Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan Minta Pemerintah Hati-hati Cetak Uang Baru yang Bisa Kerek Inflasi

Jakarta, b-Oneindonesia – Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan mengingatkan, pemerintah agar berhati-hati terkait usulan pencetakan uang baru untuk menangani dampak corona. Pasalnya, kebijakan tersebut bisa mendorong inflasi.
“Pencetakan uang baru akan mendorong inflasi yang tinggi dan mengakibatkan rakyat akan semakin kehilangan daya beli,” kata politisi Partai Demokrat itu Jakarta, Kamis (30/04).

Ketimbang mencetak uang baru, Syarief menyarankan, anggaran pemerintah untuk proyek infrastruktur dan anggaran untuk ibu kota baru dibatalkan.
“Dananya dialihkan untuk membantu APBN yang semakin melebar defisitnya. Lakukan refocusing anggaran secara transparan dan accountable,” jelasnya.

Seperti diketahui, pemerintah dibolehkan mencetak uang dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19.

Berdasarkan beleid itu, BI bisa membeli surat utang pemerintah atau government bond di pasar primer.
“Kami menolak Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Refocusing anggaran dan lainnya harus melalui APBNP 2020,” tegas Syarief.

Seperti diketahui, usulan cetak uang baru juga muncul dari Badan Anggaran (Banggar) DPR. Banggar mengusulkan kepada pemerintah dan Bank Indonesia (BI) mencetak uang hingga Rp 600 triliun. Tujuannya, menyelamatkan ekonomi Indonesia dari dampak pandemi ini.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani menilai, kebijakan ini tak mudah dilakukan di Indonesia. Jika tidak dihitung secara cermat, akan ada ancaman inflasi. Perlu dipikirkan pula supply and demand di pasar.

“Artinya kan ini orang menganggap persoalannya karena uang saja, sehingga ekonomi berhenti. Orang yang tadinya kerja, bisa belanja, perusahaan yang produksi barang bisa dapat revenue. Tapi sekarang ini orang di rumah, dia nggak belanja, terbatas, sehingga ekonomi berhenti,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Ekonom yang juga mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri mengatakan, bank sentral AS, The Fed, dapat melakukan cetak uang dan membeli surat utang pemerintah sebanyak apa pun. Sebab, dolar dipegang seluruh dunia. Sehingga risiko inflasinya hampir tidak ada.
Nah, kondisi ini berbeda dengan Indonesia. Saat ini, produksi di Tanah Air sedang turun karena pandemi. Artinya, menurunkan sisi suplai.

Apabila BI mencetak uang, tentu saja sisi permintaan akan naik. Kondisi suplai turun dan permintaan naik, inflasi pasti melambung. “Karena itu, walau di Perppu ada, pemerintah dan BI hati-hati sekali dalam melakukan ini,” jelasnya.

MENGAPA NEGARA CETAK UANG UNTUK BELANJA APBN ?

1. Kondisi secara nasional keuangan pemerintah saat ini memang sangat buruk, penerimaan pajak yang merosot, defisit yang besar, sementara kewajiban meningkat dengan pesat.

2. Secara internasional ekonomi Indonesia dipandang sangat rentan, masuk dalam kelompok negara dengan kerentanan ekonomi yang tinggi. Ditandai dengan nilai tukar yang sangat tidak stabil dan cenderung merosot, pertumbuhan ekonomi yang tidak akurat, dan birokrasi pemerintahan yang sangat korup. Fakta itu banyak sekali dikemukakan oleh berbagai lembaga internasional.

3. Muncul pertanyaan, mengapa cetak uang? Bukan utang? Tidak demikian pemerintah tetap utang dan negara tetap cetak uang. Karena jumlah yang diperoleh dari utang tidak cukup untuk mengatasi kekuarangan, maka dicetaklah uang.

4. Siapa yang kekurangan? Yang kekuarangan itu adalah pemerintah yakni keuangan pemerintah atau fiskal atau APBN. Mengapa bisa kurang? Karena ambisius, boros, utang besar dan pejabat korup.

5. Apakah pemerintah bisa cetak uang. Tentu pemerintah tidak bisa cetak uang. Yang cetak uang adalah Bank Indonesia (BI). BI lalu meminjamkan uang hasil cetakan itu kepada pemerintah. BI memberi utang kepada pemerintah.

6. Jadi ini tetap utang pemerintah. Namun utang ini adalah kepada BI. Sumbernya adalah uang hasil cetakan. Dasar pencetakan uang oleh BI adalah neraca BI, aset BI, kekayaan BI dll.

