Oleh: Didik Sasono Setyadi
Belakangan ini banyak sekali diskusi, seminar, workshop, tulisan dan komentar seputar Omnibus Law, khususnya Omnibus Law tentang “Cipta Lapangan Kerja” yang bahkan diplesetkan menjadi RUU “Cilaka”.
Ada dua perspektif yang saling berhadapan dalam soal Omnibus Law ini, di satu sisi pemerintah menganggap bahwa Omnibus Law ini dipahami dan dimaksudkan sebagai satu-satunya terobosan cepat untuk mengatasi distorsi pertumbuhan ekonomi / investasi di Indonesia yang masih lambat, di sisi lain sekelompok masyarakat khususnya penggiat advokasi masalah-masalah sosial, wabil khusus seputar isu perburuhan dan isu lingkungan, hadirnya undang-undang “sapu jagad” ini dianggap sebagai ancaman bagi perlindungan hukum terhadap buruh maupun lingkungan.
Selain adanya indikasi kuat bahwa pemerintah dan masyarakat belum satu persepsi soal Omnibus Law ini, ternyata ada pula kecemasan dari kaum intelektual (akedemisi) bakan juga kalangan professional birokrasi yang menangani eksekusi kebijakan pemerintah sehari-hari, merasa ditilap / ditinggalkan, tidak dilibat sertakan dalam penyusunan draft RUU ini. Mereka semua merasa tidak diajak bicara apalagi ikut merumuskan, bahkan yang lebih parah lagi, untuk mendapatkan informasi terkini tentang draft dan Naskah Akademis RUU yang sedang disiapkan pemerintah ini pun banyak yang mengalami kesulitan. Sehingga wajar kemudian menimbulkan syak wasangka, tentang apa yang sesungguhnya di balik ini semua.
Richardson pernah mengatakan “Governments differ in their ability to impose their policy goals and in their willingness to act in preventive pro-active way”. Pemerintahan itu membedakan dalam kemampuannya untuk menerapkan tujuan-tujuan kebijakanannya dan dalam kemauan bertindak untuk melakukan pencegahan melalui cara-cara yang proaktif”. Oleh karena itu bisa jadi senyapnya proses serta minimnya pelibatan berbagai pihak yang biasanya diikutsertakan dalam penyusunan, perumusan RUU, serta sedikitnya akses yang dibuka kepada mereka untuk mengetahui progress penyusunan draft RUU tersebut adalah sesuatu yang disengaja, karena RUU meliputi “review” dan “amandemen” terhadap banyak sekali aturan hukum positif yang existing. Bila kemudian menggunakan model penyusunan draft as usual, bisa dibayangkan akan berapa lama selesainya, dan berapa banyak “bias”nya dari kerangka yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
Pemerintahan Presiden Jokowi mungkin merasa telah memiliki cukup data dan informasi terkait dengan permasalahan-permasalahan yang menghambat investasi serta pertumbuhan ekonomi, sehingga mengapa saat ini penciptaan lapangan kerja serta investasi masih terlampau lambat pertumbuhannya. Padahal di sisi lain pemerintah sadar betul bahwa pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja adalah tanggung jawab utama mereka, maka dari itu dengan mandat politik yang dimiliki sebagai pemerintah yang terbentuk dari pemilu yang demokratis Tim Presiden Jokowi ini cukup “pede” untuk bekerja dalam senyap menyiapkan draft RUU yang sangat tebal itu. Kata kunci yang diusung dalam penyiapan draft Omnibus Law ini adalah semangat Government Reform (reformasi pemerintahan).
Reformasi Pemerintahan diartikan meliputi: Re-inventing, Re-thinking, Re-vitalization, Re-orientation dan Re-engineering. Dengan kalimat lain, Reformasi Pemerintahan adalah: Penemuan Kembali Jati Diri, Pengkajian dan Pemikiran Ulang Secara Menyeluruh, Penguatan Kembali Semua Potensi dan Fungsi Pemerintahan, Pengukuhan Kembali Arah Tujuannya, serta Melakukan Rekayasa Berbagai Sumber Daya untuk Mencapainya.
Sesungguhnya Omnibus Law di dalam benak Pemerintahan Jokowi memiliki kandungan unsur-unsur:
- Penemuan kembali jati diri pemerintah yang menjalankan fungsi pembangunan dan pemberdayaan (development and empowerment), bukan semata-mata fungsi regulasi (regulation) dimana pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja telah disepakati oleh dunia sebagai indikator keberhasilannya.
- Pengkajian dan pemikiran ulang secara menyeluruh, tidak parsial, guna menetapkan langkah yang seiring dan seirama dengan melakukan koreksi terhadap hal-hal yang sekarang ada dan menyepakati cara / metode baru yang kolaboratif / sinergis.
