Kerajaan di Kutai Kartanegara memulai abad sejarah Nusantara ribuan tahun yang lalu. Umurnya seakan singkat sampai kemudian lenyap.
Presiden Joko Widodo mengumumkan lewat konferensi pers di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8), lokasi ibu kota baru di Kalimantan Timur, menggantikan DKI Jakarta.
“Lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara,” kata Jokowi.
Wilayah yang kini bernama Kutai Kartanegara, bukan kawasan asing dalam perpolitikan Nusantara. Lewat bukti-bukti arkeologis, sementara disimpulkan kalau di sanalah periode sejarah bangsa ini dimulai. Beberapa prasasti tertua ditemukan di tempat itu, paling tidak dari 17 abad yang lalu.
Kerajaan di Kalimantan itu disebut sebagai salah satu yang memiliki tradisi tulis tertua di Nusantara. Namun, ia kurang populer di kalangan pelancong asing, tertutama dari Tiongkok.
Menurut W.P. Groeneveldt dalam Nusatara dalam Catatan Tionghoa, berita Tiongkok yang menyebut Kalimantan baru ditemukan dalam catatan Sejarah Dinasti Tang (618–906 M). Itu pun bukan tentang wilayah di timur Kalimantan, tetapi pantai utara dan barat Kalimantan.
Sementara itu, rekaman adanya utusan kerajaan Jawa ke kerajaan Tiongkok sudah muncul pada era Dinasti Han (206 SM–220 M), yaitu dalam catatan Hou Han Shu bab ke-6 dan bab ke-116. Sedangkan tentang Sumatra, sudah tercatat sejak awal abad ke-6, yaitu dalam catatan Sejarah Dinasti Liang (502-557 M).
“Sepertinya orang Tionghoa hanya sedikit saja atau tidak melakukan kontak dengan Kalimantan atau penduduknya,” catat Groeneveldt.
Kendati demikian, keberadaan Kerajaan Kutai tak diragukan. Buktinya tujuh prasasti yupa ditemukan di areal Muara Kaman, tepatnya di situs Banua Lawas. Meski tanpa angka tahun, dari hurufnya bisa diperkirakan prasasti ini berasal dari abad ke-5. Huruf Pallawa yang dipakai dalam prasasti itu dipakai di India pada periode yang sama.
Suwardono, pengajar pendidikan sejarah di IKIP Budi Utomo Malang dan guru sejarah dan antropologi SMA Negeri 7 Malang, dalam Sejarah Indonesia Masa Hindu-Buddha menjelaskan yupa adalah sebutan bagi tiang dari batu untuk mengikat korban hewan persembahan bagi para dewa.
“Di Kerajaan Kutai, yupa tersebut rupanya mempunyai fungsi yang sama sebagaimana ternyata dari bunyi prasasti itu,” jelas Suwardono.
Semua prasasti itu, menurut George Coedѐs dalam Asia Tenggara Masa Hindu Buddha, dibuat ketika Raja Mulawarman berkuasa. Menurut salah satu prasasti, Raja Mulawarman adalah cucu seseorang bernama Kudunga.
“Namanya barangkali nama Tamil atau Austronesia, tetapi pasti bukan Sanskerta,” tulis Coedѐs.
Pengaruh India baru nampak pada ayah Mulawarman yang bernama Aswawarman. Nama ayah-anak itu sama-sama berakhiran -warman, nama yang sering dipakai raja-raja di India.
Prasasti itu menyebut Aswawarman sebagai pendiri dinasti. Dari situ juga dapat diketahui bahwa paling tidak pada abad ke-5 masyarakat Kutai sudah menerima pengaruh Hindu. Mereka mulai mendirikan kerajaan dengan pola pemerintahan di India. Setidaknya waktu itu sudah terdapat strata sosial. Bahasa Sanskerta menjadi bahasa resmi bagi golongan brahmana.
Salah satu prasasti menyebut Raja Mulawarman memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para brahmana. Dalam prasasti lain, dia mengadakan kenduri emas yang sangat banyak. Hampir semua prasasti menjelaskan bahwa golongan brahmana yang mendirikan yupa sebagai peringatan kebaikan budi sang raja.
