Oleh: Didik Sasono Setyadi
Cukup banyak komentar dari berbagai kalangan terhadap tulisan saya “Implementasi Fungsi Perlindungan Pemerintah dalam Kasus Covid-19” yang dimuat media ini beberapa hari lalu. Isinya berupa kritikan (karena dianggap terlalu teoritis), namun tidak sedikit yang mengapresiasinya sebagai tulisan yang ikut memberikan pencerahan. Untuk itu melengkapi tulisan sebelumnya, saya sengaja menurunkan suatu tulisan lagi seperti di bawah ini.
Guru Besar Hukum Administrasi, Philipus M Hadjon, dalam bukunya “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia” (Hadjon, 1987: 2) menyebutkan: “Pengertian “pemerintah” dikaitkan dengan istilah atau terminologi dalam bahasa Belanda “bestuur” atau dalam bahasa Inggris “administration” Dalam bahasa Indonesia istilah “bestuur” maupun “regering” diterjemahkan dengan “pemerintah”, sehingga untuk membedakannya sering ditambahkan dengan keterangan “sempit” untuk “bestuur” dan keterangan “luas” untuk “regering” sehingga “bestuur” adalah pemerintah dalam arti sempit dan “regering” adalah pemerintah dalam arti luas.
Pengertian pemerintah dalam arti luas dalam Ilmu Pemerintahan adalah suatu organisasi besar yang bekerja dengan tugas menjalankan suatu sistem pemerintahan yang multidimensional (meliputi segala aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, territorial, hukum hingga pertahanan keamanan) sehingga mencakup pula fungsi legislatif dan yudikatif, sedangkan pemerintah dalam arti sempit adalah terbatas pada yang menjalankan fungsi eksekutif saja yang komponennya terdiri atas Presiden, Wakil Presiden dan Menteri-menteri.
Dalam menghadapi serangan Virus Corona Disease 19 (Covid 19) ini Pemerintahan Presiden Jokowi menunjukkan pola bahwa pemerintahannya cenderung menggerakkan pemerintahan dalam arti luas (“regering”) sebagai suatu sistem besar pemerintahan negara Republik Indonesia untuk menghadapi Virus yang bisa mengancam keamanan dan keselamatan bangsa. Bahwa pemerintah tidak mau tersandera pada urusan “bestuuring” (pelaksanaan / ekseskusi) satu ketentuan saja yakni ketentuan dalam Undang-undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan saja, dalam menyikapi tuntutan untuk malakukan Lockdown oleh berbagai kalangan.
Pemerintahan Presiden Jokowi ternyata dalam waktu sangat pendek meresponse tuntutan dengan beberapa Peraturan yang dikeluarkan:
- Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020, GUGUS TUGAS PERCEPATAN PENANGANAN CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19), tertanggaL 13 Maret 2019
- Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR DALAM RANGKA PERCEPATAN PENANGANAN CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-Ig), tertanggal, 31 Maret 2020
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020, KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAU DALAM RANGKA MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN NASIONAL DAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN tertanggal 31 Maret 2020
Terbitnya beberapa peraturan perundang-undangan ini membuat Pemerintah mengkomodasi berbagai komponen penting, antara lain Komponen Penanggulangan Kebencanaan (karena Gugus Tugas dikepalai oleh Kepala BNPB), Komponen Keuangan Negara dalam keadaan mendesak melalui suatu Perppu (mengelimir ketentuan serta kewenangan pembuatan Undang-undang APBN), serta tidak mau terpaku pada ketentuan Undang-undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, khusunya dalam Pasal 55
(1) Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
(2) Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait.
Tentunya dapat dibayangkan bila menggunakan Pasal 55 ini, dimana kebutuhan dasar hidup orang serta makanan hewan ternak (semua yang bernyawa yang membutuhkan makan) menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Tentu saja akan sangat menyulitkan dan berisiko tinggi bagi pemerintah pusat, tidak hanya dari sisi penyediaan dananya, tapi juga operasionalnya / implementasinya, ditengah-tengah kondisi bahaya penularan penyakit yang tidak pandang bulu bisa terjadi kepada siapa saja termasuk kepada aparat pemerintah pusat, bila pemerintah menetapkan karantina wilayah, maka harus mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar orang dan hewan di wilayah yang di karantina. Apakah memungkinkan ?