- Penguatan potensi political system, rasionalitas serta institusi /kelembagaan untuk menggoalkan suatu pilihan kebijakan publik dan kemudian mengawalnya untuk mencapai tujuan ditetapkan.
- Pengukuhan kembali arah dan tujuan / focus pada tujuan yang ditetapkan tidak ingin tersandera oleh perdebatan wacana “perlu” atau “tidak perlu” Omnibus Law ini?
- Melakukan rekayasa (optimalisasi) sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah, setidaknya: elite politik, elite ekonomi, dukungan masa loyalis maupun masa rasionalis.
Dalam kajian Ilmu Pemerintahan inisiatif pemerintah untuk mengajukan Omnibus Law ini termasuk dalam ranah Politik Kebijakan Publik sebagai suatu pilihan yang harus diambil manakala kondisi-kondisi, upaya-upaya awal berupa perangkat fisik: infrastruktur sudah dibangun secara masif belakangan ini, perangkat regulasi: Perpres Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha, maupun Perpres Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission) telah diterbitkan namun ternyata pertumbuhan investasi dan penciptaan lapangan kerja belum juga meningkat secara signifikan sebagaimana yang diharapkan. Ternyata hal-hal prinsip yang berada diluar jangkauan kewenangan Presiden masih terlewat banyak untuk bisa diselesaikan oleh Lembaga Eksekutif, maka dari itu Pemerintah membutuhkan perangkat hukum (Kolaborasi Eksekutif dan Legislatif) yang memberikan kewenangan kepada Eksekutif untuk memutus tali-tali yang menyandera tindakan-tindakan untuk mendorong investasi dan penciptaan lapangan kerja.
Tjahya Supriatna (2016) menggambarkan ciri-ciri umum kebijakan publik antara lain:
- Mempunyai tujuan tertentu.
- Mengandung nilai-nilai yang dialokasikan untuk kepentingan masyarakat.
- Bersifat multi disipliner.
- Tidak berdiri sendiri akan tetapi bersinergi dengan kebijakan publik lainnya dalam masyarakat yang berdimensi politik, hukum, administrasi, sosial dan lain-lain.
- Merupakan apa yang dilakukan pemerintah, bukan apa yang diinginkan pemerintah.
- Bersifat mengarahkan atau mengajurkan dan tidak menganjurkan atau melarang
- Didasarkan pada aspek hukum sehingga memiliki sifat memaksa dan mengikat untuk dipatuhi.
Thomas R Dye mengatakan kebijakan publik adalah “whatever government choose to do or not to do”. Dan dalam hal ini Pemerintahan Jokowi telah memilih untuk menggoalkan Omnibus Law untuk menciptakan lapangan kerja dengan menumbuhkan investasi, ketimbang membiarkan berbagai produk-produk legislasi yang dalam penerapannya menghambat investasi dan penciptaan kerja. Presiden Jokowi sebagimana seorang Pamong Praja yang memahami prinsip residu caring (merasa bertanggung jawab terhadap persoalan yang belum diurusi oleh siapapun), kemudian memilih untuk berbuat sesuatu ketimbang tidak berbuat apa-apa.
James E Anderson (1994) mengenali tindakan pemerintahan Jokowi dalam menggoalkan Omnibus Law ini memenuhi karakteristik sebagai sebuah Kebijakan Publik yaitu: Purposive (tujuannya jelas yaitu peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja), Courses or Patterns of Actions (menjelaskan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut misalnya dengan mengurangi beban pada dunia usaha untuk tidak perlu mengurus perizinan serumit sekarang), What government actually do, Either positive or negative (meliputi hal-hal apa saja yang harus dilakukan oleh pemerintah dan apa saja yang harus tidak dilakukan pemerintah), Base on law and its authoritative (berdasarkan hukum dan kewenangan-kewenangan yang ada).
Namanya juga kebijakan publik. Dari sononya memang merupakan pilihan-pilihan untuk dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah, maka lumrah bila menimbulkan polemik, menimbulkan pro-kontra. Namun demikian polemik atau pro-kontra tersebut tetap memiliki makna dan dalam kerangka yang positif.
Di Negara lain, misalnya di Inggris ketika negera akan mengambil sebuah kebijakan publik “Brexit” (Keluar dari Uni Eropa) maka sampai membuat referendum.
Jadi …., pengambilan kebijakan-kebijakan publik oleh pemerintahan yang dipilih secara demokratis yang menimbulkan pro-kontra itu adalah hal yang biasa, wajar dan lumrah. Pro kontra itu, bukan kontravensi, bukan konflik, bukan pula sebuah perang antara kapitalis dan komunis, apalagi sebuah perang Badar antara Tentara Allah melawan Tentara Setan.