Jakarta, b – oneindonesia – Dalam hari Sumpah Pemuda, Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPP GAMKI) adakan diskusi publik dengan tema “Menimbang Komposisi Kabinet Indonesia Maju, Sudahkah Ideal?”. Diskusi dilaksanakan Yayasan Komunikasi Indonesia (YKI), Matraman, Senin (28/10/19).
Ketua DPP GAMKI Bidang Advokasi, Hukum dan HAM, Maruli Silaban mengatakan, kurang tepat bila meributkan representatif dalam susunan kabinet Indonesia Maju, kita tidak menafikan bahwa bangsa Indonesia begaram suku, agama, dan golongan. Jadi sangat lumrah bila ada yang berpikir susunan kabinet Indonesia maju harus merepresentasi keberagaman itu.
Susunan kabinet ini bisa disebut out of the box, misalnya, pebisnis online dipercaya menjadi Mendikbud, Purnawiranan jenderal TNI menjadi Menteri Agama.
Jokowi dan Ma’ruf Amin berasal dari masyarakat sipil dan ada harapan rakyat agar seni kepemimpinannya gaya sipil dan humanis.
Ujar Maruli, bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan majemuk, bahwa Pancasila menjadi kesepakatan sebagai landasan berbangsa dan bernegara, walau kasus intoleransi masih banyak terjadi diberbagai daerah.
Beberapa kasus kebebasan beribadah dan berkeyakinan masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah periode ini, dan juga kasus-kasus HAM yang belum dituntaskan masih ditunggu penyelesaiannya oleh pemerintahan baru. Kepentingan dan persoalan warga negara harus menjadi prioritas pemerintah periode ini. “Negara harus hadir dalam persoalan kebebasan beribadah, berkeyakinan,” kata Maruli.
Sejak awal sudah tercatat dalam konstitusi negara bahwa hal tersebut dijamin oleh negara. Selain itu kabinet kali ini harus serius meningkatkan kualitas pendidikan dan akses pelayanan kesehatan rakyat Indonesia.“Mari sama-sama menjaga dan mengkritisi kabinet dan program pemerintah ini dengan cara yang elegan dan profesional,” ujarnya.
Hendrik Yace Udam, Ketua DPN Gercin Indonesia mengatakan, terdapat kekuatan besar dalam pilpres bulan April lalu, antara 01 dan 02. Hingga pada tanggal 20 Oktober, Jokowi dilantik kembali menjadi Presiden Indonesia dan bukan untuk satu golongan, bukan untuk para pendukungnya, tetapi milik semua golongan, ras, dan agama dari Merauke sampai Sabang. “Perbedaan pilihan sudah selesai, hari ini kita harus bersama-sama membangun Indonesia,” kata Hendrik.
Terkait komposisi kabinet, menurutnya , Presiden Jokowi mendapatkan banyak tekanan dan intervensi dari partai politik, relawan, dan lainnya. Dikatakannya relawan ribut-ribut akhirnya dapat wakil menteri, memang itu semua adalah hak prerogratif dari Presiden.
Dikatakan Hendrik, sepanjang penyusunan kabinet, ada banyak kepentingan yang menjadikan susunan kabinet bukan lagi prerogratif dari Presiden. Jadinya, Kabinet Indonesia Maju adalah kabinet hasil ribut-ribut.
“Adanya menteri yang mengatakan perwakilan suatu suku, saya tidak sepakat. Beliau itu adalah profesional sipil. Kalau memang benar perwakilan dari Papua, silahkan pikirkan dan perhatikan Papua,” ujar Hendrik.
“Meskipun demikian, diharapkan semua kabinet harus bekerja keras demi kemajuan Indonesia, jangan ada lagi ribut-ribut. Sudah seharus terus kita dukung dan dorong,” tambah Hendrik.
Gita Putri Damayana, Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengatakan, pembagian Kabinet Indonesia Maju seolah bagi-bagi kue oleh para elit. Memang benar adanya, sebagian menteri dari profesional, misalnya Sri Mulyani, Pratikno, Tito, dan lainnya.Lanjutnya, terdapat tiga jenis proyeksi pertarungan yang terjadi selama penyusunan kabinet.
Pertama, pertarungan jangka pendek, seperti demo berlarut-larut yang menuntut terkait pengesahan RKUHP, RUU KPK, dan lainnya.
“Dalam omnibis law, Presiden berencana mengajak DPR untuk menggabungkan 74 UU dibidang investasi kedalam dua UU, yaitu UU cipta lapangan kerja dan UU pemberdayaan UMKM,” ujar Dewi.
Kedua, pertarungan jangka menengah, yaitu tentang kesepakatan elit untuk amandemen konstitusi.
Ketiga adalah monitoring dan evaluasi UU.
“Terkait dengan monitoring dan evaluasi UU, ini sudah tercatat dalam UU No. 15/2019,” ujarnya.
Dikatakan Dewi, untuk bisa bertahan, maka harus terus berkolaborasi antara masyarakat, pemuda, akademisi, dan lainnya. Melalui kolaborasi tersebut, kita bisa memunculkan ide-ide dan kemudian kita akan suarakan bersama kepada pemerintah.
Aktivis Muda NU, Muhammad Zaim Nugroho mengatakan, ini sudah menjadi realitas politik. Dalam pembagian kekuasaan sangat jauh dari ideal. Bahkan hal yang tidak kita duga-duga dan nyatanya muncul. Dikatakan Nugroho, salah satu program pemerintah yang harus kita kawal adalah terkait penanganan soal radikalisme. Presiden telah menempatkan orang-orang yang tepat pada posisinya. Dengan menempatkan Tito di posisi menteri dalam negeri.
Yang menjadi pertanyaan, apakah dengan posisi-posisi tersebut yang dibuat Presiden sudah mampu mengantisipasi hal tersebut. Kita tahu, banyak provokasi-provokasi dari kelompok radikal yang harus segera diatasi pemerintah.
“Kita berharap dengan menempatkan posisi-posisi tersebut, radikalisme bisa hilang dari bangsa ini, banyak provokasi yang sengaja didesain. Maka dari itu masalah masala itu harus segera diselesaikan, jangan sampai menjadi bola liar,” tegasnya.