Ahmad Basarah Anggap Polemik Kontroversi Dipolitisir, Membuat Puan Naik Kelas

Jakarta, b-Oneindonesia – Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah klarifikasi perkataan Ketua DPR Puan Maharani atas pernyataan “Semoga Sumbar menjadi provinsi yang benar-benar mendukung negara Pancasila” yang memunculkan kontroversi.

Wakil ketua MPR, mengatakan Puan adalah salah satu tokoh perempuan Indonesia yang disumbangkan dan dipersembahkan masyarakat Minang kepada bangsa Indonesia menjadi ketua DPR untuk pertama kalinya.
Hal iu diungkap Basarah dalam program ILC atau Indonesia Lawyer Club “Sumbar Belum Pancasilais?” yang ditayangkan Tv One, Selasa (8/9) malam.

Basarah menjelaskan dalam dua perspektif. Pertama dari sisi teks, konteks, dan motif pernyataan Puan. Kedua, penjelasan mengenai konstruksi pemikiran, sikap ideologis, dan spiritualitas Puan berdasar latar belakangnya.

Menurutnya, pernyataan Puan disampaikan dalam acara internal pengumuman calon gelombang V dari PDIP untuk Pilkada Serentak 2020, yang dipimpin Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, bersama Sekjen Hasto Kristiyanto.

Acara dihadiri segenap pengurus DPP PDIP, struktur partai yang terkait dengan nama-nama calon yang akan diumumkan, serta calon-calon dari internal maupun eksternal.
“Jadi dengan demikian itu acara internal,” tegasnya.

Dalam tradisi PDIP, keputusan akhir soal siapa yang diusung atau didukung adalah otoritas ketum. Karena itu, katanya, Puan ketika mengumumkan hanya membuka amplop bersegel yang berisi dokumen surat rekomendasi cagub dan cawagub Sumbar.

Dalam narasi lisannya, kata Basarah, Puan mengatakan untuk Sumbar rekomendasi diberikan kepada Mulyadi dan Ali Mukhni dan mengucap “merdeka. “Serta dalam satu tarikan napas memberikan amanat dan pesan calon yang didukung oleh PDIP “semoga Sumbar menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila”, ditutup dengan bismillahirrahmanirrahim dan merdeka,” papar Basarah.

Menurut Basarah, dari aspek teks maka secara keseluruhan sudah jelas pesan yang disampaikan Puan merupakan harapan dan doa kepada Sumbar yang dititipkan amanatnya kepada Mulyadi dan Ali yang didukung PDIP.
“Agar kalau mereka terpilih, mereka tetap menjaga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila,” kata Basarah.

Menurutnya, secara kultural Puan sebagai perempuan pertama yang menjadi ketua DPR di Indonesia memiliki kewajiban moral dan politik untuk memastikan Pilkada 2020, khususnya kepada cagub dan cawagub yang didukung PDIP, tetap menjadikan Sumbar sebagai provinsi yang benar benar mendukung negara Pancasila.Selain itu, ujar dia, karena statusnya hanya mendukung bukan mengusung calon, maka Mulyadi dan Ali tidak diikutkan dalam sekolah partai. Karena itu, kata Basarah, Puan dalam kapasitasnya sebagai ketua DPP PDIP Bidang Politik dan Keamanan yang juga ketua DPR menitipkan dan mengamanatkan kepada Mulyadi dan Ali dalam kesempatan tersebut.

“Kalau terpilih untuk memastikan Sumbar menjadi negara yang mendukung negara Pancasila. Jadi, konteks pesan dan amanat Mbak Puan itu disampaikan kepada Mulyadi dan Ali Mukni, yang didukung PDI Perjuangan,” kata Basarah.

