Ketua PDIP Ahmad Basarah : Azas PDI Perjuangan adalah Pancasila, Pembukaan UUD, NKRI 1945

Jakarta, b-Oneindonesia – Banyaknya beredar di media sosial pembicaraan di tengah-tengah masyarakat yang membahas azas atau ideologi PDI Perjuangan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PDI Perjuangan. Sayangnya pembahasan tersebut jauh dari kebenaran filosofis, hukum dan faktual atas isi azas partai yang dirumuskan dalam AD/ART PDI Perjuangan.

Rumusan azas atau ideologi PDI Perjuangan diatur dalam Bab II tentang Azas, Jati Diri dan Watak. Pasal 5 ayat (1) berbunyi : “azas partai adalah Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia sesuai dengan jiwa dan semangat kelahirannya pada 1 Juni 1945”.

Dari konstruksi hukum pasal 5 ayat (1) AD/ART PDI Perjuangan itu sangatlah jelas pengertian hukumnya bahwa Pancasila yang diakui secara resmi kenegaraan dan kepartaian oleh PDI Perjuangan adalah Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Pengertian frasa kalimat “sesuai dengan jiwa dan semangat kelahiranya pada 1 Juni 1945” adalah mengandung pengertian bahwa proses kelahiran Pancasila memang dimulai dari Pidato Bung Karno di depan sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945 dan mengalami perkembangan dalam naskah Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan yang diketuai oleh Bung Karno hingga mencapai konsensus final tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang juga diketuai oleh Bung Karno.

Pandangan filosofis kami bahwa sila-sila Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD NRI 1945 itu bukanlah kalimat mati, tetapi mengandung makna falsafah pada setiap silanya. Untuk memahami makna falsafah sila-sila Pancasia menurut maksud para Pembentuk Pancasilanya, maka kami merujuk pada penjelasan Bung Karno saat menyampaikan pidato 1 Juni 1945 tersebut dan perkembangan pembahasannya selanjutnya di Panitia Delapan, Panitia Sembilan hingga saat tercapai konsensus final di PPKI tanggal 18 Agustus 1945.

Dalam konteks tersebut, kami tidak mengakui Pancasila 1 Juni 1945 dalam konteks rumusan sila-sila Pancasila yang memang berbeda dengan rumusan sila-sila Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD NRI 1945, akan tetapi kami memaknainya sebagai pengertian atas falsafah dasar yang terkandung dalam sila-sila Pancasila tersebut.

Kalau kita mau membaca secara utuh dan jernih keseluruhan isi Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, akan terlihat jelas betapa konstruksi pemikiran Bung Karno memiliki korelasi yang kuat antara pemikiran Nasionalisme, Sosialisme dan Ketuhanan/Islam. Namun kami juga menyadari, sebagai akibat dampak politik desoekarnoisasi sejak era orde baru dulu, tidak banyak masyarakat Indonesia yang tahu isi pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 tersebut.

Ambil saja satu contoh saat Bung Karno menjelaskan Sila Ketuhanan. Bung Karno berkata bahwa tiap-tiap bangsa Indonesia berTuhan, bahkan bangsa dan negara Indonesiapun menjadi bangsa dan negara berTuhan. Lalu Bung Karno tegaskan lagi bahwa tiap-tiap bangsa Indonesia itu wajib menjalankan perintah Tuhannya dengan cara yang leluasa, bahkan Bung Karno memberi contoh bagi umat Islam menjalankan perintah Tuhannya menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW dan agama-agama lain menurut petunjuk nabi-nabi atau pemuka-pemuka agamanya. Terakhir Bung Karno menyebut Ketuhanan yang berkebudayaan dengan penjelasan bahwa tiap-tiap umat beragama menjalankan perintah Tuhannya itu dengan tiada egoisme agama sehingga hidup saling hormat-menghormati antar pemeluk agama. Dalam kaitan tersebut, Bung Karno berpegang teguh pada Surat Al Kafirun yang mengatakan “Lakum dinukum waliyadiin” yang artinya bagimu agamu dan bagiku agamaku.

Dari penjelasan filosofis yang Bung Karno uraikan saat menerangkan makna Sila Ketuhanan tersebut sangat jelas terlihat bahwa Bung Karno menolak paham atheisme yang berlaku dalam ajaran komunisme. Bung Karno juga tidak ingin menjadi bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sekuler karena dengan mengatakan tiap-tiap bangsa Indonesia menjalankan perintah Tuhannya dengan leluasa itu mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia harus menjadi bangsa yang religius sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaannya masing-masing.

Ada bagian yang menarik saat Bung Karno menerangkan sila atau paham Demokrasi Musyawarah-Mufakat. Bung Karno mengawalinya dengan menyebut bahwa “hati Bung Karno adalah hati Islam dan hati Islam Bung Karno ingin membela Islam dalam lembaga permusyawaratan”. Janji Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 ingin membela Islam itu kemudian beliau tunaikan ketika atas inisiatif pribadinya membentuk Panitia Sembilan yang bersifat tidak formal karena Panitia Delapan yang resmi dibentuk oleh Dr Radjiman Wediodiningrat kompoisinya tidak adil bagi kepentingan Islam karena hanya dua orang yang mewakili Golongan Islam (KH Wahid Hasyim dan Kibagus Hadikusumo), sementara Golongan Kebangsaannya ada enam orang. Panitia Sembilan tersebut komposisi keanggotannya sudah dibuat seimbang dimana empat orang mewakili Golongan Islam dan empat orang mewakili Golongan Kebangsaan, sementara Bung Karno berdiri di tengah sebagai Ketua Panitia Sembilan.

Panitia inilah yang melahirkan naskah Piagam Jakarta, yaitu rancangan Pembukaan UUD 1945 dimana pada alinea ke empat terdapat sila-sila Pancasila dan sila Ketuhanan terdapat pada sila Pertama dengan tujuh kata di belakangnya yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dalam hal ini, Bung Karno-lah yang sebenarnya sebagai asbabul-wurud atau causa prima lahirnya naskah Piagam Jakarta tersebut, disamping peran Bung Karno sebagai Ketua PPKI yang memimpin tercapainya kesepakatan final rumusan Pancasila pada tanggal 18 Agustus 1945.

Dengan kata lain, jika kita benar-benar membaca isi pidato 1 Juni 1945 dengan jernih, obyektif dan tanpa sakwasangka buruk terlebih dahulu kepada Bung Karno, kita akan menemukan suatu pemikiran dan konsepsi yang sangat ideal bagi bangsa Indonesia dan menjadi kalimatunsawa atau titik temu yang menyatukan antara pandangan Islam dan Kebangsaan. Semoga dengan penjelasan ini “pengadilan opini publik” atas gagasan dan pemikiran Bung Karno dapat kita akhiri. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya. “Mari kita warisi api perjuangan para pendahulu bangsa kita dan jangan warisi abu-nya”. Alfatihah untuk Bung Karno” ujar Basarah.

Komentar