Jakarta-b-oneindonesia-Pelaku industri perbankan menunggu langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan menunjuk bank jangkar dalam rangka kebijakan restrukturisasi kredit perbankan di tengah Pandemi Covid-19. Pemerintah telah menyiapkan dana senilai Rp 35 Triliun bagi bank bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang akan disalurkan oleh bank jangkar yang akan ditetapkan pemerintah.
“Skema pengucuran dana likuiditas yang ditempuh pemerintah sekarang memang berbeda dengan penanganan yang dilakukan pada masa krisis ekonomi 1998. Likuiditas disalurkan bukan secara langsung oleh BI atau pemerintah tetapi oleh bank jangkar yang akan ditunjuk,” kata Kepala Ekonomi BNI Ryan Kiryanto dalam Ramadhan Digital Talkshow yang diselenggarakan di Jakarta, Senin (18/05/2020). Penunjukkan bank jangkar atau bank pelaksana penyaluran likuiditas ini akan ditetapkan oleh OJK melalui mekanisme apraisal yang ketat. Setelah dilakukan penilaian oleh OJK kemudian ditentukan bank bank yang layak menjadi bank jangkar atau bank pelaksana.
Ia menyatakan OJK akan menunjuk diantara 15 bank yang memiliki aset terbesar atau bank bank yang masuk dalam Buku 4. Dari 15 bank ini kemudian diseleksi bank bank yang memenuhi persyaratan untuk menyalurkan bantuan kepada bank bank di buku lainnya yang mengalami kesulitan likuiditas dalam rangka program restrukturisasi kredit debitur.
Ryan menyebutkan bank bank yang akan ditunjuk sebagai bank jangkar atau bank pelaksana ini tentu akan sangat hati-hati dalam mencari pasangannya. Hal ini bisa dipahami, karena dalam kondisi Pandemi Covid-19 ini, praktek bisnis tidak bisa berjalan seperti biasa atau bussiness as usual. Bank bank jangkar tentu juga akan meminta jaminan dari bank-bank peserta yang akan menerima bantuan likuiditas dari pemerintah.
Kepala Ekonom BNI berpendapat, aturan kepada bank bank jangkar ini harus jelas dan memiliki kepastian hukum. “Misalnya OJK harus menetapkan syarat syarat yang jelas untuk menjadi bank jangkar. Disebutkan dalam peraturan bahwa 51 persen pemegang saham bank jangkar adalah Warga Negara Indonesia, bank jangkar ini harus berbadan hukum Indonesia. Lalu bagaimana dengan Bank BUMN yang mayoritas sahamnya dimiliki pemerintah. Apakah ini masuk dalam ketentuan tersebut,” tegas Ryan.
Ia menyatakan tantangan yang juga dihadapi adalah bagaimana bank bank jangkar mencari pasangan yang cocok. Jika bank jangkar yang berada di Buku 4 mencari pasangan dengan bank bank peserta yang berada di Buku 3 dan 2 akan lebih mudah, namun ini tidak mudah jika dilakukan pada bank yang berada pada buku 1.
Menurut Ryan bank bank jangkar yang menyalurkan likuiditas kepada bank bank peserta juga akan secermat mungkin dalam menghitung margin keuntungan dan risiko yang mungkin terjadi. “Cost and benefit benar-benar akan dihitung secara matang. Dan kebijakan setiap bank tentu akan berbeda. Karena ini menjadi urusan dapur masing-masing bank tersebut,” kata Ryan.
Ia menyatakan bank bank jangkar bisa mengambil keuntungan atau margin dari kebijakan relaksasi ini. Namun sebaliknya risiko yang dihadapi juga ada yakni kenaikan Non Performing Loan (NPL) jika penyaluran kredit berjalan tidak lancar. Restrukturisasi kredit ini memang memiliki payung hukum yakni POJK 11 yang terbit pada 2020 yang akan berlaku sampai 31 Maret 2021.
OJK selaku pengawas penyaluran dana likuiditas ini juga harus mengawasi secara reguler. Lembaga ini bisa mencari terobosan baru jika antara bank jangkar dan bank peserta tidak terjadi titik temu atau no deal. Dalam situasi seperti ini tanpa campur tangan pemerintah maka bank bank yang membutuhkan likuiditas akan mengalami kesulitan.
Ryan memperkirakan secara umum kondisi perbankan masih akan mengalami tekanan pada 2020 karena belum ada kepastian kapan pandemi Covid-19 ini akan berakhir. Pertumbuhan kredit perbankan diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB pada 2020 diperkirakan akan tumbuh sekitar 3,5 persen sedangkan pertumbuhan kredit perbankan diperkirakan sekitar 2-3 persen.
Kepala Ekonom BNI ini menyatakan banyak pihak berharap pada kuartal ketiga dan keempat ini pandemi Covid-19 mulai bisa diatasi sehingga terjadi pemulihan ekonomi global yang lebih cepat. “Kuncinya jika penyebaran Covid-19 ini adalah kurva berbentuk V maka optimisme akan tinggi diantara para pelaku ekonomi. Kita berharap jangan sampai yang terjadi adalah kurva W atau penyebaran virus Corona gelombang kedua. Ini akan membuat tekanan baru,” ujarnya.
Ia menambahkan krisis ekonomi 2020 ini memang lebih berat dibandingkan krisis keuangan 2008. Karena krisis yang terjadi sekarang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan seluruh masyarakat dunia. Pemulihan ekonomi secara global akibat Pandemi Covid-19 juga membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan krisis ekonomi 2008 yang dimulai di Amerika Serikat.