Jakarta b-oneindonesia– Bumi Cendrawasih, Papua, kembali dinodai kekerasan yang merusak kemanusiaan. Baru-baru ini, Pendeta Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) sekaligus tokoh Suku Moni, Yeremias Zanambani, tewas ditembak di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua pada 19 September lalu.
Berdasarkan informasi resmi dari Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII), Pendeta Yeremias Zanambani terkena tembakan pasukan TNI yang sedang melakukan operasi militer di wilayah tersebut. Sedangkan menurut versi pihak TNI, penembakan dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau separatis.
Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) pun mengutuk penembakan yang menewaskan Pendeta Yeremias Zanambani tersebut. Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP GMNI Sujahri Somar menegaskan, pembunuhan terhadap Pendeta Yeremias Zanambani merupakan bagian dari lingkaran setan kekerasan yang ‘melingkar’ di Tanah Papua puluhan tahun lamanya.
“Lingkaran setan kekerasan di Papua itu bermula dari kebijakan rezim Soeharto yang tunduk pada kepentingan modal asing, perusahaan tambang Amerika Freeport, namun sangat represif terhadap warga Papua,” ungkap Sujahri.
Kekerasan itu, lanjut Sujahri, relatif tak berhenti meski Soeharto sudah jatuh dari kekuasaan pada 1998. Pendekatan keamanan, masih dipandang oleh pemerintah sebagai cara efektif dalam menyelesaikan permasalahan Papua.
“Padahal, problem pokok di Papua itu adalah ketidak-adilan dan pengabaian yang dirasakan banyak warga Papua. Dan itu tidak akan selesai oleh pendekatan keamanan,” ujar Sujahri.
GMNI menilai, persoalan ketidakadilan dan pengabaian yang dialami warga Papua harus segera disudahi. Apabila tidak, lanjut Sujahri, lingkaran setan kekerasan pun tak bisa disudahi.
Dan ketika lingkaran setan kekerasan tidak dapat disudahi, berbagai pihak seperti kelompok separatis dan pihak asing bisa memanfaatkan situasi demi kepentingan mereka sendiri.
“Karena itu, GMNI mendesak Pemerintah untuk segera menyudahi ketidak-adilan dan pengabaian terhadap masyarakat Papua. Caranya, lakukan pendekatan kultural secara intensif. Libatkan lembaga agama dan kultural yang ada di Tanah Papua seluas mungkin, hargai kearifan lokal, dan hentikan peminggiran terhadap warga lokal dalam berbagai aspek, khususnya ekonomi, sosial dan budaya,” ujar Sujahri.
Yoel Ulimpa, Ketua Bidang Organisasi DPP GMNI dan juga sekaligus warga asli Papua mengingatkan, bangsa ini pernah punya pengalaman baik dalam menuntaskan secara damai konflik Aceh, Ambon dan Poso yang juga telah berlangsung bertahun-tahun. Karena itu, sudah seharusnya penyelesaian serupa juga dilakukan terhadap Papua.
“Mengapa untuk konflik Aceh, Ambon dan Poso bisa diselesaikan secara damai, tapi Papua tidak? Memang karakteristik konflik antara ketiga daerah itu dengan Papua berbeda, namun esensinya adalah, gunakan penyelesaian damai dan pendekatan kultural. Itu akan berhasil, dibandingkan pendekatan keamanan yang militeristik,” ujar Yoel.
GMNI pun meminta Pemerintah
untuk segera mengungkap secara transparan kasus penembakan Pendeta Yeremias Zanambani. GMNI mendesak dibentuknya Tim Investigasi Independen yang melibatkan perwakilan masyarakat sipil seperti Gereja, Lembaga Adat, serta organisasi kemasyarakatan.
“Tindak secara hukum, siapapun pelaku penembakan tersebut. Agar jangan ada yang merasa ‘kebal hukum’ di Papua, dan masyarakat Papua tak ada lagi yang menjadi korban,” pungkas Yoel.