Pancasila Pasca-Orde Baru, Catatan untuk Franz Magnis Suseno

Artikel ini merupakan tanggapan Guntur Soekarnoputra atas artikel Franz Magnis-Suseno di ”Kompas” (17 November 2021) berjudul ”Tantangan Pancasila Pasca-Orde Baru”. Artikel Romo Magnis menanggapi tulisan Ariel Heryanto.

Jakarta, b-Oneindonesia – Terkait artikel Romo Magnis Suseno, ada beberapa hal yang perlu saya dalami untuk lebih meluruskan masalah, terutama kaitannya dengan Pancasila. Romo Magnis-Suseno menggunakan istilah demokrasi pada Orde Reformasi saat ini dengan istilah ”demokrasi Jokowi”. Lengkapnya ”Prof Ariel Heryanto menulis, agar Pancasila pada masa pasca-Orde Baru dan pada masa ’demokrasi Jokowi’ sekarang, jangan dipergunakan sama seperti pada waktu Orde Baru pantas diperhatikan”.

Sejauh yang saya ketahui, Joko Widodo (Jokowi) belum pernah berteori mengenai demokrasi ala dirinya sendiri, tetapi para pengamat saja yang mengartikan dan membuat ”teori-teori” demokrasi ala Jokowi pada saat ini. Yang saya tahu, Jokowi selalu menggunakan atau lebih tepatnya mengadopsi sistem demokrasi yang diajarkan Bung Karno sebagaimana tertuang dalam pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945. Hal itu terlihat dalam visi misinya sejak tampil sebagai calon presiden pada Pilpres 2014, yaitu Nawacita.

Lebih tegas lagi disebut sebagai demokrasi gotong royong

Dalam pidato lahirnya Pancasila, Bung Karno menyatakan demokrasi yang harus diwujudkan dalam Indonesia merdeka adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi atau sosio-demokrasi. Lebih tegas lagi disebut sebagai demokrasi gotong royong.

Jika kita lihat realitas demokrasi saat ini, demokrasi yang berlaku adalah sistem demokrasi yang penulis selalu sebutkan sebagai sistem demokrasi 50 persen + 1, siapa menguasai suara mayoritas, maka dia akan selalu menjadi pemenangnya.

Demokrasi yang berlaku saat ini adalah akibat adanya amendemen UUD 1945. Akibatnya, hal itu membuka celah masuknya sistem demokrasi liberal kapitalistik yang bahkan kebablasan dalam pelaksanaannya.

Demikian pula dalam sistem ekonomi, sektor negara terus tergerus oleh sistem ekonomi pasar bebas dan liberal. Buntutnya, banyak perusahaan swasta nasional atau BUMN pun mati suri bahkan gulung tikar.

Dalam artikelnya, Romo Magnis-Suseno menulis: ”Soekarno, pencetus Pancasila, tidak menganggap Pancasila sebagai semacam ideologi, tetapi sebagai payung di bawahnya segala macam ideologi seperti yang pada waktu itu terdapat di antara para nasionalis Indonesia dapat ditempatkan. Ideologi-ideologi yang diperjuangkan Soekarno sendiri, di bawah payung Pancasila adalah sosialisme, antikapitalisme, antiimperialisme, dan sebagainya”.

Menurut saya, hal Pertama yang harus diluruskan adalah Bung Karno tidak pernah menyatakan dirinya sebagai pencetus atau pencipta Pancasila, tetapi hanya penggali Pancasila.

Kedua, menurut Bung Karno, Pancasila jelas sebuah ideologi, bahkan weltanschaung atau pandangan hidup bagi bangsa Indonesia. (Pidato Soekarno, ”Lahirnya Pancasila”)
Selain itu, Pancasila juga sebagai meja statis dan leitstar (bintang penuntun) dinamis ke arah mana NKRI harus menuju, yaitu suatu negara sosialis modern, religius, dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pendapat Romo Magnis-Suseno yang menyatakan bahwa Marxisme-Leninisme tidak dapat ditampung di bawah lima sila Pancasila adalah pendapat yang benar. Di dalam subjudul ”Pancasila dan agama” dinyatakan bahwa Pancasila bukan suatu ideologi. Seperti apa yang sudah penulis jelaskan sebelumnya, menurut Bung Karno, Pancasila jelas suatu ideologi yang di dalamnya tertampung kelima sila dari Pancasila.

Pancasila dan agama

Jika Romo Magnis-Suseno mengambil ilustrasi di media sosial tentang diributkannya video seorang ustaz yang marah-marah bertanya, apa itu Pancasila? Lalu, kenapa dibanding-bandingkan dengan Al Quran dan hadis?
Saya kira itu benar. Kita tidak dapat membanding-bandingkan Pancasila dengan kitab suci yang merupakan wahyu Ilahi dari Allah SWT dan hadis yang merupakan ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW. Pancasila adalah suatu pandangan hidup yang digali dari bumi Indonesia oleh Bung Karno, terutama saat dibuang ke Flores, pada masa perjuangannya dahulu.

Bung Karno telah menyatakan bahwa Allah SWT adalah sesuatu yang tanpa mula dan tanpa akhir dan sifat Allah SWT dan adalah robbul alamin, dan seru sekalian alam. Yang berarti bukan hanya Tuhannya manusia, akan tetapi juga Tuhannya hewan-hewan, tumbuhan, dan seterusnya (Soekarno: ”Tauhid adalah Jiwaku”, Pidato Penganugerahan Doktor Honoris Causa IAIN).

