Kabaintelkam Polri Komjen Pol Drs Paulus Waterpauw di podium sampaikan orasi saat FGD Dies Natalis ke-38 Program Studi Kajian Ketahanan Nasional UI, Kamis (7/10/2021).
Jakarta, b-Oneindonesia – Kepala Badan Intelijen Keamanan Polri (Kabaintelkam) Polri, Komjen Pol Drs Paulus Waterpauw menyoroti secara serius aspek kuantitas dan kualitas pendidikan, pasca Otonomi khusus (Otsus) di Provinsi Papua, sebagai pilar ketahanan nasional.
FGD dalam rangka Dies Natalis ke-38 Program Studi Kajian Ketahanan Pangan Universitas Indonesia (UI) dihadiri pembicara Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, Kabaintelkam Polri Komjen Pol Drs Paulus Waterpauw, dan Rektor Universitas Cenderawasih (Uncen) Dr Apolo Safanpo, dan juga Rektor Universitas Tanjungpura Pontianak Garuda Wiko, dan dimoderatori oleh Margaretha Hanita.
Hal yang dikemukakan Komjen Pol Paulus Waterpauw saat jadi pembicara FGD UI dengan tema Ketahanan Sosial Budaya dan Pembangunan Papua dalam Perspektif Ketahanan Nasional dilaksanakan di Universitas Indonesia Salemba, Kamis (7/10/2021)
“Ketahanan nasional adalah faktor kunci dalam eksistensi perkembangan suatu bangsa, termasuk di Indonesia dan Tanah Papua,” ujar pria yang juga tokoh Papua mengawali paparannya dalam FGD. Menurutnya, tanpa memiliki ketahanan nasional yang tangguh, maka akan sangat sulit, bagi negara untuk memenuhi cita cita berbangsa.
Paulus menegaskan, bahwa tantangan utama dalam mewujudkan ketahanan nasional di Provinsi Papua dan Papua Barat, ialah penyelenggaraan negara di daerah.
Dikatakannya, selama ini masih belum berhasil secara baik, untuk memenuhi pelayanan dasar masyarakat Papua, sebagaimana amanat pasal 12 UU Nomor 23 tentang Pemerintahan Daerah. Khusus di sektor pendidikan, Paulus katakan setelah diterapkan UU Otonomi Khusus (Otsus), tingkat pendidikan penduduk asli Papua, masih jauh tertinggal dari penduduk luar daerah Papua.
“Sesudah 20 tahun otsus Papua, tentu terjadi peningkatan, namun masih perlu dikritisi agar memberikan dampak positif yang sebesar-besarnya, bagi pembangunan ketahanan negara di tanah Papua,” jelas Paulus.
Hal mendasar, yakni jumlah sekolah, murid dan guru telah terjadi peningkatan yang signifikan di tanah Papua. Menurut Paulus, apabila dibandingkan dengan proses waktu sebelum Otsus berlaku.
“Kita ambil contoh di tahun 2000, jumlah sekolah hanya 3.000 sekian dari mulai TK sampai SMA dan SMK. Dalam jangka waktu 18 tahun kemudian, jumlah sekolah di Tanah Papua meningkat 210 persen,” rincinya.
Dirinya menambahkan peningkatan tersebut konsisten, dengan jumlah guru dan murid di Papua. Namun yang menjadi pertanyaan bersama menurutnya ialah, apakah peningkatan tersebut diiringi dengan kualitas guru sebagai tenaga pendidik.
“Faktanya dengan meningkat jumlah guru, sekolah dan juga murid, ternyata tidak disertai dengan ketercukupan kualitas guru,” sesalnya.
Pria kelahiran Fakfak Papua Barat itu, juga mengatakan sarana prasarana sebagai fasilitas penunjang di sekolah, harus dijadikan diperhatikan. “Mulai dari ketersediaan perpustakaan, laboratorium, hingga tempat olahraga,” sebutnya.
Dengan terbatasnya jumlah guru dan sekolah di daerah terpencil, ditambah lagi dengan banyaknya jumlah penduduk usia sekolah yang tidak bersekolah, baginya merupakan masalah bangsa yang perlu dicarikan solusi bersama.