Jakarta, b-Oneindonesia – Direktur eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai bahwa jalur hukum adalah langkah paling tepat bagi PDI Perjuangan menyikapi aksi pembakaran bendera meraka oleh massa aksi dari Aliansi Nasional Anti Komunis (ANAK NKRI) yang digelar di depan gedung DPR RI.
“Menempuh jalur hukum merupakan pilihan terbaik bagi PDIP dalam menyikapi aksi pembakaran bendera daripada membalas dengan aksi jalanan,” kata Karyono, dalam siaran persnya yang diterima b-Oneindonesia.co.id,(27/6/2020).
Sebagai partai yang sudah malang melintang dalam pergulatan politik nasional, PDIP tentu berpengalaman dalam menghadapi tantangan. Karyono memandang bahwa PDIP sudah teruji mampu melewati tantangan yang lebih berat saat menghadapi tekanan rezim orde baru.
Berangkat dari pengalaman itu tentu semakin mendewasakan PDIP dalam menghadapi setiap gejolak yang datang.
Maka itu, sikap PDIP yang memilih untuk menempuh jalur hukum dalam merespon aksi penolakan yang disertai pembakaran bendera itu, menunjukkan partai berlambang banteng moncong putih itu sudah tahu ada upaya untuk membuat PDIP dengan umat Islam saling bermusuhan.
Apalagi di tengah polemik yang tengah muncul yakni Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).
“PDIP sudah mencium adanya provokasi yang ingin membenturkan PDIP dengan umat islam dengan memanfaatkan isu penolakan RUU HIP yang diframing secara sistematis,” ujarnya.
Selain itu, pemilihan jalur hukum dibandingkan aksi massa juga dianggap Karyono bisa membuat citra partai tersebut lebih bagus karena dinilai lebih dewasa. Apalagi di situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini, aksi massa hanya akan membuat posisi PDIP kurang elok.
“Mengambil langkah hukum merupakan pilihan yang bijak untuk menghindari bentrokan yang kontra produktif. Apalagi, di tengah situasi pandemi covid-19 ini sangat sensitif untuk memicu kondisi chaos,” jelasnya.
Dikatakan Karyono, bahwa dampak dari pandemi ini telah meningkatkan kerawanan sosial. Karenannya, diperlukan ekstra kewaspadaan terhadap pelbagai potensi yang dapat memicu konflik.
Situasi pandemi ini seperti padang ilalang di musim kemarau yang mudah terbakar.
Terjadi indikasi adanya pihak-pihak yang menginginkan kondisi chaos telah terbukti dengan adanya provokasi yang dilakukan kelompok anarko dan sejumlah aksi teror yang terjadi selama pandemi.
Aksi tolak RUU HIP kenapa bakar bendera PDIP
Dengan hal ini, Karyono Wibowo juga menyayangkan aksi unjuk rasa ANAK NKRI yang diisi oleh beberapa ormas yakni FPI, GNPF Ulama, PA212 dan kelompok 212 lainnya bergeser hingga berujung pada aksi pembakaran bendera PDIP.
Padahal substansi aksinya adalah menolak RUU HIP, di mana notabane seluruh fraksi partai politik di DPR RI sepakat tentang penempatan RUU tersebut bertengger di program legislasi nasional (Prolegnas) minus PKS dan Demokrat.
“Aksi demo yang disertai pembakaran bendera PKI dan PDIP tentu menyisakan pertanyaan. Pada awalnya demo ini tuntutannya adalah menolak RUU HIP dan menuntut agar RUU HIP dicabut. Lantas apa korelasinya antara menolak RUU HIP dengan membakar bendera PKI dan PDIP. Di sinilah yang perlu diurai apa motivasinya,” jelas Karyono.
Selanjutnya, apabila dicermati dengan pelbagai opini yang berkembang terkait penolakan RUU HIP, terdapat beragam pendapat dan kepentingan. Tidak semua yang menolak RUU HIP memiliki argumen yang sama. Pun demikian, ada perbedaan kepentingan di antara kelompok yang menolak RUU HIP. Ada yang murni menolak berdasarkan pertimbangan rasional, ilmiah dan dilandasi kebijaksanaan untuk kemaslahatan bangsa.
Akan tetapi menurut Karyono, di satu sisi di mana di tengah penolakan RUU HIP tercium aroma politik yang menyengat.
“Tujuannya mudah ditebak, yakni untuk menjatuhkan PDIP melalui framing isu komunisme yang dilekatkan ke PDIP,” tandasnys.
Hal ini disampaikannya pula, bahwa semenjak awal munculnya kontroversi RUU HIP, PDIP menjadi sasaran tembak, karena dipandang sebagai partai pengusul. Pelbagai wacana miring mengarah ke partai berlambang banteng moncong putih itu. Di mana PDI Perjuangan dianggap ingin bangkitkan Partai Komunis atau paham komunisme di Indonesia.
Apalagi Presiden saat ini juga berasal dari garis politik PDI Perjuangan, maka muncul narasi untuk menurunkan Joko Widodo sebagai Presiden di tengah aksi yang dipimpin oleh Sekjen GNPF Ulama Edy Mulyadi itu.
“Salah satu isu yang kental dengan kepentingan politik adalah mengkaitkan RUU HIP dengan isu bangkitnya komunisme yang dialamatkan ke PDIP dan Presiden Jokowi,” jelasnya.
Atas dasar itu, Karyono memandang bahwa tak heran ketika aksi pembakaran bendera PKI dan PDIP di tengah aksi demonstrasi di depan gedung DPR adalah bagian dari propaganda politik untuk memberikan stigma komunis ke PDIP.
Pertanyaannya kemudian, mengapa propaganda usang ini masih terus dipakai. Padahal, propaganda ini terbukti gagal.
Karyono berpendapat bahwa, justru yang terjadi semakin diserang dengan propaganda klasik dengan isu komunis dan sekular, justru semakin membesarkan PDIP.
“Terbukti selama pemilu pasca reformasi, partai ini 3 kali menang pemilu legislatif (Pemilu 1999, 2014, 2019) dan 3 kali menduduki jabatan presiden (Megawati 2001 – 2004, Joko Widodo 2 periode) dan 1 kali menduduki wakil presiden (era pemerintahan Abdurrahman Wahid – Megawati),” pungkasnya.
Terakhir, berdasarkan fakta itu, semestinya kelompok ANAK NKRI dan simpatisannya bisa belajar dari realitas. Karyono menyebutnya dengan istilah agar tidak seperti keledai yang tidak bisa belajar dari kegagalan.
“Jadi berusahalah untuk cerdas sedikit dengan membuat strategi baru yang lebih terukur, tepat sasaran, sehingga bisa efektif dalam menundukkan ‘banteng moncong putih’,” ujar Karyono.