Implementasi Fungsi ‘’Perlindungan” oleh Pemerintah Terhadap Warga Negaranya Dalam Kasus Bencana Pandemi Covid-19

Oleh: Didik Sasono Setyadi

Dalam Undang-undang Administrasi Pemerintahan (UU No. 30 Tahun 2014), pemerintahan itu memiliki  fungsi antara lain: Regulation (Pengaturan / Kebijakan Publik) yang berorientasi pada keteraturan dan ketertiban masyarakat (Social Order), Development (Pembangunan) yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, Empowerment (Pemberdayaan) yang berorientasi pada kemandirian, Services Provision (Pemberi Pelayanan) yang Non Discrimination (tidak membeda-bedakan) berorientasi pada kepuasaan masyarakat (Customer / Citizen Satisfaction) dan Protection (Perlindungan) berorientasi pada keselamatan dan keamanan masyarakat.

Bagaimanakah relevansi dari fungsi-fungsi tersebut dalam mengatasi wabah Covid-19 yang terjadi saat ini? Mengapa fungsi-fungsi pemerintahan itu penting? Marilah kita mencoba membahasnya pelan-pelan.

Negara sering disebut sebagai suatu istitusi yang terdiri atas unsur: Rakyat, Pemerintah, Wilayah, Pengakuan Internasional plus punya Hukum Positif yang berlaku di dalam yurisdiksinya.

Selanjutnya dalam konteks filsafat hukum yang menyangkut keberlakuan hukum dan pemberlakuan hukum, elemen pemerintahan suatu Negara (otoritas) adalah sangat dominan dalam menentukan “wajah hukum suatu Negara”.

Pemerintahan itu ternyata adalah “Law in Action”, sementara Undang-undang itu hanyalah “Law in Book”. Pemerintahan dari suatu negara itu mengatur / mengurus:

  1. Segala aspek hubungan antara sesama warga rakyatnya, mulai dari lahir, akil baliq, dewasa, hingga meninggal dunia,
  2. Hubungan antara rakyat dengan wilayah dan sumber daya alam dimana sumber daya itu berada, serta tentunya
  3. Hubungan dan legitimasi pemerintahan itu sendiri dengan rakyatnya. Koridor formalnya adalah konstitusi serta pengakuan / peghormatan masyarakat internasional terhadap eksistensi Negara tersebut.

Tiada hukum berlaku bila tiada unsur-unsur negara (wilayah dan penduduk) serta pemerintahan yang menerapkannya. Jadi antara negara dan hukum adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

Sejarah peradaban manusia menunjukkan bahwa manusia itu memiliki sifat dasar / alamiah untuk hidup secara sosial (berkelompok). Dalam buku A Brief History of the World, (Botsford & Bostford, 1917) George Willis Botsford & Jay Barret Bostford menulis secara singkat-singkat tentang Sejarah Kuno Dunia, Negeri Timur (Mesir, Babilonia), Yunani awal sampai kemajuan peradabannya, lanjut ke Kaisaran Roma, Jerman, Eropa Abad Pertengahan, Renaissance, Spanyol, Inggris hingga Perancis, seputar dinamika kehidupan sosial dalam sejarah peradaban manusia.

Dari semua catatan sejarah yang dibuat Bostford & Bostford ini, menujukkan bahwa ternyata fenomena pemerintahan itu telah ada dan mengalami dinamikanya dari waktu ke waktu. Di setiap zaman, selalu ada (tergambar) struktur hubungan manusia antara yang berkuasa dan yang dikuasai (yang memerintah dan yang diperintah), kemudian juga selalu ada catatan “kelam” tentang “perang / pertikaian” antar manusia. Oleh sebab itu mengapa Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and The Last Man mengutip pendapat Emile Fackenheim yang menyatakan bahwa “pemikir yang jujur dan bijaksana seperti Immanuel Kant masih dapat mempercayai bahwa perang adalah untuk tujuan pemeliharaan” (Fukuyama, 2016: 21). Perang masih dipercaya sebagai salah satu bentuk penerapan sanksi. Intinya, pemerintahan itu dalam sejarahnya tercatat sebagai institusi yang diperlukan untuk melindungi manusia dan peradabannya dari konflik / peperangan

Profesor Sadu Wasistiono dalam bukunya (Perkembangan Ilmu Pemerintahan (dari Klasik sampai ke Kontemporer, 2017) mengutip buku tua: 1) Introduction to the Science of Government – Written for The Youth of the United States by Author (terbit tahun 1822); 2) The Science of Government, Founded on Natural Law, yang ditulis oleh Clinton Roosevelt (terbit tahun 1841); dan Archology or Science of Government yang ditulis oleh S.V. Blakeslee (terbit 1876).

