Jakarta, b-Oneindonesia – Direktur Riset dan Program Algoritma, Fajar Nursahid, mengatakan bahwa partai baru berpeluang kecil dapat bersaing pada Pemilu 2024. Hasil survei lembaga tersebut menyatakan hanya ada 8 persen masyarakat yang akan memilih partai baru sedangkan 65 persen publik akan memilih partai lama.
“Partai baru tidak punya harapan yang cukup besar, karena 65 persen itu mengkonfirmasi bahwa akan memilih partai lama daripada partai baru. Halnya 8 persen persen publik yang akan memilih partai baru,” katanya saat Diskusi Proyeksi Politik 2023 Menuju Pemilu 2024: Antara Elektabilitas dan Resistensi, Senin, 23 Januari 2023.
Masyarakat jenuh terhadap peta politik Indonesia dan mempertanyakan eksistensi partai baru
Fajar mengungkapkan faktor kurangnya pemilih pada partai baru disebabkan adanya kejenuhan publik terhadap peta politik Indonesia. Fajar menjelaskan masyarakat merasa lebih nyaman dengan partai politik lama karena dianggap lebih berpengalaman, memiliki rekam jejak yang lebih jelas, dan ketokohan di parpol bersangkutan.
“Sehingga mereka merasa bahwa pertimbangan memilih partai lama itu adalah bagian yang mereka akan lakukan pada pemilu 2024 mendatang,” kata dia.
Tak hanya itu saja, kejenuhan masyarakat juga terlihat dari pandangan mereka bahwa partai baru tidak memberikan faktor pembeda terhadap kontestasi politik nasional. Fajar mengungkapkan banyak masyarakat menganggap bahwa kehadiran partai baru tidak andil berikan perubahan. Padahal, menurut Fajar, bisa saja tidak demikian.
“Publik melihat kalau ada partai baru, apa bedanya dengan partai lama?. Begitu kan kita tidak tahu,” kata dia.
Partai baru harus memiliki faktor pembeda dari partai lama
Sehingga menurut Fajar, dari temuan survei ini yang mesti digarisbawahi oleh partai baru adalah sisi differesiasi mereka dengan partai-partai lama. Jika itu jadi pertimbangan partai baru, kemungkinan dapat membuka kesempatan menjadi partai pilihan.
“Dalam konteks kompetisi elektoral itu, orang memilih karena diferensiasi. Jadi kalau ada partai baru tapi kemudian mereka tidak berbeda dengan partai lain, itu menjadi persoalan sehingga tidak ada memilih, tidak ada pilihan terbuka,” kata dia.
Selain differensiasi, Fajar juga menyampaikan masalah ketokohan dari partai baru cukup jadi pertimbangan publik. Pasalnya, partai baru butuh figur politik yang kiranya dapat menjual untuk menarik dukungan publik.
Kendati demikian, Fajar pun menyadari bahwa kondisinya kini, jumlah tokoh-tokoh publik figur dengan elektabilitas tinggi sudah relatif habis, karena lebih dulu bergabung dengan partai yang lebih stabil.
“Karena salah satu yang jadi daya tarik dari partai adalah siapa caleg yang ditawarkan, ketuanya dan juga publik figur, siapa yang mereka enggagment. Itu juga menjadi luar biasa menarik bagi partai baru dipilih,” kata dia.
Selanjutnya, partai baru hanya dianggap sempalan partai lama
Pengamat Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN, R. Siti Zuhro, tak heran dengan anggapan masyarakat bahwa partai baru saat ini dibentuk dari sengkarut parpol yang memiliki konflik internal.
Selain itu, dia menilai partai baru saat ini tidak banyak melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan tiba-tiba langsung mengikuti pemilu.
“Jadi memang idealnya partai baru itu tidak sekonyong-konyong didirikan, waktu itu pula harus ikut pemilu, tidak seperti itu,” ujarnya
Siti menilai sosialisasi yang dapat dilakukan partai baru bisa dimulai dengan sosialisasi program, platform partai atau sebagainya. Bukan justru menjadi tempat mensosialisasikan individual parpol bersangkutan.
“Mentransfer knowledge bahwa partainya konsen dengan ini, dengan itu, nah itu yang tidak dilakukan,” katanya.
Banyak partai yang tumbang karena tak mempertimbangkan banyak hal
Selain itu, Siti menilai, dalam membangun partai baru harusnya pertimbangkan banyak hal, jangan sebab ingin memenuhi keinginan kelompok atau komunitas tertentu jadi alasan membangun partai. Karena hal itu dinilai Siti tidak kuat menompang sepak terjang parpol baru.
“Ternyata ketika dia mendirikan (partai), SDM kurang, modalnya, kurang banyak hal. Maka sulit sekali untuk memenuhi syarat administratif dan verifikasi faktual. Itu amat sangat sulit jadi tidak semudah itu ternyata,” jelasnya.
Kendati demikian partai baru sudah berhasil lolos verifikasi faktual, apakah kemudian tanya Siti, dapat persiapkan kader yang handal. Apalagi harus berkompetisi dengan kader partai lain yang lebih berpengalaman.
“Mereka belum tentu mampu menyiapkan caleg-caleg yang handal yang bisa berkompetisi dengan cara-cara lama. Maka kayak PSI itu baru bisa menyediakan di DKI Jakarta, tidak untuk di level DPR RI itu sebagai satu contoh,” katanya.
Pemilu 2024 akan diikuti oleh 17 partai politik nasional dan 6 partai lokal Aceh. Setidaknya terdapat lima partai baru yang akan ikut dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Mereka diantaranya adalah Partai Buruh, Partai Gelombang Rakya Indonesia (Gelora), Partai Ummat, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) dan Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda)