Jakarta, b-Oneindonesia – Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait inventarisasi materi Prolegnas prioritas tahun 2022 dan evaluasi Prolegnas tahun 2020-2024 secara fisik dan virtual (01/9).
Terkait evaluasi Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024, Badikenita mengatakan bahwa dalam periode tersebut terdapat 246 RUU yang berasal dari usulan presiden, DPR, dan DPD RI. Dari 246 RUU yang berasal dari usul Presiden, DPR, dan DPD. Dari jumlah tersebut sebanyak 56 (lima puluh enam) judul RUU merupakan usul dari DPD.
Dari 56 (lima puluh enam) RUU tersebut, ada 24 (dua puluh empat) RUU yang merupakan usulan murni dari DPD; ada 23 usulan RUU yang diusulkan DPD bersama DPR; dan ada 1 RUU yang diusulkan DPD bersama Pemerintah; serta ada 8 RUU yang diusulkan DPD, DPR dan Pemerintah.
“Sampai saat ini belum ada satupun usul RUU dari DPD yang telah ditetapkan menjadi UU,” imbuh Senator dari Sumatera Utara ini.
Untuk Prolegnas Prioritas Tahun 2021, lanjut Badikenita, DPD RI mengajukan 5 (lima) RUU yang sudah siap Naskah Akademik dan RUU-nya. Kelima usul RUU tersebut adalah: RUU tentang Daya Saing Daerah, RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, RUU tentang Bahasa Daerah, RUU tentang Peningkatan Pendapatan Daerah, dan RUU tentang Badan Usaha Milik Desa.
“Berdasarkan hasil rapat Tripartit antara Baleg, PPUU, dan Menteri Hukum dan HAM, diputuskan bahwa untuk Prolegnas Prioritas Tahun 2021 usul DPD hanya satu, RUU yang diakomodir yaitu RUU tentang Badan Usaha Milik Desa. Selain itu dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2021 DPD juga mendapat RUU carry over dari Prolegnas Tahun 2020 yaitu RUU tentang Daerah Kepulauan,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, pakar hukum dan tata negara Refly Harun menjelaskan jika putusan MK No 92/PUU-X/2012 tanggal 27 Maret 2017 tersebut sudah memberi penguatan dan hal yang jelas mengenai ruang lingkup mengenai kewenangan DPD RI. Tapi sayangnya tidak diikuti baik oleh UU MD3 atau UU No. 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
“MK sudah menegaskan bahwa kewenangan DPD RI dalam membahas RUU itu sama dengan DPR dan presiden, hanya yang tidak dimiliki oleh DPD RI adalah tahap persetujuan. Bahkan dikatakan sebelum paripurna, DPD bisa mengajukan kesimpulan sebelum membuat persetujuan RUU tersebut,” imbuhnya.
Sementara itu, Senator dari Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang mengatakan bahwa diperlukan penataan keberadaan DPD RI dari sisi kewenangan agar dapat lebih berperan kepada masyarakat. Menurutnya kewenangan DPD RI saat ini tidak sebanding dengan besarnya ekspektasi daerah terhadap DPD RI, salah satunya terkait pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Karena banyak RUU yang sudah menunggu, dan yang sudah diselesaikan dari periode yang lalu yang sampai sekarang belum ada respon sesuai yang kita harapkan,” ucapnya.
Senada, Senator dari Sulawesi Selatan Tamsil Linrung menilai, diperlukan upaya untuk meluruskan putusan-putusan MK yang memunggungi demokrasi sendiri. Ia berharap ada upaya-upaya agar DPD RI dapat memiliki kewenangan sesuai dengan fungsinya sebagai wakil daerah, terutama dalam mengakomodir aspirasi daerah melalui undang-undang yang mendukung akselerasi pembangunan.
“Banyaknya UU yang kandas tanpa dibahas menunjukkan bikameral itu tidak jalan. Kita tidak perlu mengupayakan strong bikameral, tapi cukup bikameral yang efektif,” tukasnya.