Jakarta, b-oneindonesia- Presiden Jokowi membuat keputusan yang mengejutkan banyak orang, dengan masuknya anak-anak muda dari generasi milenial, menduduki jabatan penting sebagai Staf Khusus Presiden, yang akan menjadi teman diskusi Presiden Jokowi dan melengkapi visi Presiden untuk menghadirkan “inovasi” dan cara kerja berbeda, dalam mengeksekusi kebijakan pembangunan di periode kedua, terutama mewujudkan visi pembangunan manusia dan memantapkan visi Indonesia sentris, menuju Indonesia yang lebih maju.
Presiden Jokowi sepertinya sadar betul, untuk mewujudkan visinya yang terbilang ambisius di sisa periodisasi masa jabatannya untuk 5 tahun kedepan, sang Presiden sangat membutuhkan pikiran dan inovasi generasi muda milenial, terutama, dalam mewujudkan agenda pembangunan yang sesuai dengan tantangan zaman, era dimana inovasi diberbagai sektor teknologi informasi, bisnis, sosial politik, banyak diperankan oleh generasi milenial.
Indonesia juga sepertinya belajar dari dinamika geopolotik yang terjadi di Hongkong, dimana, dalam waktu 9 bulan sejak demonstrasi pertama bergulir, di bulan April 2019, massa yang mulanya menuntut penghapusan UU ekstradisi, berkembang menjadi demonstrasi yang menuntut pemberlakuan demokratisasi yang lebih luas di Hongkong, yang dimotori oleh pergerakan generasi milenial Hongkong, yang terdiri dari Mahasiswa, Pelajar dan kaum muda Hongkong.
Kekuatan sebuah negara, dalam menghadapi tantangan global di era saat ini, terletak pada seberapa produktifnya generasi muda milenial di negara tersebut. Termasuk, kemampuan negara untuk memanfaatkan energi generasi milenial, untuk berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negaranya. Maka tidak mengherankan, jika Presiden Jokowi, mencanangkan visi pembangunan di era kedua masa jabatannya, dengan fokus pada pembangunan sumber daya manusia. Dan kelompok sasaran dari program pembangunan sumber daya manusia, terletak pada pembangunan “Capacity Building” generasi muda milenialnya.
Kehadiran salah seorang pemuda asal Tanah Papua, bernama Gracia Billy Yosaphat Y Mambrasar atau Billy Mambrasar, menjadi salah satu staf khusus Presiden Jokowi, memberikan pertanda baik, bahwa Presiden Jokowi memperhatikan dengan serius generasi muda milenial asal Tanah Papua, bahwa tidak ada perbedaan kualitas sumber daya manusia Tanah Papua dengan daerah lainnya yang telah maju di Indonesia.
Tanah Papua hanya membutuhkan kesempatan yang sama “equal” untuk menunjukkan kapasitasnya sebagai intelektual muda yang berprestasi dalam bidangnya masing-masing, dan Presiden telah berusaha mewujudkan kesempatan itu.
Hal yang mengejutkan, bahwa anak muda “Billy Mambrasar”, bukanlah berasal dari kalangan pendukung partisan partai politik tertentu, sehingga tidak ada referensi bahwa anak muda ini terpilih menjadi Stafsus Presiden karena latarbelakang subyektif “partisan”, namun, ketika melihat latarbelakang pendidikannya yang juga berasal dari perguruan tinggi ternama, baik dalam negeri dan luar negeri, termasuk kiprahnya dalam aksi sosial gerakan mendirikan pusat kegiatan belajar di Tanah Papua, yang membantu setidak-tidaknya 1100 anak anak di Tanah Papua untuk mendapatkan akses belajar yang baik. Maka, pilihan Presiden Jokowi menjadikannya sebagai figur anak muda milenial yang mewakili wilayah timur nusantara, sangatlah tepat dan tidak perlu diragukan lagi.