Buku pertama tersebut menyampaikan pesan bahwa manusia hanya dapat hidup bebas (dari ancaman) karena adanya sistem pemerintahan yang baik yaitu sistem pemerintahan yang demokratis, buku ini menegaskan bahwa manusia pada dasarnya menginginkan hidup bersama di dalam kedamaian (they should live together in peace), untuk itu maka diperlukan tanggung jawab timbal balik (reciprocal obligation) dengan membuat ikatan kontrak sosial, buku ini membagi sistem pemerintahan menjadi empat yaitu: 1) the despotic, 2) the monarchial, 3) the aristocratic, 4) the democratic.

Buku kedua yang ditulis Clinton Roosevelt menyatakan bahwa dasar-dasar ilmu pemerintahan dapat ditemukan dalam hukum alam (natural law) yang penuh dengan ajaran etika dan moral dengan mengutip pendapat dari Jefferson “The God who gave us life, gave us liberty at the same time” sehingga tidak boleh ada orang yang mengganggu kehidupan dan kebebasan orang lain. Pemerintah tugasnya melindungi hal-hal ini.

Adapun dalam buku ketiga Blakeslee mengenalkan istilah “Archology” sebagai ilmu pemerintahan. “Archology” ini berasal dari Bahasa Yunani yang artinya “govern”. Blakeslee mengatakan “Government is the whole system of control in any particular case”. Meskipun demikian Blakeslee mengingatkan bahwa control terhadap any particular case ini bukanlah oleh kekuasaan namun oleh hukum (law); Penjelasan ini menegaskan bahwa sistem pemerintahan itu erat kaitannya dengan sistem Hukum. Pemikiran Blakeslee ini sangat menarik untuk dielaborasi lebih lanjut.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi Regulation dan Protection sesungguhnya adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang paling klasik. Pada masa sekarang ini pemerintahan tidak cukup lagi berperan pada dua hal tersebut saja, sehingga benar apa yang diamanatkan Undang-undang Administrasi Pemerintahan, bahwa pemerintahan memiliki fungsi-fungsi penting lainnya yaitu fungsi Development, Empowerment dan Services Provisions, apalagi saat ini peran perlindungan (Protection) sekarang  ini tidak semata-mata perlindungan terhadap peperangan, kejahatan (kriminal) ataupun terorisme saja, akhir-akhir ini bencana bahkan wabah penyakit juga menjadi ancaman yang sangat membahayakan warga negara.

Banyak sekali konvensi hukum internasional yang menyangkut perdamaian, humaniter, serta pengadilan kejahatan perang, sebagai bagian dari tata kesepakatan dunia untuk melindungi umat manusia dari ancaman sesamanya yang sudah sangat sering dibahas, namun dalam hal kebencanaan tampaknya belum banyak yang membahasnya.

Dalam catatan, belum terlalu lama PBB pernah membuat suatu Framework yang disebut “The Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030”  yang diadopsi dari Koperensi Dunia  PBB ketiga di Sendai Jepang yang merupakan hasi dari konsultasi antar stakeholders yang diinisiasi pada bulan Maret 2012 dan konsultasi antar negara pada bulan Juli 2014 sampai Maret 2015 yang didukung oleh Majelis Umum PBB

Gambaran pokok dalam Yokohama Strategi untuk Dunia Yang Lebih Aman: Pedoman tentang Pencegahan Bencana Alam, Persiapan dan Mitigasinya meliputi:

(a) Each State has the primary responsibility to prevent and reduce disaster risk, including through international, regional, sub-regional, transboundary and bilateral cooperation. The reduction of disaster risk is a common concern for all States and the extent to which developing countries are able to effectively enhance and implement national disaster risk reduction policies and measures in the context of their respective circumstances and capabilities can be further enhanced through the provision of sustainable international cooperation;

(b) Disaster risk reduction requires that responsibilities be shared by central Governments and relevant national authorities, sectors and stakeholders, as appropriate to their national circumstances and systems of governance;

(c) Managing the risk of disasters is aimed at protecting persons and their property, health, livelihoods and productive assets, as well as cultural and environmental assets, while promoting and protecting all human rights, including the right to development;

(d) Disaster risk reduction requires an all-of-society engagement and partnership. It also requires empowerment and inclusive, accessible and non-discriminatory participation, paying special attention to people disproportionately affected by disasters, especially the poorest. A gender, age, disability and cultural perspective should be integrated in all policies and practices, and women and youth leadership should be promoted. In this context, special attention should be paid to the improvement of organized voluntary work of citizens;

(e) Disaster risk reduction and management depends on coordination mechanisms within and across sectors and with relevant stakeholders at all levels, and it requires the full engagement of all State institutions of an executive and legislative nature at national and local levels and a clear articulation of responsibilities across public and private stakeholders, including business and academia, to ensure mutual outreach, partnership, complementarity in roles and accountability and follow-up;

(f) While the enabling, guiding and coordinating role of national and federal State Governments remain essential, it is necessary to empower local authorities and local communities to reduce disaster risk, including through resources, incentives and decision-making responsibilities, as appropriate;

