Sejumlah Peristiwa Menarik Perhatian Masyarakat di DPR Senayan Sepanjang 2019

Jakarta,b-oneindonesia- Sepanjang tahun 2019, kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak selamanya berjalan mulus. DPR yang mengemban fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran tak pernah lepas dari perhatian masyarakat. Beragam isu dan peristiwa menerpa DPR menghiasi gedung parlemen di Senayan sebagai rumah rakyat sepanjan 2019.

Menutup tahun 2019, merangkum sejumlah peristiwa menarik selama setahun terakhir ini di tengah transisi keanggotaan DPR periode 2014-2019 ke 2019-2024 pada Oktober 2019.
 

1 . Penundaan RUU Permusikan

Adanya gagasan membuat aturan tentang permusikan menuai pro kontra. Awalnya, pengusul RUU Permusikan Anang Hermansyah berjuang keras memasukkan RUU Permusikan masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2019. Menempati urutan 48 dalam daftar Prolegnas Prioritas 2019 saat itu menjadi harapan agar dunia permusikan menjadi lebih baik.
 
Namun, kalangan musisi memiliki pandangan berbeda dan menolak ketika mengetahui draf RUU Permusikan itu tersebar ke publik. Pasalnya, sejumlah pasal dalam draf RUU itu dinilai mengancam keberlangsungan para musisi dalam berkarya.

Terlebih, musisi diharuskan bersertifikasi. Penggagas Konferensi Musik Indonesia (KAMI) Glenn Fredly beserta sejumlah musisi lain ramai-ramai menyambangi DPR menggalang gerakan tolak RUU Permusikan.

Kalangan musisi saat itu terpecah menjadi tiga yakni, pro terhadap RUU Permusikan, menolak RUU, dan sepakat agar draf RUU Permusikan direvisi.

Ketua DPR saat itu Bambang Soesatyo berharap agar para musisi memiliki satu suara memandang RUU Permusikan. Lantaran pandangannya tak dapat dipersatukan, RUU Permusikan akhirnya resmi dicabut oleh pengusulnya, Anang Hermansyah pada awal Maret 2019. Kemudian disepakati oleh DPR dan pemerintah pada pertengahan Juni 2019 mencabut RUU Permusikan tersebut dari daftar Prolegnas Prioritas 2019.
 

2 . DPR tolak 4 CHA usulan KY

Dalam beberapa kali musim seleksi CHA, beberapa CHA yang diusulkan KY ditolak Komisi III DPR. Terakhir, Komisi III DPR menolak empat CHA usulan KY pada Selasa (21/5/2019) lalu. Keempat CHA yang ditolak DPR itu adalah Ridwan Mansyur (Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Bangka Belitung); Matheus Samiaji (Hakim Tinggi Pengadian Tinggi Sulawesi Tengah); Cholidul Azhar (Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Sulawesi Selatan), dan Sartono (Wakil Ketua III Pengadilan Pajak).
 
Ridwan Mansyur dan Matheus Samiaji seleksi untuk kamar perdata. Sementara Cholidul Azhar untuk kamar agama dan Sartono untuk kamar tata usaha negara (TUN).

Keputusan menolak diambil setelah 7 fraksi yakni Fraksi PDIP, PPP, PAN, PKS, Demokrat, Nasdem, Gerindra memberi penilaian seragam dengan menolak seluruhnya. Sementara tiga fraksi lainnya hanya menerima 1 calon dan hanya Fraksi PKB menerima semua calon.

Alasan mendasar Komisi III menolak seluruh calon karena semua CHA dipandang tidak memenuhi syarat kapabilitas, kredibilitas, dan integritas.

3. Anggota dewan nyalon BPK

Tahapan seleksi calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2019-2024 digelar Komisi XI DPR pada Juni 2019 lalu. Menariknya, sejumlah anggota dewan yang tidak terpilih lagi menjadi anggota DPR periode 2019-2024 mencoba peruntungan mencalonkan diri sebagai anggota BPK, seperti Pius Lustrilanang, Ahmadi Noor Supit, Daniel Lumban Tobing, Tjatur Sapto Edy, Akhmad Muqowam, dan Nurhayati Ali Assegaf.

Pada umumnya, mereka berlatar belakang politisi yang pernah duduk sebagai anggota Komisi XI DPR yang notabene mitra kerja BPK. Seleksi calon anggota BPK ini dinilai konflik kepentingan meskipun secara normatif dalam UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK tak ada larangan politisi menjadi calon anggota BPK. Hanya saja, secara etis fakta ini mengusik pikiran publik.
 
Karena itu, ada usulan agar DPR merevisi UU BPK dengan menambah ketentuan syarat anggota BPK tidak berasal dari kalangan partai politik atau terafiliasi ke partai politik. Upaya ini penting untuk memastikan dan menjaga independensi kerja-kerja pengawasan keuangan negara agar tetap independen dan akuntabel.
 
4. Seleksi calon komisioner KPK Jilid V

Pergantian pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023 di DPR menjadi peristiwa yang cukup menyita perhatian dan mengecewakan publik. Sebab, sejak awal proses penjaringan calon pimpinan KPK oleh Panitia Seleksi (Pansel) bentukan Presiden ini dinilai tidak fair lantaran meloloskan sejumlah calon yang bermasalah. 
 
Namun, DPR melalui uji kepatutan dan kelayakan tetap meloloskan salah satu calon yang bermasalah yakni Inspektur Jenderal (Pol) Firli Bahuri. Selain Firli, DPR menyetujui empat calon lainnya yakni mantan Komisioner LPSK periode 2013-2018 Lili Pantauli Siregar (advokat); Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Nurul Ghufron; Hakim Nawawi Pamolango, dan pimpinan KPK periode 2015-2019 Alexander Marwata.
 
5. Penundaan RKUHP

September 2019, DPR diganjar sejumlah aksi demonstrasi mahasiswa. Selain itu, sejumlah elemen masyarakat pemerhati hukum pidana pun turun ke jalan mendesak DPR menunda sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) bermasalah, khususnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU. Setelah dihantam berbagai aksi demonstrasi secara bertubi-tubi di DPR dan sejumlah daerah, akhirnya DPR memutuskan menunda pengesahan sejumlah RUU yakni RKUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU tentang Mineral dan Batubara, RUU Pertanahan.

6. Pengesahan Revisi UU KPK

Revisi UU KPK ini disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 17 September 2019. Sejak awal revisi UU KPK menimbulkan polemik baik yang pro maupun kontra di masyarakat karena dinilai melemahkan KPK dalam memberantas korupsi. Hal ini ditandai aksi demonstrasi meluas elemen masyarakat termasuk mahasiswa yang menolak revisi UU KPK dan sejumlah RUU lain yang bemasalah dan berujung menelan korban dari mahasiswa.  
 
Selain itu, di tengah desakan agar Presiden menerbitkan Perppu KPK, sejumlah elemen masyarakat “menggugat” Perubahan UU KPK itu di Mahkamah Konstitusi. Alasannnya, proses pengesahan UU No. 19 Tahun 2019 ini dinilai tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan (cacat formil) karena proses pengesahannya begitu cepat dan tertutup tanpa melibatkan partisipasi masyarakat termasuk KPK. (John F Sayuti)

Komentar