Hal yang juga perlu diketahui oleh publik nasional, bahwa anak muda “Billy Mambrasar”, juga merupakan kader muda di organisasi kepemudaan dan keagamaan GAMKI, dan sebagai ketua DPP GAMKI pusat, saya turut berbahagia atas terpilihnya saudara anak muda “Billy Mambrasar” menjadi salah satu anak muda Indonesia, yang diberikan kepercayaan oleh Presiden Jokowi, menjadi salah satu staf khusus yang akan selalu memberikan masukan dan nasihat kepada Presiden, terkait visi pembangunan sumber daya manusia di seluruh Indonesia.
Sebagai pengingat bagi kita semua, tidak lupa sebagai orang tua, yang juga tokoh parlemen dari Tanah Papua, kami menitipkan pesan penting kepada anak muda “Billy Mambrasar”, untuk menjadi tokoh muda “yang membawa terang” bagi keberlangsungan agenda negara, termasuk membawa solusi bagi ketimpangan pembangunan di Tanah Papua dan berbagai implikasi masalah kemanusiaan yang belum tuntas hingga hari ini.
Tanah Papua masih menjadi negeri yang diselimuti duka dan konflik berkepanjangan, disebabkan, oleh banyak faktor, diantaranya, sebagian tokoh-tokohnya yang telah menduduki jabatan strategis dalam negara, tidak memiliki cukup keberanian untuk menawarkan solusi dan juga konsepsi yang berasal dari “pikiran, aspirasi, dan cara pandang” rakyat di Tanah Papua sendiri.
Jabatan hanyalah titipan Tuhan untuk melayani umat dan masyarakat, oleh karena itu, dengan status sebagai generasi milenial Tanah Papua, diharapkan dapat membangun “jembatan pikiran” yang mampu menghubungkan konsepsi pikiran Tanah Papua dengan konsepsi para pengambil kebijakan di pusat kekuasaan nasional, yang diharapkan, dapat memberikan solusi yang tidak pernah mampu dicapai oleh generasi-generasi sebelumnya.
Indonesia sentris dalam pandangan kami sebagai OAP adalah politik pembangunan negara, yang tidak hanya menyangkut “distribusi barang, jasa, manusia, benda – benda, tembok-tembok, aspal-aspal, ekspor mineral emas dan tembaga, ekspor CPO sawit, ekspor hasil logging hutan, ekspor minyak dan gas”, tetapi juga menyangkut “perlindungan hak hidup, tidak boleh dibunuh,
Penghormatan terhadap hak masyarakat adat, perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, perlindungan hak politik OAP, kesempatan yang sama bagi OAP untuk mengakses lapangan pekerjaan di sektor formal dan informal, hak yang sama untuk memperoleh pelayanan kesehatan, hak yang sama untuk memperoleh pendidikan, hak untuk tidak mengalami perlakuan diskriminatif, dan lain lain”.
Konsepsi Indonesia sentris juga harus dilaksanakan dengan prinsip, pemberdayaan/empowerment kekuatan sumber daya manusia diseluruh simpul-simpul wilayah administrasi Pemerintahan di Indonesia, termasuk di Tanah Papua. Tanah Papua tidak membutuhkan “kiriman dana yang besar”, namun Sumber Daya Manusianya, justru hanya dijadikan penonton di negeri dan tanahnya sendiri.
Yang seharusnya, di Tanah Papua, terdapat 100 atau 1.000 atau 10.000 atau 1.000.000 anak muda seperti “Billy Mambrasar” yang mendapatkan kesempatan yang sama, untuk diberikan peran dalam menggerakkan pembangunan di Tanah Papua, bukan, yang terjadi sekedar memperbesar instrumen anggaran dan memperbanyak instrumen program, namun justru “DEFISIT” pelibatan generasi muda milenial dari Tanah Papua.
Jika demikian yang terjadi, maka konsepsi Indonesia sentris belumlah terwujud di Tanah Papua, atau menjadi sekedar Program yang memperindah narasi dan memberikan angin surga kepada Tanah Papua.