(g) Disaster risk reduction requires a multi-hazard approach and inclusive risk-informed decision-making based on the open exchange and dissemination of disaggregated data, including by sex, age and disability, as well as on easily accessible, up-to-date, comprehensible, science-based, non-sensitive risk information, complemented by traditional knowledge;

(h) The development, strengthening and implementation of relevant policies, plans, practices and mechanisms need to aim at coherence, as appropriate, across sustainable development and growth, food security, health and safety, climate change and variability, environmental management and disaster risk reduction agendas. Disaster risk reduction is essential to achieve sustainable development;

(i) While the drivers of disaster risk may be local, national, regional or global in scope, disaster risks have local and specific characteristics that must be understood for the determination of measures to reduce disaster risk;

(j) Addressing underlying disaster risk factors through disaster risk-informed public and private investments is more cost-effective than primary reliance on post-disaster response and recovery, and contributes to sustainable development;

(k) In the post-disaster recovery, rehabilitation and reconstruction phase, it is critical to prevent the creation of and to reduce disaster risk by “Building Back Better” and increasing public education and awareness of disaster risk;

(l) An effective and meaningful global partnership and the further strengthening of

international cooperation, including the fulfilment of respective commitments of official

development assistance by developed countries, are essential for effective disaster risk

management;

(m) Developing countries, in particular the least developed countries, small island developing States, landlocked developing countries and African countries, as well as middle-income and other countries facing specific disaster risk challenges, need adequate, sustainable and timely provision of support, including through finance, technology transfer and capacity building from developed countries and partners tailored to their needs and priorities, as

identified by them.

Mengapa kita menggunakan framework kebencanaan dalam Framework ini sebagai referensi untuk pembahasan tentang penanganan Covid-19?

Dalam sistem pemerintahan, melalui kepemimpinan pemerintahan terdapat etika pemeritahan, diantaranya berupa:

  1. Residue Caring, peduli, bersedia mengurusi dan ikut merasa bertanggung jawab terhadap urusan yang belum terbagi / ditentukan dalam pembagian urusan lembaga / pejabat tertentu. Misalnya dalam hal terjadi kejadian luar biasa termasuk bencana alam serta hal-hal yang berbahaya bagi kemanusiaan, bagi persatuan dan kesatuan dan hal-hal penting lainnya bagi bangsa dan Negara serta umat manusia maka pemerintah tidak boleh abai.

 

  1. Turbulence Serving, berdiri didepan dalam menghadapi / mengantisipasi kejadian yang membayakan masyarakat, misalnya dalam situasi, bencana alam, kerusuhan, resesi ekonomi dan semacamnya yang bisa menggoncang / membahayakan kehidupan masyarakat aparat pemerintahan harus berada di garda terdepan dalam pelayanan perlindungan warga negara.

 

Dengan demikian fungsi “protection” oleh pemerintah saat situasi melawan Covid-19 saat ini menjadi sangat penting. Perlindungan harus dirupakan dalam bentuk-bentuk fungsi pemerintahan yang lain, yaitu:

  • Pembuatan payung Regulasi yang melindungi kelompok rentan risiko bencana
  • Pembangunan yang berpihak kepada perlindungan warga negara yang terdampak oleh bencana
  • Pemberdayaan kepada korban terdampak oleh bencana yang memerlukan perilindungan
  • Pelayanan yang prima / non diskriminatif terhadap warga negara

Dalam hal menangani Covid-19, saya kutip pendapat H.A Simon dalam buku “Organization Theory” (Teori Organisasi) menyebut istilah “Intelligence, design and choice in decision making” (Kecerdasan, kemampuan menyiapkan dan menentukan pilihan dalam pengambilan keputusan) yaitu yang dikatakannya sebagai proses “In treating decision making as synonymous with managing, I shall be referring not merely to the final act of choice among alternatives, but rather to the whole process of decision. Decision making comprises three principal phases: finding occasions for making a decision; finding possible course of action; and choosing among courses of action” (mengambil keputusan adalah sama dengan memimpin / mengelola, tidak hanya tiba-tiba pada langkah terakhir untuk memilih alternatif-alternatif ada, namun mencakup keseluruhan proses agar sampai pada suatu keputusan. Pengambilan keputusan terdiri atas tiga fase Utama yaitu: menemukan saat / situasi yang tepat untuk mengambil keputusan, menemukan hal-hal apa saja yang mungkin untuk melaksanakan keputusan dan memilih hal-hal yang memungkinkan untuk melaksanakannya). (Pugh, 1971: 189), tentunya dengan keberpihakan kepada kaum miskin serta yang kelompok yang paling rentan / menderita akibat terjadinya suatu bencana.

 

*) Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik, Candidate Doctor Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Inisiator #GerakanSejutaSanitizer #GotongRoyongLawanCorona

 

 

Komentar