Oleh: Didik Sasono Setyadi*)
Belum reda kegeraman masyarakat akibat “dugaan” korupsi yang dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (EP), hanya dalam hitungan hari disusul dengan kasus “dugaan” korupsi Menteri Sosial Juliari Batubara (JB).
Mengapa saya menyebutkan “dugaan” sebab secara hukum kasusnya masih dalam tahapan penyidikan meskipun bukti-bukti awal sudah sangat kuat untuk mendukung dugaan terhadap dua Menteri (tepatnya satunya sudah Mantan Menteri) tersebut.
Kegeraman masyarakat terhadap kedua orang tersebut jelas merupakan sikap yang logis dan normatif sebagaimana seharusnya dilakukan oleh masyarakat. Betapa tidak? sebelum memegang jabatan, kedua orang tersebut tentu saja telah mengucapkan sumpah jabatan yang dibimbing rohaniwan menurut agama dan atau kepercayaan yang dianut oleh mereka. Sumpah jabatan adalah bagian dari moral dan etika (res cogitans dan res extensa) yang mesyaratkan manifestasi tanggung jawab “vertical” maupun tanggung jawab “horizontal” dalam pelaksanaannya selama setidaknya selama masa jabatnnya. Sayangnya sumpah jabatan sejauh ini bagi sebagaian pejabat publik / pejabat pemerintahan hanya bagian dari seremoni / upacara untuk peresmian / pengumuman pengangkatan seseorang untuk mengemban otoritas kebijakan publik.
Menteri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia Menteri memiliki kedudukan yang sangat penting. Dalam konsideran Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara disebutkan
bahwa setiap menteri memimpin kementerian negara untuk menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan guna mencapai tujuan Negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945;
Kemudian Pasal 5 ayat (2) undang-undang itu menyebutkan:
Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.
Kebetukan urusan “Sosial” dan urusan “Kelautan dan Perikanan” masuk dalam rumusan pasal dan ayat yang sama dalam undang-undang ini. Keduanya behubungan langsung dengan hajat hidup orang banyak dan serta lapisan masyarakat yang paling bawah, dengan kata lain dengan kelompok-kelompok masyarakat yang paling miskin, sehingga pengabaian etika keberpihakan kepada kelompok masyarakat yang paling miskin dengan melakukan tindakan korupsi, disamping merupakan pelanggaran hukum tentu saja merupakan perbuatan pelanggaran moral dan etika yang sangat berat.
Dari pengertian dan asal-usulnya istilah “Korupsi” atau Corruption berasal dari Bahasa Latin yaitu “Corruptio” yang artinya adalah “Kebobrokan”, “Kerusakan” atau “Kebusukan, oleh karena itulah Korupsi dimasukkan ke dalam “Extra Ordinary Crime” sehingga untuk melawannya diperlukan “Extra Ordinary Efforts” bahkan memerlukan “Extra Ordinary Institution” (seperti Komisi Pemberantasan Korupsi). Korupsi tidak bisa dicegah dan diberantas dengan cara biasa-biasa saja.
Penanganan korupsi memerlukan berbagai macam pendekatan (multi approaches), tidak hanya pada sisi hukum saja. Sebagaimana disebut di atas bahwa korupsi adalah perilaku kerusakan moral dan etika yang merupakan ranah dari culture (budaya), yaitu perihal kemampuan manusia untuk membedakan nilai baik dan buruk. Selain faktor culture, korupsi juga merupakan persoalan structure (struktur sosial) dari sekelompok orang yang memiliki kekuasaan (setidaknya akses kekuasaan) untuk merugikan Kelompok yang tidak memiliki kekuasaan. Sehingga memang memang benar bahwa kejahatan korupsi ini sama halnya dengan yang sering disebutkan oleh “Bang Napi” (tokoh fiksi terkenal dari salah satu stasiun Televisi), yaitu muncul karena adanya “Niat / Kemauan” dan “Kesempatan”.
Jenis-jenis Korupsi yang banyak dikenal dimasyarakat (menurut Brooks dalam Alatas 1987) antara lain:
- Korupsi Transaktif, bentuknya transaksional / timbal balik, saling menguntungkan, semacam kick back atau komisi tertentu.
- Korupsi Pemerasan, bentuknya pemaksaan agar seseorang menyerahkan sesuatu senilai tertentu.
