“BRITANIAN TRUMP’ DAN KEMENANGAN PM INGGRIS BORIS JOHNSON BERBUAH MANIS HUBUNGAN RELASI AS-INGGRIS

Jakarta-be-oneindonesia-Hasil terpilihnya Johnson sebagai PM di prediksi merupakan awal kehancuran Inggris. Sementara walau Johnson dipandang sebagai salah satu politikus yang membawa populisme ‘Inggris bangkit’ hingga menghasilkan referendum Brexit pada 2016 lalu, Johnson merupakan menteri kabinet era Theresa May yang mendesak Inggris untuk tidak memiliki hubungan apa pun dengan Uni Eropa selepas Brexit.

Sesungguhnya hingga di masa akhir jabatannya sebagai PM, May berupaya membawa Inggris untuk tetap berhubungan dekat dengan blok tersebut, terutama dalam sektor ekonomi. Perbedaan pendapat tersebutlah yang membuat May mundur sebagai menteri luar negeri May pada 2018 lalu.

Sementara banyak kalangan menilai ada beberapa persamaan antara “Boris Johnson dan Donald Trump banyak pihak menyamakan Johnson dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Selain sama-sama lahir di New York, kedua pemimpin disebut memiliki sejumlah kemiripan mulai dari warna rambut, gaya kepemimpinan, hingga “moral yang kendur” dengan lusinan kontroversi. Selain hal tersebut diantar keduanya memiliki kepribadian dan orientasi yang sama terhadap media. Tak satu pun dari mereka yang ideologis, tak satu pun dari mereka peduli tentang masalah (negara) seperti mereka peduli pada diri mereka sendiri,” kata Kepala Eurasia Group, Ian Bremmer, seperti dikutip AFP.

Bremmer menyampaikan bahwa Johnson dan Trump pada prinsipnya sama-sama politikus yang memiliki ideologi sayap kanan dan lebih berorientasi pada populis, anti-kritik, serta anti-kemapanan.
Mantan pejabat Kemlu AS di bawah Presiden George W Bush, R Nicholas Burns, mengatakan terpilihnya Johnson sebagai PM membawa Inggris ke dalam krisis identitas. “Burns menyampaikan seperti dikutip The New York Time Inggris tengah berada dalam krisis eksistensi, sementara AS telah lama berada dalam krisis serupa. Kedua pemimpin tersebut Johnson dan Trump ini berubah-ubah dan mereka sepenuhnya tidak dapat diprediksi,”

Selanjutnya masalah sebutan “Britain Trump tengah ramai diperbincangkan  masyarakat Inggris saat terpilihnya Boris Johnson sebagai perdana menteri baru, Selasa (23/7). “Britain Trump” bahkan disepakati oleh sang pemimpin Gedung Putih. Dalam sebuah pidatonya di Washington kemarin, Trump menyambut kemenangan Johnson dan menganggap sebutan “Britain Trump” bagi Johnson adalah pujian yang baik. Trump juga telah memberikan isyarat tentang hubungan AS-Inggris di kepemimpinan mereka akan sangat istimewa ke depan. Trump juga telah mengundang Johnson ke Gedung Putih melalui sambungan telepon pada pekan lalu.

Meski tak berpengaruh secara signifikan dalam waktu dekat, sejumlah pengamat menganggap kemenangan Johnson tidak diragukan lagi akan berbuah manis terhadap relasi AS-Inggris,
karena, hubungan kedua sekutu lama ini sempat memburuk setelah saat Theresa May sebagai PM sebelumnya, dimana May sempat menegur Trump karena dianggap mencampuri urusan dalam negeri Inggris terkait negosiasi Brexit.

“Chemistry personal antara kedua pemimpin akan semakin nampak. Trump dengan  sngat jelas memperlihatkan bahwa dia mendukung Boris sebagai pengganti PM Inggris Theresa May saat ini dan tentunya Trump dan Boris benar-benar satu pandangan terutama soal Brexit,”  hal tersebut disampaikan oleh Amanda Sloat, mantan pejabat Kementerian Luar Negeri AS yang kini menjadi peneliti di Brookings Institution.

Boris Johnson selaku PM Inggris saat ini dipastikan akan mengunjungi Washington sebagai salah satu tujuan lawatan kenegaraan perdananya dalam waktu dekat untuk upaya memperlihatkan keharmonisan baru antara AS-Inggris. Apakah ‘bromance‘ Trump-Johnson akan berpengaruh nyata terhadap kebijakan bilateral kedua negara ?, hal ini menjadi sebuah pertanyaan selanjutnya. Walaupun relasi Trump dan Johnson sedang dalam masa hangat dan harmonis, namun ada prediksi dimana beberapa pihak merasa skeptis jika romansa keduanya itu akan mengubah kebijakan luar negeri Inggris secara signifikan.

Seberapa kuat keinginan Johnson untuk “memikat” Trump, eks Wali Kota London itu diprediksi tidak akan berani mengambil risiko mengubah kebijakan luar negeri Inggris secara ekstrem ketika dirinya menghadapi parlemen yang tengah didominasi oposisi.

Kedekatan dengan AS, terutama di bawah kepemimpinan Trump diprediksi tidak akan banyak menguntungkan Inggris. Karena, pengamat memprediksi pendekatan Trump dengan “America First“-nya tidak akan memberikan ruang bagi sentimentalitas persahabatan kedua negara. Contoh yang paling nyata ternyata AS masih hendak memikirkan kembali untuk menjalin kesepakatan perdagangan dengan Inggris setelah negara itu keluar dari Uni Eropa kelak. (nrl/ sumber berita- CNN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *