Jakarta b-oneindonesia-G20 Environment Ministers Meeting atau Pertemuan Menteri Lingkungan Hidup negara anggota G20 pada tahun 2020 diselengarakan sebagai bagian menuju pertemuan puncak G20 Leaders Summit 2020 yang akan diselenggarakan di Arab Saudi pada bulan November 2020. Pertemuan antar Menteri Lingkungan Hidup tersebut telah dilangsungkan pada Rabu (16/09/2020). Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Republik Indonesia (RI), Siti Nurbaya menghadiri pertemuan tersebut yang dilangsungkan secara virtual melalui fasilitas video conference.
G20 Environment Ministers Meeting dihadiri oleh negara-negara anggota G20 dan wakil dari beberapa negara observer serta organisasi internasional. G20 terdiri dari 19 negara dan Uni Eropa, yaitu Argentina, Australia, Brasil, Kanada, China, Jerman, Prancis, India, Indonesia, Italia, Jepang, Meksiko, Federasi Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Korea Selatan, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat.
Kepala Badan Litbang dan Inovasi (BLI) Kementerian LHK, Agus Justianto pada saat menjadi narasumber Media Briefing di Jakarta (17/09/2020) menerangkan, isu-isu utama yang menjadi fokus pembahasan G20 Environment Ministers Meeting antara lain adalah penanganan kerusakan lahan (land degradation), konservasi terumbu karang dan sampah laut. “Menghadapi isu-isu yang telah menjadi permasalahan global, pada G20 Environment Ministers Meeting terdapat tiga dokumen utama yang dibahas, yaitu: (1) G20 Environment Ministers’ Meeting Communiqué, (2) Global Initiative on Reducing Land Degradation and Enhancing Conservation of Terrestrial Habitats, dan (3) Global Coral Reef Research and Development Accelerator Platform,” terang Agus.
Dokumen pertama, G20 Environment Ministers’ Meeting Communiqué atau Komunike Menteri-Menteri Lingkungan Hidup G20, berisikan upaya pembangunan ekonomi paska pandemi COVID-19 yang mengedepankan lingkungan, khususnya dalam menghadapi tantangan kerusakan lahan dan kehilangan habitat, konservasi terumbu karang, dan pengurangan sampah laut. Melalui dokumen ini, negara-negara G20 berkomitmen untuk memprioritaskan penanganan kerusakan lahan, terumbu karang dan sampah laut, yang dalam pelaksanaannya akan melibatkan negara-negara di luar anggota G20 dan lainnya.
Dokumen kedua, Global Initiative on Reducing Land Degradation and Enhancing Conservation of Terrestrial Habitats merupakan inisiatif negara-negara G20 dalam upaya pemulihan serta perlindungan lahan terdegradasi secara global pada 2040 untuk mencapai land degradation neutrality. Inisiatif global ini menekankan pada pencapaian target pemulihan lahan terdegradasi, aspek tata kelola dan pendanaan inisiatif, keterkaitan inisiatif dengan komitmen global lainnya dan peran Sekretariat United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD).
Dokumen ketiga, Global Coral Reef Research and Development Accelerator Platform merupakan inisiatif negara-negara G20 untuk membentuk kerangka penelitian dan pengembangan global menahan laju kehilangan terumbu karang dan mempertahankan tingkat terumbu karang dunia saat ini. Global Coral Reef Research and Development Accelerator Platform mengatur pelaksanaan inisiatif meliputi aspek Participating Institutions, Platform Central Node, Financial considerations, Administrative costs, dan aspek tata kelola (governance).
“Ketiga dokumen tersebut, yang merupakan hasil pembahasan dalam G20 Environment Ministers Meeting tahun 2020 akan bersinergi dengan komitmen global lainnya, terutama dengan kerangka United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), the Convention on Biological Diversity (CBD), dan United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD). Hal ini akan memperkuat upaya kolektif dalam melindungi lingkungan hidup di tingkat nasional, regional dan global,” jelas Agus.
Agus menambahkan, sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri LHK saat memberikan official statement pada G20 Environment Ministers Meeting, Indonesia berbekal tiga kekuatan dalam membangun lingkungan hidup dan kehutanan yaitu kekuatan moral, intelektual dan pendanaan. Peningkatan tata kelola hutan dan lahan di Indonesia, dilaksanakan dengan menginternalisasi kekuatan moral dan intelektual sebagai dasar pemecahan masalah. “Seperti yang disampaikan Menteri LHK, kekuatan moral merupakan pengejawantahan dari mandat konstitusi, kekuatan intelektual diperoleh dari berbagai kerja sama teknis pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan dengan dunia internasional dan kekuatan pendanaan diperoleh dari prioritas nasional dalam alokasi sumber dana serta dari kerja sama pendanaan dengan negara lain,” jelas Agus.
Sejak tahun 2011 pemerintah telah melakukan moratorium penerbitan izin baru dan sekarang telah menghentikan izin baru pemanfaatan hutan alam primer dan lahan gambut. Berbagai tindakan korektif juga telah dilakukan untuk mengurangi laju deforestasi. Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk meningkatkan pemulihan lansekap hutan, akselarasi program perhutanan sosial, serta meningkatkan efektivitas pengelolaan konservasi.
