Jakarta-be-oneindonesia-Demi NUKLIR, AS membuka peluang peringanan sanksi terhadap IRAN
Demi pembicaraan Nuklir Presiden Amerika Serikat Donald Trump membuka peluang peringanan sanksi terhadap Iran. AS memberikan isyarat namun mengejutkan tentang pelonggaran sanksi terhadap Iran muncul hanya sehari setelah Trump secara tak resmi memecat Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih John R. Bolton, yang menentang perundingan baru dengan Iran. Para pemimpin Iran telah lama bersikeras bahwa Amerika Serikat harus terlebih dahulu mencabut sanksi sebelum mereka setuju untuk bertemu dengan Trump.(nrl/sumber berita-Lara Jakes -The New York Times)
Presiden Amerika Serikat Donald Trump memiliki kecenderungan untuk mengambil langkah mundur dari kampanye dengan tekanan maksimum pemerintahannya terhadap Iran hari Rabu 11 September 2019, dan membuka peluang keringanan terhadap sanksi ekonomi sebelum memulai negosiasi nuklir baru dengan Iran.
Walaupun AS tetap memperingatkan Iran agar tidak memulai kembali produksi bahan yang diperlukan untuk membuat bom nuklir, seperti ancaman yang telah dilontarkan pemerintah Iran, Trump menegaskan akan siap untuk melakukan pembicaraan diplomatik. “Saya yakin mereka ingin membuat kesepakatan,” tutur Trump kepada wartawan di Gedung Putih. “Jika mereka bersedia melakukannya, itu bagus. Jika tidak, itu juga bagus. Tetapi mereka memiliki kesulitan keuangan yang luar biasa, dan sanksi menjadi semakin sulit.”
Trump menyampaikan tentang apakah akan mempertimbangkan keringanan terhadap pemberian sanksi untuk mengamankan pertemuan dengan Iran. Selanjutnya akan menunggu hasil tersebut.
Keringanan sanksi yang akan diberikan kepada Iran terjadi sehari setelah Trump secara tak resmi memecat Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih John R. Bolton, karena terjadi pertentangan antara Trump dengan John R Bolton dalam masalah perundingan dengan Iran.
Sementara Para pemimpin Iran menunggu dan bersikukuh agar Amerika Serikat seharusnya terlebih dalu untuk mencabut sanksi sebelum mereka setuju untuk bertemu dengan Trump. Presiden Iran Hassan Rouhani mengulangi permintaan itu hanya beberapa jam sebelum komentar Trump, sebagai berikut ini :
“Jika sanksi tetap berlaku, negosiasi dengan pemerintah AS tidak ada artinya,” kata Rouhani dalam panggilan telepon hari Rabu (11/9) dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron, menurut kantor berita resmi Iran Islamic Republic News Agency (nrl/sumber berita-IRNA).
Pertemuan paling awal dan paling mudah diatur kemungkinan akan dilakukan di sesi tahunan Majelis Umum PBB bulan September 2019, dimana Trump akan berpidato di hadapan Majelis Umum PBB tanggal 24 September 2019 emdatang ini, diikuti oleh Rouhani pada hari berikutnya. Diskusi di sela-sela forum tersebut adalah bagian rutin dari prosesi diplomatik, meskipun Rouhani belum pernah mengadakan pertemuan dengan presiden Amerika. Trump dan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo sama-sama telah melontarkan kemungkinan pertemuan dengan Iran di PBB. Melihat catatn di masa lalu usaha serupa untuk menyusun pertemuan Trump dan Rouhani di PBB tahun 2017 gagal.
Sanksi Amerika terhadap Iran kembali diberlakukan tahun 2018 setelah Trump menarik Amerika Serikat dari perjanjian yang disusun dengan negara-negara kekuatan dunia tahun 2015 untuk membatasi program nuklir Iran. Hukuman ekonomi sebagian besar telah menghentikan pemerintah dan bisnis asing yang ingin berinvestasi di Iran atau untuk membeli minyak dan barang-barang lainnya dari Iran.
Sanksi itu adalah bagian dari kampanye “tekanan maksimum” pemerintahan Trump untuk mengisolasi Iran dan memaksanya kembali ke negosiasi untuk kesepakatan baru, yakni perjanjian yang tidak hanya akan membatasi program nuklir Iran tetapi juga menghentikan produksi rudal balistik maupun dukungan untuk kelompok-kelompok ekstremis di Timur Tengah, termasuk Hizbullah, Hamas, dan pemberontak Houthi di Yaman.
Meskipun kampanye sanksi telah melumpuhkan ekonomi Iran, hal itu tidak menghentikan langkah China untuk mengimpor minyak Iran.
Sanksi itu telah membuat Prancis dan sekutu dekat Amerika lainnya frustrasi, yang sekarang berusaha untuk menciptakan sistem barter dengan Iran yang akan membuat saluran keuangan tetap terbuka tetapi tidak melanggar sanksi Amerika. Macron juga menawarkan kemungkinan bailout sebesar US $ 15 miliar ke Iran sebagai bagian untuk mematuhi kesepakatan nuklir 2015.
Ketika Trump menghadapi masa kampanye pemilihan presiden AS 2020, ia telah mengejar kemenangan diplomatik yang melibatkan sejumlah musuh, termasuk Korea Utara, Venezuela, dan Taliban di Afghanistan. Bulan Juni 2019, Trump pada menit terakhir membatalkan serangan rudal terhadap Iran yang telah didorong oleh para penasihatnya sebagai upaya untuk menghukum Iran karena menjatuhkan pesawat pengintai nirawak Amerika.