7. Mengapa utang uang cetakan kepada BI? Mengapa tidak utang ke luar negeri ? Atau Mengapa tidak utang kepada yang lain, swata dalam negeri, kepada bank bank BUMN, asuransi nasional, jamsostek, taspen, atau dana Haji?

8. Pemerintah juga tetap utang ke luar negeri. Karena target utang dalam APBN 2020 perubahan (APBN Perpres 54 tahun 2020) mencapai Rp. 1006 T, pihak luar negeri tak ada lagi yang mempercayai memberi utang Indonesia sebesar itu. Utang ke luar seperti sebelumnya juga sulit. Dikarenakan akumulasi utang saat ini yang sangat besar, resiko makin besar.

9. Mengapa pemerintah tidak utang ke dalam negeri kepada bank, kepada dana asuransi, kepada dana pensiun, kepada dana haji, kepada dana zakat dll. pemerintah sudah utang kepada dana dana tersebut di atas. Justru sekarang dana dana itu yang harus dibayar oleh pemerintah kembali. Nah untuk membayar itu pemerintah tidak punya uang. Padahal kalau pemerintah tidak bayar bank bisa colaps, asuransi bisa bangkrut, orang gak bisa berangkat haji, dana pensiun tak bisa dibayar.

10. Ide uang cetakan adalah solusi untuk membayar utang utang pemerintah kepada perusahan nasional, utang kepada bank, utang kepada asuransi, utang Jamsostek, taspen, asabri, dan dana haji dll.

11. Bagaimana dengan utang luar negeri, apa mungkin dibayar dengan uang cetakan? Memang ini tidak akan diterima oleh negara lain atau internasional. Karena rupiah bukan mata uang internasional yang menjadi komoditas perdagangan. Namun tampaknya akan ada mekanisme lain untuk mengatasi utang luar negeri tersebut.

Apakah Perlu Persetujuan DPR?

1. Jika menyangkut APBN maka tentu harus persetujuan DPR. Karena ini adalah utang BI dalam bentuk uang cetakan kepada pemerintah maka bagian DPR adalah urusan aliran utang ini ke dalam fiskal dan masalah masalahnya.

2. Dalam menetapkan target target makro ekonomi seperti nilai tukar, inflasi, dll, pemerintah menetapkan dalam APBN bersama DPR. Karena cetak uang berkaitan dengan target makro ekonomi maka BI mestinya berkoordinasi dengan DPR dan besarnya utang harus disetujui DPR. Walaupun kewenangan mencetak uang adalah kewenangan BI.

3. Namun karena dasar dari semua regulasi ini termasuk kebijakan cetak uang adalah keadaan darurat melalui Perpu No 1 tahun 2020, dimana kewenangan anggaran DPR telah dihapus secara sepihak oleh Perpu ini. Maka utang pemerintah dalam uang cetakan kepada BI bisa tanpa persetujuan DPR. Kecuali DPR menolak mensyahkan Perpu 1 tahun 2020 yang telah berjalan dan telah didaftarkan dalam lembaran negara.

Kesimpulan

1. Uang cetakan BI ini akan menjadi utang pemerintah kepada BI. Karena BI membeli obligasi pemerintah di pasar perdana yang harganya diatur pemerintah dan BI. Dan bunga obligasi pemerintah yang dibeli ini juga diatur bersama oleh keduanya.

2. Obligasi pemerintah yang dimiliki bank Indonesia ini bisa diperdagangkan lagi. melalui Repo, dan macam macam. Mungkin nanti ada yang mau membeli dengan bunga yang lebih tinggi, atau Tempo lebih panjang. Seperti dalam Perpu 1 disebutkan soal Repo oleh LPS. Apakah dana LPS mau dipindahkan semua ke kas menteri keuangan?

3. Utang pemerintah akan tambah besar? Tentu saja. Karena ini adalah seperti bantuan liquiditas BI /utang BI kepada pemerintah. Dimana pemerintah akan membayar kepada BI nanti beserta bunganya.

4. Apakah ini akan berdampak pada inflasi ? Tentu saja! Karena uang cetakan akan digunakan untuk membayar gaji pegawai, belanja rutin, dll, termasuk digunakan untuk membayar utang pemerintah kepada Bank, kepada asuransi, pada Jamsostek, taspen, BPJS, dana haji, yang sebagian besar telah dipinjam pemerintah melalui Surat Utang Negara (SUN).

Komentar