Menurutnya, kalimat Puan itu mengonfirmasi kapasitas intelektualnya tentang sejarah politik Indonesia, terutama di dalam membentuk Pancasila sebagai dasar negara.
Ia menambahkan kalimat yang diucapkan itu didasari pemahaman Puan ketika belajar di Fakultas Ilmu Sospol UI terkait tiga tokoh Minang yakni M Yamin, M. Hatta, Agus Salim, bersama dengan para pendiri bangsa yang lain, memiliki peran sangat signifikan di dalam pembentukan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka.“Mereka semua terlibat di keanggotaan BPUPKI, terlibat dalam Panitia 8, dan terlibat dalam Panitia 9 yang melahirkan Naskah Piagam Jakarta,” kata dia.

Bahkan, lanjutnya, Bung Hatta memiliki peran yang amat penting ketika terjadi perubahan dari Naskah Piagam Jakarta menjadi konsep Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebelumnya, dalam Naskah Piagam Jakarta sila pertama berbunyi “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”. Kemudian, berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

“Ini adalah berkat jasa Bung Hatta. Pada pagi hari sebelum dilakukan sidang PPKI 18 Agustus 1945 beliau melobi tokoh-tokoh Islam agar berkenan tujuh kata tersebut menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa agar persatuan bangsa Indonesia yang baru satu hari dimerdekakan tetap kukuh menjadi bangsa yang bersatu dan berdaulat,” kata dia.

Akhirnya, lanjut dia, lobi Bung Hatta menghasilkan kesepakatan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai titik temu yang mempertemukan pandangan golongan Islam dan kebangsaan.
“Jadi, tidak mungkin Mbak Puan a-histori terhadap pandangan itu,” tegas Basarah.

Ia menegaskan statemen politik Puan tidak dimaksudkan menyinggung siapa pun juga, termasuk kompetitor lainnya di pilkada Sumbar dan kelompok oposisi pemerintah. Karena itu, Basarah berpendapat tidak ada, maupun motif untuk mendiskreditkan apalagi merusak citra masyarakat Minang.“Karena yang disebut dalam statemen Mbak Puan itu adalah Provinsi Sumbar. Provinsi Sumbar artinya bicara tentang kepala daerah yang pada saat itu calon gubernur dan calon wakil gubernurnya sedang diputuskan oleh PDIP,” kata dia.

Lebih jauh Basarah percaya bahwa konstruksi pemikiran dan sikap ideologis seseorang termasuk Puan dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dan lingkungan. Dia mengatakan, Presiden ILC Karni Ilyas sudah menjelaskan di awal acara soal silsilah leluhur Puan dari ibunya almarhum Pak Taufik Kiemas, ayah Puan, maupun ibu Puan, Megawati Soekarnoputri. “Yang di dalamnya mewakili spektrum kultural bangsa Indonesia dan secara ideologis mewakili spektrum pemikiran kebangsaan dan pemikiran Islam,” katanya.

Karena itu, Basarah menegaskan, narasi yang Puan sampaikan menyebut frasa atau diksi yang menyatakan semoga Sumbar menjadi provinsi yang benar-benar mendukung negara Pancasila dalam satu tarikan napas dengan kalimat bismillahirrahmanirrahim, itu menggambarkan Puan lahir dari kultur keluarga, lingkungan yang membangun paradigma kebangsaan dan Islam.

“Ketika ia menyampaikan pidatonya tanpa teks menyebut kata pancasila dan bismillahirrahmanirrahim, dia sedang menjelaskan kepada rakyat bahwa ketua DPR yang kita miliki ini adalah seseorang yang memiliki konstruksi paradigma pemikiran ideologis kebangsaan dan spiritualitas yang kuat,” kata dia.

Menurutnya, ini menggambarkan bahwa dulu para pendiri bangsa bertemu antara paham nasionalisme dan Islam dalam perspektif menjadi pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, Basarah berpendapat seharusnya sebagai bangsa Indonesia mengambil hikmah positif dari peristiwa ini.

“Kita bersyukur seorang Puan Mahrani yang merupakan ketua DPR RI perempuan pertama kalinya yang dimiiliki bangsa Indonesia sejak republik ini berdiri, memiliki paradigma berpikir dan spiritualitas mewakili mainstream bangsa Indonesia yakni kebangsaan dan religiusitas, hal ini Mbak Puan sebagai seorang Muslim,” ujarnya.

Komentar