Garis Pokok Haluan Negara Dibutuhkan Agar Tidak Terjadi Inkonsistensi Pembangunan Jangka Panjang

Bogor, b-oneindonesia- Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan dalam menyikapi polemik menghadirkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN), sebagaimana direkomendasikan MPR RI periode 2014-2019, posisi MPR RI 2019-2024 akan melakukan kajian yang lebih cermat dengan melibatkan seluasnya partisipasi rakyat. Karena itu dirinya berencana mengunjungi langsung berbagai lapisan masyarakat di berbagai Kabupaten/Kota hingga Kecamatan dan Desa untuk mendengar langsung masukan maupun kondisi dan arah pembangunan yang mereka rasakan.  

“Pada prinsipnya, substansi di dalam Pokok-Pokok Haluan Negara hanya memuat kebijakan strategis yang akan menjadi rujukan bagi penyusunan haluan pembangunan oleh pemerintah. Dengan demikian tidak mengurangi ruang kreatifitas presiden untuk menerjemahkannya ke dalam program-program pembangunan sesuai visi misi yang disampaikannya saat kampanye. Justru dengan adanya Pokok-Pokok Haluan Negara akan menjadi payung yang bersifat politis bagi penyusunan haluan pembangunan yang bersifat teknokratis,” ujar Bamsoet saat menjadi Keynote Speech Seminar Nasional ‘Polemik Menghadirkan Kembali GBHN’, diselenggarakan Direktorat Publikasi Ilmiah dan Informasi Strategis Institut Pertanian Bogor, Kamis, (31/10/19).

Turut menjadi narasumber lainnya antara lain Peneliti Senior LIPI Prof. Dr. Siti Juhro,  Guru Besar IPB Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, Direktur Akbar Tandjung Institute Dr. Alfan Alfian dan anggota DPR RI Ichsan Firdaus. 

Mantan Ketua DPR RI ini memaparkan, urgensi awal mengapa muncul wacana mereformulasikan sistem perencanaan pembangunan nasional dengan model GBHN adalah agar tidak terjadi inkonsistensi arah dan kebijakan pembangunan antara jenjang nasional dan daerah, maupun antara satu periode pemerintahan dengan periode pemerintahan penggantinya. Mengingat sistem perencanaan pembangunan nasional berlandaskan pada Undang-Undang tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang disusun berdasarkan Visi dan Misi calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

“Dengan model sistem perencanaan pembangunan nasional yang demikian memungkinkan RPJPN dilaksanakan secara tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan mengingat implementasi RPJMN didasarkan kepada visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam pemilihan umum, yang masing-masing dapat memiliki visi dan misi yang berbeda dalam setiap periode pemerintahan. Demikian pula antara sistem perencanaan pembangunan nasional dan sistem perencanaan pembangunan daerah, kemungkinan berpotensi terjadi ketidakselarasan pembangunan mengingat sistem perencanaan pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) tidak terikat untuk mengacu pada RPJMN mengingat visi dan misi Gubernur/Bupati/Walikota yang mungkin dapat berbeda dengan Visi dan Misi Presiden dan/atau Wakil Presiden terpilih, demikian juga dengan Visi dan Misi Gubernur/Bupati/Walikota di daerah-daerah lainnya,” papar Bamsoet.

Dari serangkaian diskusi yang dilakukan MPR RI 2009-2014 maupun MPR RI 2014-2019 dengan berbagai kalangan, termasuk di dalamnya para tokoh masyarakat, pakar, dan akademisi, Legislator Dapil VII Jawa Tengah yang meliputi Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen ini menyampaikan pada umumnya mereka sependapat bahwa diperlukan haluan negara dalam pelaksanaan pembangunan untuk menjaga pembangunan yang berkelanjutan, serta integrasi sistem perencanaan pembangunan nasional dan daerah dalam rangka mencapai cita-cita bernegara. Dorongan yang sangat kuat di antaranya datang dari Forum Rektor. 

“Perdebatan barulah muncul ketika pembahasan mulai memasuki bentuk hukum apa yang paling tepat dilekatkan pada model GBHN itu sendiri. Apakah ditetapkan melalui Ketetapan MPR atau Undang-Undang,” tutur Bamsoet.

Bamsoet menjelaskan, mengatasi perdebatan tersebut, MPR RI melalui Badan Pengkajian MPR RI dan Komisi Kajian Ketatanegaraan terlebih dahulu akan menyusun substansi Pokok-Pokok Haluan Negara. Substansi tersebut harus mampu menggambarkan wajah Indonesia pada tahun 2045, ketika usia kemerdekaan Indonesia genap satu abad; mampu menjawab kebutuhan Indonesia ke depan yang relevan dengan tatanan kehidupan bernegara di era milenial yang sangat dipengaruhi Revolusi Industri 4.0.

“Mampu menggambarkan megatrend dunia yang meliputi kemajuan teknologi, perubahan geopolitik, perubahan geoekonomi, demografi dunia, urbanisasi global, perdagangan internasional, keuangan global, kelas pendapatan menengah, persaingan sumber daya alam, dan perubahan iklim, yang semuanya akan berpengaruh pada pembangunan Indonesia; serta mampu memberikan arahan (direction) pada semua bidang pembangunan untuk menjawab tantangan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau lebih sering dikenal dengan SDGs (Sustainable Development Goals),” ujar Bamsoet.

Bamsoet menambahkan, setelah MPR RI berhasil menyusun substansi dari Pokok-Pokok Haluan Negara, barulah dimusyawarahkan mengenai bentuk hukum apa yang paling pas dilekatkan pada Pokok-Pokok Haluan Negara tersebut, apakah dalam bentuk Ketetapan MPR RI atau cukup Undang-Undang saja. Tanpa adanya substansi, maka perdebatan mengenai gagasan menghadirkan kembali GBHN akan menjadi sia-sia.

“Dengan perkataan lain, bagaimana mungkin kita memperdebatkan baju hukumnya, sementara substansi yang akan diberi baju hukum itu sendiri belum ada,” tandas Bamsoet.

Kesimpulannya, Bamsoet menerangkan, jalan menuju perubahan terbatas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 masih panjang dan tidak mudah. Untuk sekadar mengusulkan perubahan pasal-pasal di dalam Undang-Undang Dasar saja memerlukan sekurang kurangnya 1/3 anggota MPR RI atau 237 pengusul. Kuorum rapat untuk membahas usul perubahan harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR RI atau 474 anggota. Dan, usul perubahan harus disetujui oleh lima puluh persen ditambah satu dari seluruh anggota MPR atau 357 anggota.

“Namun, yang jauh lebih penting, perubahan Undang-Undang Dasar bukanlah semata-mata perhitungan matematis sebagaimana diatur di dalam Pasal 37, tetapi memerlukan konsensus politik seluruh kekuatan politik. Tidak boleh ada voting dalam urusan hukum dasar ini. Dan, yang jauh lebih penting adalah seluruh rakyat Indonesia memang membutuhkannya,” ujar Bamsoet.

Komentar