Menyadari hal itu, Pemerintah lebih memilih untuk mengeluarkan kebijakan berbentuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merujuk pada Pasal 59 Undang-undang No. 6 Tahun 2018 yang menyebutkan:
1.Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
2. Pembatasan Sosial Berskala Besar bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu.
Pilihan kebijakan inilah kemudian dikuatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020, dimana dalam Pasal 6 nya menyebutkan:
- Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar diusulkan oleh gubernur/bupati/walikota kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
- Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar denganmemperhatikan pertimbangan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 20 1 9 (COVID- 1 9).
- Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-L9) dapat mengusulkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan untuk menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar di wilayah tertentu.
- Apabila menteri yang menyclenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan menyetujui usulan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah di wilayah tertentu wajib melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Dengan demikian dapat pula disimpulkan Pemerintah memilih untuk tidak menggunakan atau tidak sepenuhnya menggunakan ketentuan Pasal 154 (4) Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyebutkan: “Pemerintah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina”
Pengambilan keputusan Pemerintah Presiden Jokowi ini menunjukkan bahwa Presiden Jokowi memiliki ketrampilan tersendiri dalam urusan administrasi pemerintahan. Terkait hal ini Simon mengatakan “The skills of designing and maintaining the modern decision-making systems we call organizations are less intuitive skills. Hence, they are even more susceptible to training than the skills of personal decision making” (Pugh, 1971: 192). Ketrampilan dalam membuat keputusan di era sistem organisasi modern lebih banyak ditentukan oleh faktor si pengambil keputusan yang terlatih (well trained) ketimbang yang mengambil keputusan karena kemampuan personal (bakat) nya. Tampaknya Presiden Jokowi dalam track recordnya selama ini cukup well trained menghadapi berbagai situasi kritis.
Implementasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara umum diatur dalamPasal 4 Peraturan Pemerintah tersebut, yaitu:
- Pembatasan Sosial Berskala Besar paling sedikit meliputi:
-
- peliburan sekolah dan tempat kerja;
- pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
- pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
- Pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b harus tetap mempertimbangkan kebutuhan pendidikan, produktivitas kerja, dan ibadah penduduk.
- Pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk.
Dengan ketentuan ini substansi “karantina” dapat dicapai, kebutuhan dasar penduduk tetap diperhatikan, termasuk kebutuhan pendidikan, kerja dan bahkan ibadah. Peraturan Pemerintah ini benar-benar “soft landing solution”. Sebagai seorang pengamat tentunya saya kagum pada arsitek kebijakan-kebijakan ini.
Selanjutnya Peraturan Pemerintah ini pun mengatur menakisme PSBB sedemikian rupa dalam Pasal 5 (1)
Dalam hal Pembatasan Sosial Berskala Besar telah ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah wajib melaksanakan dan memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Dari ketentuan ini tampak sekali bahwa pemerintah Jokowi menginginkan “satu komando” penangangan Covid-19 dengan berbagi beban tanggung jawab dengan mengoptimalkan sumber daya di seluruh sistem pemerintahan dari sub sistem pusat sampai sub sistem ke daerah. Gaya ini memang kerapkali jadi ciri Jokowi dalam melaksanakan program-programnya ataupun menyelesaikan permasalahan yang muncul.