Golongan berikutnya adalah kaum kesatria. Mereka terdiri dari keluarga Mulawarman. Golongan ini mungkin masih terbatas pada keluarga raja. Kemudian ada golongan waisya yang diduga merupakan golongan pedagang.
Timbul dan Tenggelam
Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah Universitas Negeri Malang menjelaskan, dengan adanya temuan prasasti, bukan berarti proses budaya di Muara Kaman baru berawal pada abad ke-5.
Dalam artikelnya “Memberdaya Budaya Kutai Pada Titik Mula (Fajar Sejarah Nusantara)” di situs pribadinya patembayancitralekha, Dwi menyebut ada data gerabah di beberapa situs kubur yang memperlihatkan transisi budaya dari akhir masa prasejarah hingga awal periode Hindu-Buddha. Bahkan ada temuan arca perunggu yang kira-kira berasal dari abad ke-2. Arca personifikasi tokoh Dhyani Buddha itu berada di situs Kota Bangun, yang merupakan kecamatan tetangga Muara Kaman.
“Tergambar bahwa pengaruh kebudayaan India telah menjangkau areal di sub-DAS Tengah Mahakam, setidaknya dua abad sebelum berdirinya Kerajaan Kutai di Muara Kaman,” jelas Dwi.
Menurut Dwi, sebagaimana tertuang dalam prasasti, pembawa pengaruh India itu datang ke timur Kalimantan karena tertarik dengan potensi alam, utamanya emas, minyak yang disebut dalam prasasti dengan “minyak kental”, dan gaharu. Komoditas itu pada awal tarikh Masehi banyak dibutuhkan di Asia Daratan hingga Eropa.
Kemunculan pusat pemerintahan di pedalaman Mahakam itu juga dipicu kebangkitan Kerajaan Fu-nan di Vietnam.
Suwardono menjelaskan pada abad ke-3-6, kerajaan itu mendominasi kawasan Asia Tenggara. Ia makin berjaya pada abad ke-6. Para musafir Tiongkok berdatangan karena mengira negeri itu penuh emas, perak, dan mutiara.
Fu-nan lalu menguasai Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Dengan adanya tekanan yang memberatkan bagi pedagang dan kapal-kapal, mereka pun mencari jalan yang luput dari tekanan itu. Alternatifnya adalah wilayah di sepanjang Sumatra Barat, Selat Sunda, Laut Jawa, dan Selat Makassar. Ramainya lalu lintas pada rute itu, tak menutup kemungkinan munculnya kerajaan baru, Tarumanegara dan Kutai.
“Dapat dipahami jika kemudian Kutai seakan tiba-tiba lenyap sejak abad ke-6 dalam sejarah hubungan internasional. Sebab, Kerajaan Fu-nan waktu itu sudah hancur oleh Kerajaan Chen-la,” tulis Suwardono.
Kerajaan yang kemudian muncul adalah Sriwijaya. Ia menguasai Selat Malaka maupun pantai barat Sumatra.
“Perbedaan sistem perdagangan yang dilakukan Sriwijaya membuat pedagang dan kapal-kapal sering singgah di sana. Maka matilah jalur perdagangan Selat Makassar, dan tenggelamlah Kutai dari perdagangan internasional,” tulis Suwardono.
Kendati begitu mungkin mereka bukannya sama sekali lenyap. Kutai hanya tak melanjutkan tradisi menulis prasastinya. Sementara kerajaan itu sebenarnya masih terus ada.
Bernard H. M. Vlekke dalam Nusantara, menyebut Kerajaan Kutai berganti menjadi Kesultanan Kutai, dekat muara Sungai Mahakam. Tawarikh kesultanan itu mencatat wilayah Muara Kaman yang ada sebelumnya.
Menurut Vlekke, sangat mungkin penguasa wilayah itu dan sekitarnya tak mampu memelihara kontak dengan India. Itu terutama setelah inisiasi mereka dengan pengetahuan para brahmana. “Mereka mungkin menjadi bisu lagi dan kita tak bisa belajar tentang nasib mereka,” tulis Vlekke
Oleh Risa Herdahita Putri