Jakarta b-oneindonesia– Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengatakan, kebijakan pengurangan penggunaan kantong plastik harus didukung oleh kesiapan pengusaha kecil secara bertahap dan ketersediaan produk alternatif pada konsumen untuk memastikan efektivitas kebijakan. Kantong plastik merupakan bahan yang banyak digunakan dalam pengemasan makanan. Selain praktis dan mudah didapatkan, harganya juga relatif lebih murah.
Namun di sisi lain, plastik juga berkontribusi pada permasalahan lingkungan. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah per tahun, 14% diantaranya merupakan sampah plastik. Data dari riset oleh Jambeck dkk. menunjukkan Indonesia mempunyai peringkat rendah limbah plastik harian per orang (0,06kg) jika dibandingkan negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia (0,2kg) dan Singapura (0,19 kg), namun Indonesia merupakan negara kedua penghasil limbah salah urus di dunia (global mismanaged waste) dengan tingkat 10,1% setelah Tiongkok pada 2010 dan diprediksi akan mencapai 10,73% pada 2025. World Wide Fund for Nature (WWF) mengidentifikasi sampah plastik mempunyai waktu urai alami yang berbeda, seperti kantong plastik yang membutuhkan waktu 20 tahun, sampai botol plastik yang membutuhkan waktu 450 tahun untuk terurai di alam.
“Menyikapi hal ini, pemerintah perlu merumuskan sebuah kebijakan yang dapat diadopsi oleh berbagai pihak, misalnya bagaimana UMKM atau pengusaha kecil bisa mendapatkan material alternatif untuk pengemasan makanan dan bagaimana konsumen bisa mendapatkan haknya atas makanan yang aman, higienis dan dikemas dengan layak,” jelas Ira.
Sebagaimana diketahui, Peraturan Gubernur Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat sudah mulai berlaku sejak hari ini, 1 Juli 2020. Ira menyatakan, kebijakan pengurangan plastik harus ditimbang dari banyak aspek, baik dari segi industri, konsumen dan juga efektivitasnya.
Ia menambahkan penting bagi pemerintah untuk mencari solusi atas penggunaan kantong plastik melalui manajemen sampah yg lebih baik dari hulu ke hilir. Data dari Jambeck dkk. pada 2015 menunjukkan 81% sampah plastik di Indonesia tidak dikelola dengan baik. Ira mengingatkan agar kebijakan tersebut hanya akan memberikan biaya tambahan kepada industri dan pelaku usaha yang pada akhirnya akan ditanggung oleh konsumen, kalau pemerintah tidak menyediakan akses pada alternatif pengganti kantong plastik.
Ira menambahkan, targeted-policies seperti Peraturan Gubernur Nomor 142 Tahun 2019), dimana pelarangan kantong belanja diimplementasikan pada pengelola pusat perbelanjaan, pengelola pasar, serta toko swalayan, akan lebih efektif dalam mengurangi plastik ketimbang cukai plastik yang dipukul rata pada saat plastik keluar pabrik. Ditambah lagi, kenaikan harga belum tentu signifikan mengubah perilaku konsumen atau pedagang untuk mengurangi plastik.
Akses terhadap alternatif plastik lebih terbuka bagi industri besar, contohnya penjual makanan franchise yang akan mudah mengganti plastik menjadi kantong kertas. Namun pedagang makanan kecil dikhawatirkan akan merugi. Harga kantong non-plastik, baik kantong kertas maupun reusable bag, lebih mahal dan lebih sulit didapatkan sehingga industri kecil lebih sering menggunakan plastik. Akibatnya, mereka harus membayar lebih sebanyak Rp200 per lembar. Jika hal ini terjadi, pedagang mempunyai dua pilihan, yaitu mengurangi keuntungan yang mereka dapat atau menaikkan harga pada konsumen. Dari kedua pilihan tersebut, akan ada deadweight-loss yang tidak diterima siapa-siapa, karena loss dari implementasi cukai akan lebih besar dari tax revenue.
Ada beberapa alternatif untuk mengatasi masalah lingkungan. Pertama, pemerintah harus menyediakan infrastruktur waste collection system yang memadai. Pemerintah harus melibatkan pihak swasta jika investasi dan alat-alat masih kurang. Kolaborasi dengan non-governmental-organization juga dapat dibentuk pada bentuk untuk mengkampanyekan urgensi masalah lingkungan dan edukasi pada konsumen. Sehingga, permasalahan masih berada pada manajemen sampah daripada konsumsi.
“Pemberian insentif pada industri ramah lingkungan juga dapat dilakukan. Selain itu upaya untuk mencari alternatif yang tepat dari kantong plastik juga perlu dilakukan. Hal ini akan memastikan bahwa ada infrastruktur dan pilihan bagi konsumen dan pedagang kecil untuk menggunakan kantong non-plastik. Ini akan membantu supply chain yang ramah lingkungan, mulai dari produksi ke manufaktur dan pengemasan ke pembuangan,” tandasnya.