Dewan Kehormatan APHTN-HAN Bamsoet & Basarah Ajak Para Pakar Kaji Urgensi Pokok-pokok Haluan Negara

Sekjen MPR RI Ma’ruf Cahyono bersama Bamsoet dan Ahmad Basarah dengan Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Guntur Hamzah diruang kerja MPR RI.

Jakarta, b-Oneindonesia – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mendorong agar dalam penyelenggaraan Konferensi Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Tahun 2022, turut membahas urgensi hadirnya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam sistem hukum ketatanegaraan Indonesia. Sebagai organisasi keilmuan yang inklusif, kolegialitas, altruistis, dan kontributif beranggotakan para pakar hukum tata negara dan administrasi negara, APHTN-HAN memiliki legalitas yang kuat untuk memberikan sumbangan pemikiran seputar PPHN.

“Mengingat saat ini bangsa Indonesia seperti tidak memiliki pegangan hukum yang bisa dijadikan sebagai rujukan/pedoman dalam menjalankan pembangunan nasional. Sangat berbeda dibandingkan masa pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia memiliki Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Di pemerintahan Presiden Soeharto memiliki Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sejak era Reformasi, pola pembangunan berubah karena berdasarkan visi dan misi presiden-wakil presiden terpilih, yang dielaborasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 5-10 tahun. Dampak negatifnya, menjadikan tidak adanya kesinambungan pembangunan antara satu periode pemerintahan ke pemerintahan penggantinya,” ujar Bamsoet saat didapuk menjadi Anggota Dewan Kehormatan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) bersama Ahmad Basarah di Ruang Kerja Ketua MPR RI, Jakarta, Kamis (17/2/22).

Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah bersama pengurus APHTN-HAN yang hadir antara lain Ketua Umum Guntur Hamzah, Sekjen Bayu Dwi Anggono, Bendahara Umum Duke Arie, Ketua Departemen Bidang Kerjasama dan Hubungan Antar Lembaga Agus Riewanto, Sekretaris Departemen Kerjasama dan Hubungan Antar Lembaga Tholabie Karlie, dan Bidang Penelitian Fitriani.

Bamsoet menjelaskan, dukungan agar Indonesia kembali memiliki haluan negara pernah disampaikan Presiden ke-3 Indonesia BJ Habibie dalam sebuah acara pada diskusi yang diselenggarakan pada akhir Maret 2014. Diperkuat kembali saat beliau menjadi narasumber diskusi di MPR pada 22 Agustus 2017.

“Dukungan serupa juga datang antara lain dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Forum Rektor Indonesia, Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS), Organisasi Kemasyarakatan dan Organisasi Keagamaan mulai dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, hingga Majelis Tinggi Agama Konghucu, dan berbagai sivitas akademika perguruan tinggi,” jelas Bamsoet.

Lanjut Bamsoet menerangkan, berbagai negara dunia memiliki perencanaan pembangunan jangka panjang. Bahkan sejak 1953, China mengadopsi pola pembangunan menyerupai GBHN dalam merancang peta jalan pembangunan untuk menatap China 2050. Ironisnya, Indonesia justru meninggalkan pola tersebut. Namun belum telat jika ingin kembali menghidupkannya.

“Urgensi menghadirkan PPHN telah dicetuskan oleh MPR RI periode 2009-2014. Sebagaimana tertuang dalam Keputusan MPR Nomor 4/MPR/2014 yang mengamanatkan dalam rangka mewujudkan kesatuan sistem perencanaan pembangunan nasional yang berkesinambungan dan terintegrasi dengan sistem perencanaan pembangunan daerah, maka perlu dirumuskan kembali sistem perencanaan pembangunan yang tepat, berorientasi pada demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Dilanjutkan MPR periode 2014-2019 melalui Keputusan MPR Nomor 8/MPR/2019 yang merekomendasikan kepada MPR Periode 2019-2024 untuk mengkaji substansi dan bentuk hukum PPHN. Termasuk membangun konsensus politik dalam penetapan bentuk hukumnya,” terang Bamsoet.

Bamsoet menambahkan, menindaklanjuti berbagai rekomendasi MPR RI periode 2009-2014 dan 2014-2019, maka MPR RI periode 2019-2024 melalui Badan Pengkajian MPR dan Komisi Kajian Ketatanegaraan saat ini sedang menyelesaikan rancangan PPHN beserta naskah akademiknya. Ditargetkan selesai pada April 2022, untuk kemudian dikirimkan kepada para pimpinan partai politik dan DPD. Dilanjutkan dibahas dalam Rapat Gabungan MPR RI, sehingga MPR RI bisa segera membentuk Panitia Ad Hoc (PAH) PPHN.

“Keberadaan PPHN sebagai bintang penunjuk arah pembangunan sangat penting. Salah satunya untuk memastikan pembangunan Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur tidak mangkrak. Mengingat untuk membangunnya dibutuhkan dana hingga USD 35 miliar atau sekitar Rp 501 triliun. Tidak mungkin bisa selesai hanya dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang akan berakhir pada 2024. Melainkan harus dilanjutkan oleh pemerintahan penggantinya. Karena itulah diperlukan PPHN,” ujar Bamsoet.

Wakil Ketua MPR Rangkul Akademisi Susun Konsep PPHN

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Ahmad Basarah mengajak Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) memberikan masukan tema terkait perlunya Indonesia memiliki Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam agenda konferensi nasional di Bali.

“Saya yakin para akademisi akan menjunjung tinggi sikap kejujuran dan objektivitas dengan bisikan hati nurani mereka, bahwa bangsa ini memang memerlukan Pokok Pokok Haluan Negara agar arah pembangunan negara kita lebih terarah dan konsisten,” kata Ahmad Basarah.

Tanpa PPHN, lanjutnya, kebijakan akan berubah ketika rezim berganti, tanpa ada peraturan yang mengikat rezim berikutnya untuk melanjutkan kerja rezim sebelumnya.

Menurut Ketua Fraksi PDI Perjuangan itu, kajian ilmiah dan masukan para akademisi sangat diperlukan oleh MPR RI dalam melahirkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang PPHN dengan payung hukum yang kokoh.

“Saya juga meyakini jika para akademisi mampu menjalankan tupoksi-nya (tugas, pokok dan fungsi) dengan baik. Masukan mereka akan menjadi tuntunan bangsa Indonesia,” jelasnya.

Dia mengatakan saat ini Indonesia memiliki lima pilar kekuatan demokrasi, yakni eksekutif, legislatif, yudikatif, pers, dan akademisi.

“Sekarang ada pilar kelima, yakni para akademisi yang jujur, objektif, dan cinta bangsa. Jika mereka ikhlas dan objektif berpikir tentang bangsa dan untuk bangsa, saya yakin pilar ini akan menjadi penyeimbang empat pilar demokrasi yang ada saat ini,” ungkapnya.

 

Komentar