Gaya kepemimpinan merupakan aktualisasi dari sikap (attitude) dekat hubungannya dengan perilaku. Sikap merupakan ranah afektif, sedangkan perilaku merupakan kelanjutannya, yaitu ranah perilaku (behavior). Biasanya antara sikap dan perilaku tidak dipisahkan dalam penyebutannya (attitude and behavior). Secara umum attitude dan behavior ini sering disebut dengan “gaya” kepemimpinan. Priansa mengatakan “secara umum, gaya kepemimpinan otokratis, demokratis, dan laissez faire” (Priansa,2018: 207). Pemimpin Otokratis adalah pemimpin yang menjadikan dirinya sebagai sumber kebijakan. Pegawainya hanyalah menjalankan perintah. Pemimpin Demokratis adalah pemimpin yang memebrikan ruang untuk memberikan pendapat bagi para pegawainya. Sedangkan Pemimpin Laissez Faire yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada bawahan untuk bertindak sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing yang telah dibagi dalam prosedur / pedoman kerja. Terkait dengan penanganan Covid-19 ini, kita bisa mengenali kepemimpinan Jokowi cenderung pada gaya yang mana.
Apapun gaya kepemimpinan pemerintahan, aspek yang terpenting dalam administrasi pemerintahan adalah Good Governance. Azas-azas Umum Pemerintahan Yang Baik / AUPB (Algemene beginselen van behoorljik bestuur) atau Good Governance dalam pemerintahan yang baik itu inherent dalam sistem pemerintahan yang dijalankan. Djohermansyah Djohan mengutip ada 11 Asas (Principle) etika pemerintahan yang dikenalkan oleh Crince Le Roy (Djohan &Milwan, 2014: 6.19) yaitu: Legal Security, Proportionality, Equality, Carefulness, Motivation for Decision Making, Non-misuse of Competence, Fair Play, Reasonableness or Prohibition of Arbitrariness, Meeting Raised Expectation, Undoing the Consequences of Annulled Decision, Protecting the Personal Way of Life.
Pilihan kebijakan yang diambil pemerintahan Jokowi dalam mengatasi Covid-19 dapat diuji dnegan ke 11 Azas tersebut. Yang jelas untuk langkah pertama bahwa Pemerintahan yang baik itu mementingkan Azas Legalitas (Kepastian Hukum), maka syarat itu sudah dilalui dengan terbitnya peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas.
Selain Azas Umum Pemerintahan yang baik yang sudah dinormakan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Osborne dan Gaebler (Osborne and Gaebler, 1996: 249) dalam tesis reinventing government nya mengusulkan “Pemerintahan Yang Ansipatif”. Dari penjelasan yang mereka kemukakan dapat disimpulkan pemerintah yang antisipatif adalah pemerintah yang belajar dari pengalaman-pengalaman yang terjadi sebelumnya, jangan sampai mengulang kesahalan yang sama. Maka dalam konteks ini pemimpin yang baik dan berpengalaman tentunya akan menjadi pemimpin yang antisipatif. Pengalaman-pengalaman yang dimilikinya dapat menjadikannya lebih paham tentang potensi-potensi kegagalan, sehingga dia bertindak antisipatif untuk menghindarinya.
Secara normatif dalam konsideransi Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 telah dipertimbangkan dengan baik, sehingga rumusan “menimbang”nya berbunyi:
1. bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, dan kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat;
2. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak;
3. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi (forward looking) dalam rangka menjaga stabilitas sector keuangan;
4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial (social safety net), dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan;
5. bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
6. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, serta guna memberikan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil kebijakan dan langkah-langkah tersebut dalam waktu yang sangat segera, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Antisipasi atau belajar dari pengalaman, tidah harus atau tidak hanya belajar pada pengalaman diri sendiri, tetapi bisa juga belajar dari pengalaman negara lain dalam mengatasi Covid-19, kemudian disesuaikan dengan daya dukung dan kondisi obyektif negeri sendiri seperti apa, lantas kemudian diputuskanlah pilihan kebijakannya. Semoga kebijakan-kebihajakan yang telah diambil adalah kebijakan yang terbaik dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Sebagai pengamat Kebijakan Publik dari aspek Ilmu Pemerintahan saya harus mengapresiasi pilihan-pilihan yang telah diambil ini.
*) Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik, Candidate Doctor Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri, serta Lulusan Terbaik “Cum Laude” Magister Hukum Pemerintahan Universitas Airlangga Surabaya