Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah Kritik Instruksikan Siswa Baca Buku Karya Felix Siauw yang Seharusnya ASN Memegang Teguh Ideologi Pancasila

Jakarta, b-Oneindonesia – Sebelumnya baru-baru ini, publik diramaikan dengan kontroversi surat Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bangka Belitung, Muhammad Soleh, yang menginstruksikan siswa-siswi SMA/SMK di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung membaca buku Muhammad Al-Fatih 1453 karya Felix Siauw.

Merespons hal ini, Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Basarah mengatakan memang tidak seharusnya aparat pemerintah pembuat kebijakan pendidikan nasional menginstruksikan yang kontra-produktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan ideologi Pancasila.

“Seperti kita tahu, penulis buku itu adalah tokoh organisasi yang dibubarkan oleh pemerintah karena asas organisasinya berlawanan dengan Pancasila. Karena itu saya menilai wajar saja jika kontroversi muncul karena banyak orang dengan gampang menduga buku itu merupakan bagian dari propaganda terselubung pengusung ideologi transnasional,” ujar Basarah dalam keterangannya, Sabtu (3/10/2020).

Diketahui, munculnya kontroversi ini bermula dari surat Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bangka Belitung Nomor 420/1109.f/DISDIK tanggal 30 September 2020, yang berisi instruksi kepada siswa/siswi di Kepulauan Bangka Belitung untuk membaca dan merangkum buku karangan Felix Siauw.

Adapun buku tersebut membahas tentang sejarah khalifah ketujuh Turki Utsmani yang berkuasa pada 1444 – 1446 dan 1451 – 1481. Nantinya, seluruh sekolah wajib melaporkan hasil karya siswanya ke Kantor Cabang Dinas Pendidikan Kepulauan Babel. Selanjutnya, Kantor Cabang Dinas Pendidikan akan melaporkan ke Dinas Pendidikan Kepulauan Babel paling lambat 18 Desember 2020.

“Saya tidak habis pikir, jika alasan mewajibkan buku tokoh bangsa asing ini adalah agar para siswa meneladani kepahlawanan dan kepemimpinan tokoh-tokoh di masa lalu, padahal masih banyak keteladanan dan ketokohan pahlawan nasional yang layak dibaca. Apa kurangnya ketokohan Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, KH. Hasyim Asy’ari, Bung Karno, Bung Tomo, atau ketokohan Jenderal Soedirman? Kisah-kisah keteladanan mereka lebih punya alasan untuk siswa dan siswi diwajibkan membacanya,” jelasnya.

Menurut Basarah, alasan lain yang membuat hal ini menjadi kontroversial karena penulis buku tersebut merupakan tokoh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebuah organisasi pengusung ideologi khilafah yang telah dibubarkan oleh Pemerintah dan Pengadilan. Basarah menambahkan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) seharusnya taat dan patuh pada Undang-Undang ASN No. 5 Tahun 2014 yang mewajibkan ASN taat dan patuh pada ideologi Pancasila.

Selain itu, dalam Pasal 3 undang-undang disebutkan seorang ASN saat menjalankan profesinya harus berlandaskan pada prinsip nilai dasar, kode etik dan kode perilaku, serta komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan publik.

“Jika kita merujuk pada Pasal 4 UU ASN tersebut, jelas ketika menguraikan apa yang dimaksud nilai dasar dalam Pasal 3, disebutkan bahwa seorang ASN harus memegang teguh ideologi Pancasila, setia dan mempertahankan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta pemerintahan yang sah, mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia, menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak,” paparnya.

Meskipun instruksi tersebut langsung dibatalkan oleh Muhammad Soleh pada 1 Oktober 2020 akibat kontroversi yang meluas, Basarah tetap melihat adanya surat instruksi tersebut sebagai preseden buruk bagi dunia pendidikan nasional.

Lebih lanjut Sekretaris Dewan Penasehat Baitul Muslimin Indonesia ini menjelaskan sanksi bagi ASN yang melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana diatur dalam pasal 87 ayat (4) UU ASN terancam dengan pemberhentian tidak dengan hormat.

“Peristiwa ini sekaligus menjadi pengingat bagi kita bahwa di dunia pendidikan, internalisasi nilai-nilai Pancasila memang belum dikuatkan oleh undang-undang. Pancasila belum dinyatakan secara eksplisit dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai mata pelajaran wajib di jenjang pendidikan dasar, menengah, dan atas.

Ini ‘pekerjaan rumah’ kita bersama. Tapi, jangan karena pendidikan Pancasila belum dihidupkan di jenjang ini dalam undang-undang, lalu pembuat kebijakan di daerah bisa dengan seenaknya sendiri memasukkan nilai-nilai yang bertentangan dengan dasar negara kita, Pancasila,” ujarnya.

Komentar