Jakarta b-oneindonesia – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar pernyataan sikap terkait adanya rancangan undang-undang tentang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, bertempat di Kantor KSPI Lt. 3, Jalan Raya Pondok Gede No. 11, Kp. Dukuh, Kramatjati, Jakarta Timur, Senin (20/7/2020).
KSPI menyatakan sikap menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja serta semua pihak untuk menghentikan PHK massal dampak Covid-19. Pada agenda tersebut juga dijelasan persiapan aksi ratusan ribu buruh di 20 provinsi, serentak pada awal Agustus 2020.
Gelar Konferensi pers tersebut dihadiri, FSPKEP, KSPSI, KSPSI, FSPTI, FSPLEM, KSPSI, FSPTSK, KSPSI, SPN, ASPEK Indonesia, FSPMI, FSPKEP KSPI, FSP FARKES KSPI, Forum Guru Tenaga Honorer, PPMI, FSP ISI, FSPI, GOBSI, Presiden KSPI Said Iqbal dan pimpinan tingkat nasional serikat pekerja/serikat buruh lain.
KSPI dalam hal ini dengan tegas menolak adanya RUU Omnibus Law karena dinilai akan menyengsarakan kaum buruh di tanah air.
“Apapun yang dirancang pemerintah, KSPI tetap akan menolak,” ucap Presiden KSPI Said Iqbal.
Menurutnya salah satu poin krusial dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja tersebut adalah perubahan skema pengupahan pekerja. Dari semula gaji bulanan dengan Upah Minimum, baik provinsi (UMP) maupun kabupaten/kota (UMK) menjadi upah per jam. Pengupahan benar-benar didasarkan atas produktivitas pekerja.
Dikatakannya, saat ini dengan skema gaji flat atau tetap, pekerja yang masuk dengan jumlah hari yang berbeda tetap mendapatkan gaji sama. Sedangkan dengan upah per jam, upah yang diterima pekerja sesuai dengan jam kerja. Sebagai praktisi hukum ketenagakerjaan, pihaknya melihat bahwa ada madu sekaligus racun di balik rancangan UU Omnibus Law karena skema upah per jam ini, madu bagi pengusaha dan racun bagi buruh.
Jika RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini disahkan maka ribuan buruh tingkat nasional serikat pekerja/serikat buruh lain akan turun ke jalan melakukan unjuk rasa menolak RUU Omnibus Law tersebut,” tegasnya.
Dampak virus Corona atau Covid-19 tak hanya berdampak kepada kesehatan, tetapi juga perekonomian. Di mana, virus tersebut “membunuh” pelan-pelan perekonomian suatu negara.
Hal ini terlihat dari data kementerian Ketenagakerjaan yang mencatat sebanyak 1,5 juta pekerja telah dirumahkan dan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Di mana, penyebabnya adalah tidak beroperasinya kegiatan ekonomi di beberapa sektor ekonomi.