Jadi, salahlah kita jika membanding-bandingkan Pancasila dengan kitab-kitab suci agama-agama yang ada dan diakui negara. Secara tegas Bung Karno menyatakan, hanya para nabi dan rasul-Nya yang dapat menerima wahyu Ilahi. Manusia biasa hanya dapat menerima ilham dari Tuhan YME.

Pancasila adalah ilham yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia bernama Soekarno dan dicetuskannya pada 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Romo Magnis-Suseno juga menyatakan bahwa kita sudah beragama sebelum pertama kali mendengar kata Pancasila. Hal ini sepenuhnya benar. Akan tetapi, perlu diingat bahwa Pancasila digali oleh Bung Karno sesuai dengan ilham yang ia peroleh melalui berbagai saf atau tingkatan-tingkatan perkembangan umat manusia, khususnya Indonesia.

Mulai dari saf purbakala, kehidupan beternak, feodalisme, Islam di Indonesia, kemudian saf Indonesia modern dan seterusnya (Soekarno: Pancasila sebagai Dasar Negara).
Karena itu, Bung Karno juga pernah menyatakan, jika dadanya dibelah, maka yang akan ditemukan adalah Islam, ajaran yang diterimanya sejak ia tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya.

BPIP dan ”peras-memeras” Pancasila
Lebih jauh, Romo Magnis-Suseno dalam artikelnya juga mengutarakan sesuai dengan pemahaman Prof Ariel Heryanto bahwa untuk usaha mengangkat kembali hal ”pemerasan” Pancasila adalah salah tangkap dan dapat berbahaya.

Memang demikian. Kalau saja kita salah tangkap mengenai ”pemerasan” atau ”perasan” Pancasila yang, menurut Bung Karno, Pancasila dapat diperas menjadi Tri Sila, yaitu Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Bung Karno, Pancasila dapat juga diperas lagi menjadi Eka Sila atau Satu Sila, yaitu Gotong Royong. Gotong royong adalah lebih dinamis daripada kekeluargaan.

Kalau kita mau mendalami secara saksama apa yang lebih dalam diuraikan Bung Karno dalam pidato tanpa teks lahirnya Pancasila, dapat dijelaskan secara gamblang bahwa ”peras-memeras” itu hanyalah masalah simbolik belaka, terlepas dari keberadaan substansi sila-sila dari Pancasila. Tegasnya, kata Bung Karno, dalam Tri Sila tetap terdapat sila-sila Kebangsaan, Perikemanusiaan, dan Kesejahteraan Sosial.

Demikian pula dalam Eka Sila atau gotong royong bukan berarti sila Ketuhanan YME hilang. Juga Kebangsaan pun hilang, dan yang lainnya juga hilang. Sama sekali tidak demikian. Semua sila yang lima itu tetap berada dan tertampung dalam sila Gotong Royong.

Seperti kata Bung Karno dalam pidatonya itu, bagi siapa-siapa yang tidak suka akan simbolik angka lima boleh saja menggunakan simbolik Tri Sila. Tidak setuju dengan simbolik Tri Sila, silakan gunakan simbolik Eka Sila! (Soekarno: Lahirnya Pancasila).

Penulis menyadari, pesan Bung Karno memang sering disalahartikan, bahkan oleh para mahasiswa kita, apalagi yang berpendidikan di luar negeri. Seolah-olah, di mata mereka, dengan adanya ”perasan-perasan”, sila-sila Pancasila ”dipreteli”.

Adanya perasan-perasan Pancasila tadi, sepanjang sesuai dengan yang dimaksud Bung Karno, sama sekali jelas dan tak akan ada bahayanya. Namun, jika materi Pancasila yang dipadatkan tak sesuai dengan pidato Bung Karno 1 Juni 1945, seperti yang pernah muncul dalam draf sebuah rancangan undang-undang beberapa waktu lalu tentunya bakal menjadi masalah dan kontroversi.

Mengenai keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) seperti yang sudah berkali-kali saya utarakan, Pancasila yang menjadi bahan pembinaan BPIP hendaknya bersumber dari Pancasila 1 Juni 1945, dan bukan lainnya. Demikian pula BPIP hendaknya jangan sampai berubah menjadi Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) seperti pada masa Orde Baru.

Pasalnya, BP7 pada akhirnya telah dituding menyelewengkan intisari dari pengertian dan penafsiran Pancasila yang telah digariskan Bung Karno sebagai ideologi bangsa Indonesia atau way of life. Di era lalu, Pancasila hanya dijadikan bahan hafalan, komoditas, dan menekan kelompok-kelompok agama dan lainnya.

Mudah-mudahan dengan adanya penjelasan dari penulis mengenai masalah-masalah tersebut, tantangan Pancasila pasca-Orde Baru dan pada era Reformasi ini dapat diatasi dan bahkan dihilangkan! Dan, Pancasila benar-benar menjadi ideologi bangsa yang dengan sendirinya sudah tinggal dalam keseharian bangsa Indonesia di setiap laku, pemikiran, dan tindakan nyata. Karena, pada dasarnya, Pancasila 1 Juni 1945 selalu onward no retreat!

 

Guntur Soekarnoputra, Putra Sulung Presiden Pertama RI Soekarno dan Pemerhati Sosial

Komentar