- Korupsi Investif, bentuknya adalah “ijon” alias “mengikat di awal” agar suatu saat seseorang dapat memberikan suatu keuntungan tertentu kepada yang telah memberikan “ikatan” / fasilitas di awal.
- Korupsi Perkerabatan, bentukya adalah pemberikan kemudahan / prioritas kepada kerabat, saudara, teman atau sekumpulannya.
- Korupsi Defensif, bentuknya penyalah gunaan kekuasaan untuk menindas kaum yang lemah untuk menyerahkan semacam upeti agar bisa selamat.
- Korupsi Otogenik, bentuknya adalah korupsi dengan pelaku tunggal, lebih mirip “penggelapan” atau “menilap” sesuatu senilai tertentu.
- Korupsi Dukungan, bentuknya melakukan pembiaran bahkan perlindungan terhadap tindakan korupsi yang diketahuinya.
Sedangkan menurut Benveniste (1991):
- Discretionary Corruption
Contohnya adalah suap dalam pengurusan pelayanan publik, yaitu pemberian prioritas kepada Calo pada saat memberikana pelayanan, karena para Calo ini memberikan penghasilan tambahan buat dirinya, dalam bentuk yang lazim disebut sebagai “ucapan terimakasih”
- Illegal Corruption
Contohnya adalah korupsi dengan modus merekayasa aturan-aturan yang berlaku sehingga hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu
- Mercenary Corruption
Contohnya adalah korupsi untuk mencari keuntungan / kekayaan Pribadi menggunakan kekuasaan yang ada padanya dengan jalan meminta suap, komisi, kick back dan semacamnya
- Ideological Corruption
Contohnya adalah korupsi yang dilakukan baik dengan cara discretionary maupun illegal gunanya adalah untuk mendapatkan hasil guna membiayai / menguntungkan kelompoknya / organisasinya / partainya.
Akan masuk jenis yang manakah kira-kira yang dilakukan oleh EP dan juga JB?
Yang publik ketahui EP dan JB keduanya berasal dari Partai Politik yang memiliki pemilih sangan banyal dalam Pemilu-pemilu selama ini, oleh karenanya kecurigaan publik bahwa korupsi yang dilakukan ada hubungannya dalam kapasitasnya sebagai pengurus inti partai politik tidak bisa dihindarkan, sehingga apakah ini masuk Ideological Corruption seperti kata Benveniste?
Korupsi yang dilakukan oleh petinggi Partai Politik bukan hanya dan bukan baru terjadi sekarang ini saja. Nama-nama seperti Lutfi Hasan Ishaq, Suryadharma Ali, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Romahurmuziy, Setya Novanto adalah bukti betapa rentannya jabatan di Partai Politik dengan korupsi.
Khusus di Kementerian Sosial saja kasus korupsi telah menjerat tiga orang menteri: Bachtiar Chamsyah, Idrus Marham dan sekarang JB, sedangkan di Kementerian Kelautan Rokhmin Dahuri dan EP. Kebetulan semuanya disinyalir menduduki jabatan menteri karena ada partai politik yang meng-endorse mereka.
Berikut ini adalah data dari ICW yang menunjukkan bahwa dari segi jumlah kasus korupsi sebenarnya mengalami penurunan, namun dari segi kerugian Negara malah mengalami peningkatan yang luar biasa. Apakah ini bisa dibaca bahwa korupsi sekarang semakin terorganisir pelakunya. Mengapa korupsi sekarang cenderung tidak banyak kasusnya tapi makin banyak hasil korupsinya?
Apabila kasus korupsinya dikaitkan dengan rentang / besarnya kekuasaan dari para pelakunya, dari jumlah kerugian yang ditimbulkan, bisakah disimpulkan bahwa pelaku korupsinya cenderung mereka yang semakin kuat otoritas dan pengaruh oligarkinya?
Kita baca saja datanya
Sumber: https://lokadata.id/artikel/kasus-korupsi-menurun-kerugian-negara-memuncak
Bagaimana jawabannya…….?
Wallahu a’lam bishawab
*) Pengamat Kebijakan Publik, Menempuh Program Doktor Ilmu Pemerintahan IPDN, Chairman Airlangga Law and Governance Institute