Menjaga Marwah Betawi

Oleh: Dr. Usni HasanudinDirektur Laboratorium Ilmu Politik FISIP UMJ; Ketua Dewan Pakar Gemuis Betawi; Ketua Bidang Politik dan Hubungan Antar Lembaga Bamus Betawi.

SwaraSenayan.com. Berbahagialah bagi orang Betawi. Predikat sebagai warga negara Indonesia yang mendiami Ibu Kota Negara. Prestasi sebagai suku asli tanah Jakarta secara alamiah akan terus dituntut sebagai konsekuensi dari lalu lintas manusia yang tidak akan pernah beristirahat. Pembangunan akan menjadi miniatur pesatnya perkembangan wilayah tanah asal, namun tidak akan berdaya guna ketika orang Betawi tidak turut serta menjadi bagian dari pembangunan.

Ada petuah orang tua “jangan selalu memandang ke depan, sesekali tengoklah ke belakang.” Ke depan adalah tujuan, kebelakang adalah nilai. Dengan kata lain, Orang Betawi harus berpandangan ke depan tapi jangan melupakan nilai-nilai yang menjadi tradisi dan sejarah orang Betawi itu sendiri. Dua soal inilah yang harus dijawab oleh orang Betawi untuk menjaga marwahnya sendiri.

Saya mungkin orang yang kurang memahami secara utuh persoalan orang Betawi meskipun saya sendiri adalah orang Betawi. Saya sedikit terusik dan tulisan ini saya coba dedikasikan teruntuk Bamus Betawi yang menyelenggarakan pelantikan kepenggurusan Bamus Betawi tanggal 25 Agustus 2019.  Tema yang sangat manarik pikiran saya, tema yang mangangkat harkat dan martabat orang Betawi “Menjaga Marwah Betawi”.

Mengintegrasikan Nilai

Wajah Jakarta saat ini, memang berbeda dengan wajah Jakarta tempo dulu. Jakarta yang terus berbenah mempersolek dirinya, gedung-gedung yang menjulang tinggi, moda transportasi yang terus ditata bahkan laut menjadi sasaran memperluas wilayah daratan dengan alasan semua pembangunan harus terintegrasi.

Dibalik cepatnya pembangunan, nilai-nilai atau tradisi orang Betawi berjalan lambat bahkan tertinggal. Nilai atau dengan sebutan lain kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan seperangkat nilai tentang kebijaksaaan, kearifan dan keluhuran yang menjadi cara pandang masyarakat dalam memandang lingkungannya. Dua hal ini belum berintegrasi antara kearifan lokal yang bersentuhan secara langsung pada orang Betawi dan kebijakan pembangunan yang secara fisik begitu megah yang dapat dirasakan oleh warga negara Indonesia yang datang ke Tanah Betawi.

Sejatinya kearifan lokal dapat ditempatkan sebagai sumber moral dalam pembangunan. Diperlukan adanya upaya taktis dalam mengintegrasikan nilai kearifan lokal secara kolektif antara orang Betawi dengan pemangku kebijakan. Manakala terjadi akumulasi antara masyarakat dan pembangunan yang terintegrasi, tidak saja sebatas fisik namun keberadaan nilai kebetawian dapat hidup dinamis dan saling berdampingan.

Meskipun dalam prakteknya terdapat pengembangan kearifan lokal, hal ini tidak cukup hanya sebatas simbol yang dapat ditemukan dikantor-kantor pemerintahan, baik dalam bentuk semboyan, pepatah, nyanyian, ataupun perayaan-perayaan yang bersifat ceremony.

Esensi dari mengintegrasikan nilai kearifan lokal yaitu keterlibatan orang Betawi secara langsung dalam setiap penyusunan Perda atau kebijakan lainnya. Saya ingin kembali tekankan, pengembangan kearifan lokal adalah untuk menjaga moral. Marwah betawi memang harus dijaga, akan tetapi bagaimana kita menjaga marwah itu sangat bergantung pada orang Betawi dalam mempengaruhi kebijakan dalam hal ini melalui Perda.

Agar dapat berjalan, saya ingin menggunakan istilah tri guyub yaitu Bamus Betawi, DPRD dan Gubernur disetiap pembahasan Perda apapun. Bukan mengesampingkan pihak-pihak lain yang berkepentingan, akan tetapi dalam setiap pembahasan Perda, orang Betawi akan terkena dampaknya secara langsung. Seyogyanya, untuk mengintegrasikan kearifan lokal atau nilai-nilai Betawi di setiap pembahasan Perda keterlibatan secara langsung sangat diperlukan. Harus ada mekanisne pengaturan secara baik antara Bamus Betawi, DPRD dan Gubernur.

Mengkonsolidasikan Nilai

Jejak rekam kearifan lokal harus terus digali, ditulis dan dipublikasikan agar kesadaran masyarakat Betawi meningkat jangan dibiarkan tertinggal sebagai sejarah. Saya merasa beruntung, dapat hadir dalam pelantikan Kepengurusan Bamus Betawi Periode 2008-2023.

Mungkin baru kali pertama saya berada dalam suasana penuh adab orang Betawi. Adab orang Betawi yang hampir dilupakan kalau kumpul-kumpul banyak tokoh selalu terdengar lantunan shalawat dustur. Adab lain yaitu adanya penghormatan pada yang tua, secara kebetulan acara pelantikan dihadiri oleh Bang Haji Edy Nalap Raya selaku Ketua Majelis Adat.

“Guyub” kalimat yang seringkali terdengar dan kata itu baru saya dapat dalam hajat nya orang Betawi. Semua membaur, tidak ada kesan monopoli dari kelompok tertentu. Saya melihat adanya dialog kultural sesama organisasi Betawi. Aura penghormatan kepada yang tua sangat terjaga. Inilah Bamus Betawi dalam benak pikiran saya.  Guyub itulah mungkin yang dimaksud dengan berkumpulnya organisasi-organisasi Betawi. Berhimpun dan saling berkonsolidasi dalam Bamus Betawi.

Memang dalam hajat tersebut tidak terlihat adanya perwakilan dari pemerintah. Ketidakhadiran dari pihak pemerintah mengingatkan suatu konsep tentang civil society atau masyarakat madani yang diutarakan Jhon Keane salah satu pemikirannya adalah kemandirian. Ketidakhadiran pemerintah bentuk kemandirian Bamus Betawi yang akan sulit diintervensi dan akan lebih mudah mengkonsolidasikan dirinya sebagai kelompok penekan atau kontrol.

Dipihak lain, faktor kepemimpinan menjadi kendali utama dalam menjaga marwah Betawi. Lemahnya kepemimpinan orang Betawi selama ini merupakan salah satu faktor sulitnya orang Betawi menjadi Gubernur. Bamus Betawi memiliki peran yang tidak saja mengkonsolidasikan nilai, jauh ke depan harus mempersiapkan kepemimpinan untuk menjadi orang nomor satu di Jakarta. *SS

Komentar