanan Laut 2012-2018

No Keterangan 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Produksi Perikanan Laut (dalam ton) 5,4 juta 5,7 juta 6 juta 6,2 juta 6,1 juta 6,4 juta 6,7 juta
2 Pajak Perikanan (dalam Milyar Rupiah) 179,8 242,9 358,2 477,5 384,2 444,3
3 PNBP Perikanan (Gabungan dari SDA, Non SDA dan BLU) 267 137 457 624 645

 

Menurut KKP ada banyak sebab yang mengakibatkan kontribusi untuk penerimaan Negara dan devisa dari sektor perikanan tangkap belum optimal antara lain:

  1. Kapal-kapal Ikan dan Nelayan Indonesia masih sangat terbatas kuantitas dan kualitasnya;
  2. Banyaknya pencurian ikan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan asing di perairan dan di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia;
  3. Terbatasnya unsur-unsur manajemen (anggaran, modal, keahlian, teknologi, dan lainnya) untuk melakukan optimalisasi pengelolaan sumber daya perikanan tangkap.

Untuk itulah sekarang adalah saatnya untuk membuat sektor Perikanan Laut menjadi andalan bagi perekonomian Negara di masa depan.

Hal ini berbeda dengan hasil pengelolaan kekayaan alam minyak dan gas bumi.  Meskipun demikian kondisi SDA minyak dan gas bumi di Indonesia, namun dari sisi penerimaan negara pada tahun 2018 masih bisa mencapai Rp 228 Triliun, terdiri atas Rp 163,4 Triliun (72%) adalah PNBP sedangkan Rp 64,7 Triliun (28%) adalah PPh. Di media masa online dikutip pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (okezone, 2020) sebagai berikut

Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, semula Pemerintah dalam APBN 2020 menargetkan penerimaan migas sebesar Rp192,04 triliun yang terdiri dari Pajak Penghasilan Migas (PPh Migas) sebesar Rp57,53 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp127,31 triliun dan penerimaan lainnya dari minyak bumi Rp7,3 triliun. Dengan catatan, lifting minyak bumi 755.000 barel per hari, lifting gas bumi 1.191.000 barel setara minyak per hari, ICP USD63 per barel dan kurs Rp14.400 per USD. Namun dengan terjadinya pandemi Covid-19 di berbagai belahan dunia yang juga berdampak pada kegiatan usaha migas, target penerimaan migas direvisi melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 menjadi sebesar Rp100,16 triliun, di mana PPh Migas ditargetkan Rp43,75 triliun, PNBP Migas Rp53,29 triliun dan penerimaan lainnya dari minyak bumi Rp3,12 triliun.

Dalam tabel yang dirilis oleh Kementerian Keuangan (2019)

Semakin tampak bahwa pengelolaan sektor kelautan dan perikanan dilihat dari penerimaan Negara masih sangat mengecewakan. Masih sangat jauh dibandingkan dengan potensi-potensi nilai ekonomi yang dikemukanan para ahli.

Untuk memperbaikinya, sangat mendesak untuk dilakukan reformasi kebijakan pengelolaannya. Tampaknya sektor keluatan dan perikanan (khususnya perikanan tangkap) perlu belajar dari skema pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, yaitu skema Production Sharing Contract (PSC) yang tentu saja disesuaikan dengan nature / karakter usaha pada sektor ini.

Pada tulisan selanjutnya, penulis akan memaparkan apa alasan-alasan diterapkan dan bagaimana penyesuaian-penyesuaian skema Production Sharing Contract untuk kegiatan usaha perikanan tangkap di Indonesia.

*) Penulis adalah Candidat Doktor Ilmu Pemerintahan IPDN Jatinangor, Pengamat Kebijakan Publik dan Chairman of Airlangga Law and Governance Institute

Komentar