Peran serta dunia usaha dalam kegiatan rehabilitasi lahan juga berhasil ditingkatkan. Lahan seluas 102.000 Hektare (Ha) telah ditanami dengan partisipasi dunia usaha dan para pemegang izin. Sementara dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dilakukan penanaman seluas 100.000 sampai 200.000 Ha per tahun. Kawasan hutan mangrove juga tak luput dari program rehabilitasi. Target rehabilitasi adalah seluas 637.000 Ha kawasan mangrove yang kritis dari total 3,3 juta Ha luas hutan mangrove di Indonesia, yang telah dimulai tahun 2020.
Pemerintah Indonesia sangat serius mendorong keberlanjutan habitat dan keanekaragaman hayati dengan mengembangkan koridor yang menghubungkan habitat yang terfragmentasi. Sejak 2018 telah dilakukan evaluasi terhadap semua konsesi dan izin perusahaan perkebunan kelapa sawit. Terindentifikasi sekitar 1,34 juta Ha lahan di konsesi yang dapat dipertahankan sebagai hutan bernilai konservasi tinggi atau High Conservation Value Forest (HCVF).
Pemerintah Indonesia juga konsisten untuk menerapkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dan Analisis Dampak Lingkungan dalam rencana penggunaan lahan yang signifikan seperti pengembangan lumbung pangan. Selanjutnya, kawasan konservasi yang sudah diakui sebagai Situs Warisan Dunia, Ramsar, dan lainnya juga terus dijaga. Demikian pula, pengembangan dan peningkatan best practices dari hasil penelitian lapangan, hutan pendidikan serta hutan kemasyarakatan yang ada di Indonesia.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian LHK, Ruandha A. Sugardiman pada saat memberikan keterangan kepada media, menyampaikan bahwa dengan berbagai kebijakan, langkah dan upaya Pemerintah Indonesia telah membuahkan hasil dan mendapatkan pengakuan internasional. Pemerintah Norwegia dan Green Climate Fund (GCF) mengakui upaya Indonesia dalam mengurangi emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi pada periode 2014 – 2017. Indonesia berhasil mendapatkan persetujuan Pembayaran Berbasis Hasil sebesar 103,8 juta Dolar Amerika dari GCF dan 56 Juta Dolar Amerika dari Norwegia. Sejak tahun 2019, pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran tahunan untuk rehabilitasi lahan dan konservasi sekitar 300 juta Dolar Amerika atau sekitar 63% dari APBN tahunan sektor kehutanan.
Pada waktu yang sama, Staf Ahli Menteri LHK Bidang Industri dan Perdagangan Internasional, Laksmi Dhewanthi juga menyampaikan, Pemerintah Indonesia juga berkomitmen dan serius memerangi sampah laut dan mengelola terumbu karang secara berkelanjutan. Pada 2019, Indonesia berhasil meloloskan beberapa resolusi saat sidang United Nations Environment Assembly keempat (UNEA-4) termasuk tentang pengelolaan terumbu karang berkelanjutan. Resolusi UNEA-4 tersebut telah diimplementasikan Pemerintah Indonesia dengan membangun basis data, regulasi, dan jaringan nasional untuk pengelolaan terumbu karang.
Laksmi menambahkan, isu dan agenda pertemuan Menteri Lingkungan Hidup G20 dibangun melalui proses dan dinamika cukup aktif. Arab Saudi selaku Presiden G20, secara kolaboratif Bersama Jepang (Presiden G20 2019) dan Italia (Presiden G20 mendatang 2021) melingkup berbagai tantangan lingkungan hidup yang menjadi tantangan dan peluang pada abad 21 serta menawarkan berbagai agenda untuk bersama-sama menjaga planet bumi ini.
“Sebagai tindaklanjut, Kepresidenan G20 Arab Saudi menjelaskan bahwa setelah mendapatkan dukungan pada G20 Environment Ministers Meeting, inisiatif-inisiatif terkait land degradation and habitat loss serta coral reef akan diajukan untuk mendapatkan dukungan dari Pemimpin pada KTT G20 Riyadh pada 21-22 November 2020. Sedangkan implementasi inisiatif-inisiatif akan dimulai pada 2021, sejalan dengan peluncuran Dekade PBB tentang Restorasi Ekosistem atau UN Decade on Ecosystem Restoration. Para Menteri Lingkungan Hidup G20 juga sepaham untuk mendorong Italia, sebagai Kepresidenan G20 Tahun 2021 untuk melanjutkan dan memperkuat agenda prioritas di bidang lingkungan hidup,” jelas Laksmi.
Media Briefing kali ini, bertindak sebagai narasumber adalah para Delegasi RI (Delri) yang mengikuti G20 Environment Ministers Meeting dan G20 Environment Deputies Meeting yaitu Kepala BLI Kementerian LHK, Agus Justianto, Direktur Jenderal PPI, Ruandha A. Sugardiman, Staf Ahli Menteri LHK bidang Industri dan Perdagangan Internasional, Laksmi Dhewanti. Selain itu hadir juga sebagai narasumber, Tenaga Ahli Menteri LHK bidang Kerjasama Luar Negeri, Sri Murniningtyas, Kepala Biro Kerjasama Luar Negeri Kementerian LHK, Teguh Raharjo, dan Direktur Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Pesisir dan Laut kementerian LHK, Dida Mighfar Ridha, dengan moderator Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian LHK, Nunu Anugrah