Bulan Agustus 2019, pada pertemuan G7 di Biarritz, Prancis, Trump mengaku “ingin membuat Iran kaya lagi” dan menjelaskan bahwa dia tidak mendukung upaya untuk menggulingkan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Pada pidato pekan lalu di Manhattan, Kansas, Pompeo menggambarkan Trump merasa “senang” untuk bertemu dengan para pemimpin Iran dan mengatakan bahwa pemerintah AS ingin mengakhiri perselisihan dengan Iran. Selain Bolton, Pompeo telah menjadi salah satu sosok agresif di pemerintah Trump yang paling keras terhadap pemerintah Iran. Menurut para ahli, Pompeo maupun Bolton sebagian besar telah berhenti berbicara tentang 12 tuntutan yang menurutnya harus dipenuhi oleh Iran sebelum sanksi Amerika dicabut. (Pompeo segera mengklarifikasi di Kansas, mencatat bahwa pernyataannya tentang perasaan “senang” Trump mungkin sedikit berlebihan).
Hari Selasa (10/9), Bolton keluar dari pekerjaannya di Gedung Putih. Hari Rabu (11/9), Trump membuka peluang untuk meringankan sanksi terhadap Iran untuk mendorong Rouhani mendatangi pertemuan.
“Trump benar-benar membutuhkan sesuatu sebelum pemilihan, dan Iran tahu itu,” kata Gary Sick, pakar Iran di Universitas Columbia yang bekerja di Dewan Keamanan Nasional (NSC) untuk tiga presiden selama tahun 1970-an dan 1980-an. “Sehingga, pada dasarnya, Iran sedang bernegosiasi dari posisi yang kuat.”
Sick mengatakan bahwa sanksi Amerika Serikat memang melumpuhkan ekonomi Iran, merujuk pada langkah-langkah kuat yang akan terus dilakukan pemerintahan Trump terhadap Iran, termasuk melabeli Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) sebagai organisasi teroris musim semi lalu.
Minggu lalu, pemerintahan Trump memberlakukan serangkaian sanksi baru terhadap jaringan pengiriman rumit yang digunakan Iran untuk menjual minyak, menawarkan hadiah sebesar US $ 15 juta kepada pihak-pihak yang mampu membantu mengacaukan jaringan itu.
Sick mengatakan bahwa Amerika Serikat sekarang dapat mempertimbangkan lagi untuk menghapuskan sanksi terhadap beberapa negara yang bergantung pada ekspor minyak Iran, seperti India, Jepang, Korea Selatan, dan Turki. China sejauh ini merupakan pembeli terbesar ekspor harian Iran sebesar satu juta barel, tetapi tidak mungkin diberikan pengabaian sanksi setelah salah satu perusahaan milik negara bulan Juni 2019 ditemukan telah melanggar sanksi.
“Sudah jelas sejak awal bahwa jenis kampanye maksimum yang diterapkan ke Iran akan membuat mustahil bagi pemimpin Iran untuk menyerah,” kata Sick. Namun, ia menambahkan, “Iran tidak akan runtuh, dan sekarang Trump sedang mengklarifikasi kebijakannya.”
Musim panas ini, Iran telah melakukan serangkaian langkah teknis yang melanggar ketentuan perjanjian nuklir 2015, sebagai langkah untuk memaksa para pemimpin Eropa untuk mempercepat upaya meredakan dampak sanksi. Sick mengatakan bahwa semua langkah nuklir Iran sampai saat ini dapat dengan mudah dan cepat dibatalkan.
Selama akhir pekan, Rouhani mengumumkan bahwa Iran sedang bersiap untuk memulai kembali produksi uranium pengayaan tinggi, bahan yang dibutuhkan untuk membuat senjata nuklir. Hal itu kemungkinan besar akan meniadakan harapan untuk membangkitkan kembali perjanjian nuklir dengan negara-negara kekuatan dunia, seperti yang sedang dicoba dilakukan oleh Macron.
“Jika mereka berpikir tentang pengayaan, mereka bisa melupakannya,” kata Trump hari Rabu (11/9). “Karena akan sangat berbahaya bagi mereka untuk memperkaya.”
Dalam sambutannya, Trump mencemooh Bolton sebagai “Orang Tangguh,” menuduhnya menyulut perang di Timur Tengah dan mengganggu negosiasi yang sekarang mengalami kebuntuan dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un. Trump juga mengatakan bahwa Bolton telah “bertindak keluar jalur” terhadap pemerintah Presiden Venezuela Nicolás Maduro, meskipun Trump tidak menjelaskan bagaimana.
“Anda tahu, John tidak sejalan dengan apa yang kami lakukan,” kata Trump.
Kepergian Bolton dari jabatan Penasihat Keamanan Nasional segera mempercepat dimulainya pembersihan yang lebih luas di Dewan Keamanan Nasional (NSC), yang akan menyulitkan langkah pembuatan kebijakan dan diplomasi setidaknya dalam waktu dekat sampai kekosongan jabatan itu diisi. Beberapa penasihat Bolton sejak lama turut meninggalkan Gedung Putih hari Rabu (11/9), termasuk Sarah Tinsley, Garrett Marquis, dan Christine Samuelian. Sejumlah staf lain diperkirakan akan menyusul pergi dalam beberapa hari mendatang.
(nrl/Dikutip dari The New York Times, Kamis (12/9), tanda-tanda melunaknya sikap Trump terhadap Iran telah terlihat selama musim panas).