Berkaca Kasus MRS di RS Ummi Bogor, Kode Etik Kedokteran Diantara Ada & Tiada Saat Pandemi Covid-19

Ditulis oleh : C. Suhadi SH MH.
Relawan Jokowi/ Praktisi Ketum Ninja/Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Ham Nasdem Jabar.

Jakarta, b-Oneindonesia – Saat heboh rumah sakit UMMI Bogor yang spesialisasinya adalah pada ibu dan anak, karena sikapnya yang tidak mau membuka hasil swab, yang hal ini berkaitan dengan hasil Swab MRS, dikarenakan alasan rumah sakit berdasarkan permintaan pasien tidak boleh membuka hasil swab kaitan dengan pemeriksaan MRS atas dugaan terpapar Covid 19.

Sebelumnya didengungkan bahwa MRS di duga terpapar Covid, dugaan ini tidak lepas deri aktifitas beliau di masa pademi ini. Dari catatan yang diperoleh, sebanyak 4 kali terjadi kerumunan masa sekembalinya beliau ke Indonsia. Pertama di Bandara Soeta, Kedua Maulid Nabi di Petamburan, Jakarta Pusat kemudian di acara yang sama bilangan Tebet dan terakhir di daerah puncak.

Dari semua kegiatan yang di hadiri oleh banyak pengikutnya tanpa mengindahkan protokol kesehatan, sehingga mau tidak mau selain menimbulkan kelaster baru juga yang utama adalah pada pribadi MRS sendiri yang mau tidak mau dari rangkaian kegiatan tersebut sangat mungkin MRS terpapar Covid 19, sehingga ada banyak permintaan baik dari masyarakat maupun dari Gugus Tugas agar MRS memeriksakan diri ke RS namun tidak diindahkan.

Hingga kabarnya petugas yang mendatangi kediaman MRS juga ditolak dengan alasan MRS tidak sakit alias sehat. Kemudian beberapa hari ini heboh kalau MRS sedang di rawat di Rumah UMMI yang spesialisasinya Rumah Sakit Ibu dan Anak. Kabar terakhir dari rumah sakit, MRS sedang di rawat karena kesehatan, cuma menjadi aneh kenapa di Rumah Sakit Ibu dan Anak bukan rumah sakit umum ?.

Kabar sakitnya MRS menyeruak bak meteor dimalam hari, tidak kurang Walikota Bogor menyambangi rumah sakit tersebut untuk memastikan sakit nya MRS, namun sia sia karena tidak dapat data tentang apa sakitnya tokoh Intoleran itu. Dan anehnya seperti setali tiga uang pihak rumah sakit juga menutup erat erat posisi MRS disitu.

Keadaan semakin ramai manakala tiba tiba muncul berita bahwa MRS sudah tidak dirawat dirumah sakit itu lagi ( kabur ), karena menurut info dari RS UMMI yang bersangkutan telah meninggalkan rumah sakit seiring akan dilakukan swab test apabila RS tidak melakukan swab test dan melaporkan hasilnya kalau sudah kepada Pemkot Bogor serta gugus tugas. Namun apabila tidak di swab dan tidak melaporkannya maka swab test akan di lakukan oleh Gugus Tugas Covid 19.

Dan yang menjadi lucu, menurut info rumah sakit, MRS sdh di swab test, namun pihak rumah sakit tidak mau membuka hasilnya karena permintaan pasien dalam hal ini MRS, dan oleh karenanya rumah sakit berlindung di UU Kesehatan tentang kerahasiaan pasien.

Menurut ketentuan berkaitan dengan kerahasiaan pasien, ada dua Undang-undang yang mengatur masalah itu, demikian juga pihak rumah sakit dan Dokter, yaitu UU 44/2004 tentang Rumah Sakit mencantumkan hak-hak pasien, termasuk hak mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita beserta data-data medisnya.

Juga hal ini sejalan dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan mengatur perihal perlindungan data pribadi seseorang. Mestinya, semakin banyak regulasi yang mengatur data pribadi memang semakin bagus, namun dalam kontek di masa pademi ini tidak boleh memberlakukan peraturan perundang-undangan secara an sich atau secara tegak lurus.

Karena dari ke dua undang undang yang telah diuraikan diatas dan Permenkes No. 36/2012 dapat di gunakan apabila Negara dalam keadaan normal, sedangkan sekarang seperti sama sama kita ketahui negara sedang menghadapi pademi Covid 19 yang sangat mematikan ini.

Maka hukum dengan adanya pademi mesti ada pengecualian sesuatu yang dilarang menjadi sesuatu yang tidak dilarang, atau sesuatu yang tidak boleh menjadi boleh.

Telah sama sama kita maklumi bahwa pademi adalah masuk dalam ranah bencana nasional. Keadaan ini dalam hukum di sebut force majeure atau keadaan yang memaksa. Dalam keadaan apa suatu keadaan masuk dalam force majeure, contohnya perang, gempa bumi, bencana alam dll.

Dari hal yang diketahui, Covid 19 termasuk bencana alam atau sesuatu keadaan yang memaksa atau dalam bahasa hukumnya dikenal overmacht. Memang biasanya kata force majeure berlaku dalam hukum perjanjan dan biasanya juga hanya berlaku dalam kontrak bisnis, namun tidak sedikit yang menjewantahkan keadaan keadaan memaksa itu dalam semua sendi kehidupan.

Dalam masalah PHK dimasa pademi ini tidak semua aturan dapat diterapkan berkaitan apakah jumlah uang pesangon, masa kerja dll. Demikian juga pada hak berkumpul dan berserikat sebagai mana diatur dalam paaal 28 UUD 45 telah ditiadakan setelah adanya pademi Covid. Juga pada sektor lainnya.

Demikian juga tentunya dengan uu kesehatan maupun peraturan menteri kesehatan harus ada pengecualian terhadap aturan aturan tersebut sehingga atas dasar alasan alasan di atas tidak ada ruang untuk menutupi kondisi pasien sepanjang hal tersebut berkaitan dengan masalah riwayat Covid 19 yang derita MRS bila ada untuk dibuka ke publik, sedang pada penyakit lainnya bila diketemukan terhadap diri MRS adalah tugas rumah sakit dan dokter untuk tidak membukanya. Gampangkan…

Komentar