Komisi VI DPR RI Herman Khaeron : Pansus Jiwasraya Saat Ini Dibutuhkan Karena Merupakan Warisan Krisis Ekonomi Tahun 98

Jakarta,b-Oneindonesia – Komisi VI DPR Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron bicara soal kasus Asuransi Jiwasraya. Menurutnya, kasus ini merupakan warisan krisis ekonomi pada tahun 1998 yang lalu.

“Perlu dicatat bahwa seluruh industri keuangan pada resesi 98 saat krisis itu seluruh industri keuangannya kena dampak. Termasuk Asuransi Jiwasraya,” ungkap Herman dalam diskusi bertajuk ‘SBY Bicara Jiwasraya, Baper’, Minggu (2/2/2020).

Bahkan, hingga 2005 pun Jiwasraya masih juga belum sembuh. Terbukti dari audit uji petik BPK yang dilakukan pada laporan keuangan perusahaan pada tahun 2004 dan 2005. BPK menurut Khaeron memberikan disclaimer alias predikat tidak memberikan pendapat, yang merupakan predikat terburuk dari BPK pada sebuah laporan keuangan.

“Kenapa kemudian diuji petik 2006? Karena lahir UU BPK di 2006 dan memungkinkan BPK bisa dialami seluruh segmen APBN dan APBD yang basisnya keuangan negara. 2006 itu kemudian dibuatkan atau dilakukan investigasi oleh BPK untuk audit 2004-2005. Jangan salah tafsir, hasilnya disclaimer,” kata Herman.

Herman menyimpulkan bahwa dengan predikat seburuk itu, Jiwasraya belum bisa berikan perbaikan signifikan pada asuransi Jiwasraya.

“Artinya, dampak yang ditimbulkan krisis ekonomi 98, Jiwasraya belum bisa berikan perbaikan signifikan kepada asuransi Jiwasraya pada tahun 2004-2005,” jelas Herman.

Herman menyebut Jiwasraya sempat kembali untung. Hal ini terbukti pada audit di tahun 2011 dan 2012, saat itu Jiwasraya disebut untung. Bahkan menerbitkan JS Saving Plan 2014.

“Kemudian diuji petik lagi 2011 oleh BPK. Perjalanan ini tercatat baik. Sampai 2010 Jiwasarya telah lakukan perbaikan 2011 untung, 2012 untung. 2013 ada gagasan baru program JS Saving Plan bentuknya bank insurance, dan dikapitalisasi 2014,” kata Herman.

Kemudian, paling terakhir usai terjadi gagal bayar keuangan Jiwasraya pun kembali diaudit. Dalam audit ini menurut Herman sempat muncul isu windows dressing alias mempercantik laporan keuangan. Dari diskusinya, hal itu terjadi pada 2016 dan 2017.

“Kemudian saat ini dilakukan audit investigatif atas permintaan terhadap soal persoalan Jiwasraya muncul lah isu windows dressing.

Kemudian kalau jadi windows dressing silakan BPK liat apakah ada. Kalau diskusi kami terjadi window dressing 2016 sampai 2017. Karena saat 2014 JS Saving Plan jalan, dan mulai lah dana masuk,” ujar Herman.

Herman menjelaskan maksud tulisan sang ketum, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait adanya niat menjatuhkan dua menteri dengan isu Jiwasraya. Demokrat meminta tulisan SBY itu dipahami secara utuh.

“Apa yang disampaikan oleh Pak SBY dalam tulisan artikel Facebooknya harus dipahami secara utuh. Kalau pun menyebutkan ada tiga menteri yang menjadi target, tentu beda kondisinya saat ini. Karena apa? Pada awalnya Jiwasraya ini muncul di awal tahun 2020 atau di akhir 2019, telah dinyatakan gagal bayar, inikan semuanya berteriak pansus, semua fraksi-fraksi berteriak pansus, semua partai berteriak pansus,” kata Ketua DPP Partai Demokrat,

Herman Khaeron dalam diskusi ‘SBY Bicara Jiwasraya Baper’, di Warung Upnormal, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (2/2/2020).

“Artinya bahwa pada saat ini banyak informasi yang masuk dan bisa jadi ada informasi yang spekulatif yang kemudian ini menjurus kepada target-target yang bahkan kita lihat di media sosial perkembangannya sudah ke mana-mana,”

Herman mengatakan, SBY enggan kasus Jiwasraya berakhir seperti kasus Bank Century yang pansusnya lebih banyak motif politiknya. Karena itu, menurut dia, SBY ingin agar semua pihak bersikap objektif dalam menangani kasus tersebut.

“Oleh karenanya, di dalam tulisan Pak SBY itu menginginkan, meluruskan, jangan sampai terjadi seperti dulu pansus Bank Century, lebih banyak politisnya. Ayo kita arahkan, Demokrat secara tegas oleh ketua umum kami diarahkan untuk bisa di dalam secara objektif terhadap objek yang memang sekarang memang menjadi persoalan,” ujarnya.

Dia pun menilai tak seharusnya pernyataan SBY ditanggapi berlebihan. Menurut Herman, pemerintah hanya perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul terkait kasus Jiwasraya tersebut agar persoalan ini segera bisa dituntaskan.

“Kalau nanti banyak pertanyaan, ya silakan jawab pertanyaan itu, berapa besar, contoh ada pertanyaan Pak SBY berapa sih sebetulnya uang yang harus disiapakan? Berapa sih jebolnya?” ucapnya.

“Contoh akhir November atau awal Desember 2019, kewajiban yang harus memenuhi terhadap nasabah yang jatuh tempo itukan Rp 14 triliun kurang lebih. Kemarin di rapat panja saya tanya sekarang berapa? Sekarang sudah Rp 16 triliun. Artinya kewajiban untuk memenuhi para nasabah, untuk memenuhi asuransi, untuk memenuhi terhadap operasional asuransi, ini bertambah terus,” sambung Anggota Komisi VI DPR tersebut.

Karena itu, menurut Herman, dibutuhkan pansus hak angket Jiwasraya. Menurutnya, dengan pansus itu, kasus tersebut akan dapat diselesaikan dengan baik dan menepis semua informasi spekulatif yan bersifat politis.
“Kalau kondisinya seperti ini, kita anggap ini sebuah kasus yang besar dan mari kita selesaikan secara baik, counter segala spekulasi informasi di publik yang menjurus ke persoalan-persoalan yang sifatnya politis oleh pemerintah, dan kita buktikan pansus bisa membuktikan itu melalui hak angket,” jelasnya.

Komentar