Jakarta b-oneindonesia Keberhasilan Indonesia menekan laju deforestasi dan degradasi hutan, serta berbagai konsistensi kebijakan pendukung lainnya di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, telah berhasil menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Untuk pertama kalinya Pemerintah Indonesia akan menerima pembayaran hasil kerja penurunan emisi GRK dari Norwegia, sebesar proyeksi 56 juta US$ atau lebih dari 840 milyar rupiah.
Penyerahan dana ini akan dilakukan pada bulan Juni mendatang. Momen ini bertepatan dengan peringatan 10 tahun kebersamaan kedua negara menyepakati kerjasama pendanaan iklim melalui komitmen nota kesepakatan (letter of intent/LOI) pada 2010.
”Diproyeksikan bulan Juni 2020 dana tersebut dibayarkan dengan skema Result Based Payment (RBP). Ini merupakan pembayaran pertama kalinya atas prestasi penurunan emisi karbon dari kehutanan tahun 2016/2017. Keberhasilan mengurangi emisi ini tidak terlepas dari komitmen, dukungan dan upaya korektif pemerintah secara kolektif di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi,” kata Menteri LHK Siti Nurbaya.
Saat ini pemerintah tengah menyiapkan sejumlah dokumen dan laporan sebagai prasyarat pembayaran. Diantaranya dokumen measurement, reporting, and verification (MRV) sebagai basis panduan penghitungan RBP untuk kinerja REDD+ Indonesia sejak tahun 2016, dan mencapai kesepakatan pada Februari 2019.
Selanjutnya, laporan penurunan emisi GRK sebagai dasar pengajuan pembayaran RBP pertama. Laporan ini memuat penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan tahun 2016/2017, dengan data baseline tahun 2006/2007 s/d 2015/2016.
Penurunan emisi GRK Indonesia tahun 2016/2017 dilaporkan sebesar 4,8 juta ton CO2eq. Pengajuan resmi dilakukan pada Juni 2019 untuk RBP pertama dari REDD+, dan selanjutnya dilakukan verifikasi sesuai ketentuan MRV.
Setelah verifikasi oleh pihak Norway pada 1 November 2019 hingga Maret 2020, penurunan emisi tahun 2016/2017 adalah sebesar 11,2 juta ton CO2eq, yang dinilai lebih tinggi dari laporan semula sebesar 4,8 juta ton CO2eq.
“Hasil penilaian ini yang dipakai Norwegia sebagai dasar untuk pembayaran kinerja pengurangan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan Indonesia tahun 2016/2017,” jelas Menteri Siti.
Adapun harga per ton CO2eq sebesar US$ 5, yang mengacu harga yang berlaku pada World Bank tentang REDD+. Setelah pembayaran pertama, selanjutnya akan dilaksanakan pembayaran karbon atau RBP atas prestasi kerja tahun 2017/2018 dan seterusnya.
Menteri Siti mengatakan dana tersebut akan diserahkan Norwegia
kepada Indonesia melalui Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BP-DLH).
Hal ini mengacu pada PP 46 Tahun 2017 tentang instrumen ekonomi
Lingkungan Hidup dan Perpres Nomor 77 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup.
“Bapak Presiden memerintahkan agar dana ini nantinya digunakan untuk program pemulihan lingkungan berbasis masyarakat, yaitu dengan sebanyak mungkin melibatkan partisipasi masyarakat, seperti penanaman pohon dan upaya-upaya revitalisasi ekonomi lokal yang berkelanjutan,” lanjutnya.
Saat ini pemerintah juga tengah menyiapkan regulasi yang mengatur emisi GRK menjadi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) atau Carbon Pricing. Melalui koordinasi Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, telah disusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Instrumen Nilai Ekonomi Karbon.
Rancangan Perpres ini mencakup pengaturan Instrumen pengendalian GRK nasional dan penyelenggaraan kontribusi yang ditetapkan secara nasional (Nationally Determined Contribution).
“Melalui surat, sudah saya laporkan juga kepada Bapak Presiden hal-hal tersebut, yaitu mengenai pembayaran hasil penurunan emisi GRK dari Norway; implementasi Letter of Intent RI-Norway dan rencana addendum; serta pengaturan atau regulasi bisnis karbon dan penurunan emisi GRK,” pungkas Menteri Siti.