Dalam Memperkuat Pancasila, Pasal Kontroversial Sudah Tidak Ada di RUU BPIP

Jakarta, b-Oneindonesia – KEBUTUHAN akan produk undang-undang untuk memperkuat pembinaan dan sosialisasi Pancasila merupakan suatu hal yang tidak dapat ditawar lagi saat ini.

Meski begitu, para pembuat UU perlu mempertimbangkan secara saksama isi UU itu agar tidak bermasalah di kemudian hari sehingga digugat melalui Mahkamah Konstitusi (MK).

Pengamat politik dari Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, menilai, Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP) yang diajukan pemerintah saat ini tetap berpeluang untuk diajukan meski sangat lemah dapat dikabulkan MK.

“Setelah saya baca DIM (daftar inventaris masalah) dan pasal-pasal dalam RUU tersebut, menurut saya potensi untuk judicial review (peninjauan kembali untuk uji materi) itu tetap ada dari kelompok tertentu, tetapi standing position-nya secara hukum menurut saya lemah sehingga potensi ditolak MK sangat besar,” jelas Karyono Selasa (27/7).

Menurutnya, dari apa yang ia pahami, RUU BPIP sangat berbeda dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Bukan hanya soal judul, melainkan juga substansi yang berbeda.

RUU BPIP, kata dia, bukan berusaha menafsirkan Pancasila sebagaimana yang terjadi dalam RUU HIP sebelumnya.“RUU BPIP lebih bersifat teknis yang mengatur ke dalam, pembudayaan, pembinaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tugas tersebut diserahkan kepada sebuah badan yang bernama BPIP,” ujar Karyono.

Ia pun melihat pasal-pasal dan persoalan yang kontroversial tidak lagi tercantum dalam RUU BPIP yang baru. Misalnya terkait masalah yang dipersoalkan masyarakat seperti tidak dimasukkannya Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang pelarangan komunisme, leninisme, dan marxisme, kini sudah dimasukkan di RUU BPIP.

Begitu pula pasal-pasal kontroversial terkait dengan dimasukkannya trisila dan ekasila yang disebut sebagai sendi pokok Pancasila itu sudah tidak terdapat dalam RUU BPIP. Selain itu, pembahasan RUU HIP bersifat lebih luas, yang mana pasal-pasalnya mencakup banyak hal, sementara RUU BPIP lebih simpel dan padat.“

Jangan sampai kemudian kehadiran RUU yang sangat fundamental dan merupakan kebutuhan bagi bangsa untuk mengokohkan dan membumikan nilai-nilai Pancasila sekaligus membendung arus ideologi yang bertentangan dengan Pancasila ini digugat nantinya. Jangan sampai membuka ruang bagi kelompok tertentu untuk membatalkan UU tersebut. Padahal ini hal fundamental,” tutur Karyono.

Oleh sebab itu, lanjut dia, untuk meminimalisasi resistensi masyarakat perlu keterbukaan publik. Dia pun menyarankan agar draf RUU ini dibuka kepada publik agar masyarakat mengetahui isi dari RUU BPIP dan dapat memberikan masukan untuk RUU tersebut sekaligus menghilangkan kecurigaan yang sebetulnya tidak perlu terjadi. Dinamika politik Hal lain yang menurut Karyono perlu diperhatikan ialah persoalan dinamika politik di parlemen saat proses pembuatan RUU BPIP.

Terlebih, RUU BPIP ini sudah mengakomodasi dan menyerap aspirasi masyarakat.“Sekarang tinggal bagaimana mengantisipasi proses politik yang ada di DPR.

Pertanyaannya kan kalau dalam RUU BPIP sudah mengakomodasi aspirasi rakyat, apalagi yang perlu diperdebatkan,” ungkapnya.

Namun, ia menyadari pembentuk­an suatu UU merupakan sebuah proses politik sehingga dinamika dalam pembahasan RUU di parlemen tak dapat dihindari.Salah satu hal yang perlu digarisbawahi ialah adanya kesan inkonsistensi dari fraksi di DPR atas yang mereka sampaikan di forum rapat resmi yang sering kali berbeda dalam hasil akhir.“

Kadang ada persoalan krtik dari masyarakat yang akhirnya mendorong sikap partai menjadi inkonsisten, jangan sampai ini terulang kembali. Partai politik jangan berselancar hanya demi pencitraan dan kepentingan praktis, harus ada komitmen dan mengedepankan kepentingan bangsa,” ujar Karyono.“

Hal ini yang harus diwaspadai ke depan sehingga masyarakat harus betul-betul mengawasi jalannya proses pembuatan RUU ini,” ujarnya.

Komentar