Jakarta, b-Oneindonesia – Masyarakat menilai demokrasi Indonesia hari ini mundur sangat jauh. Penilaian ini didasarkan pada empat indikator yakni terkait supremasi hukum, kebebasan sipil, partisipasi sipil, dan perlindungan hak asasi manusia. Penilaian ini tentunya membuat kita semua menjadi miris.
Menengok ke belakang, sebelumnya Indonesia pernah dipimpin oleh seseorang dengan latar belakang militer. Namun takjubnya, dalam penerapan nilai-nilai demokrasi, ia jauh lebih sipil dari pemimpin sipil yang pernah menjadi Presiden RI. Ya, namanya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), seorang pria kelahiran Pacitan 71 tahun yang lalu.
SBY, untuk pertama kali terpilih menjadi Presiden RI keenam yang dipilih oleh masyarakat melalui pemilu langsung pada tahun 2004. Buah yang diterimanya ini tentu tak ujug-ujug begitu saja. Apalagi reformasi yang terkesan “alergi” dengan pemimpin dari militer baru berlangsung beberapa tahun sebelumnya.
Keterpilihan SBY menjadi presiden tak bisa dilepaskan dari keberpihakannya pada sipil dimanapun ia ditugaskan sebagai militer. Misalnya, penanganan konflik panjang Aceh yang tak bisa dilepaskan dari pendekatan-pendekatan persuasif yang dilakukan SBY saat ia ditugaskan di negeri Serambi Mekkah jauh sebelum terjadinya perjanjian damai Helsinki. Lalu, pro aktifnya SBY dalam menuntaskan amanat reformasi yang menghendaki terjadinya reformasi ABRI, dan banyak lagi lainnya. Kedekatan pemikiran SBY dan rakyat inilah yang membuatnya terpilih pada 2004.
Menjadi presiden, SBY tak meninggalkan komitmennya untuk tetap terkoneksi dengan harapan rakyat. Jauh sebelum viralnya istilah blusukan, SBY selalu hadir dalam suka maupun duka yang dialami rakyat. Dia hadir dalam setiap peristiwa yang menghiasi perjalanan bangsa. Tak ada yang terlewatkan. Dalam berbagai kegiatan keagamaan ia hadir, dalam keberagaman adat dan budaya yang tersebar di seluruh nusantara ia hampiri, bahkan dalam setiap duka kebencanaan ia pun berdiri paling terdepan, mencatat segala bentuk keresahan maupun kehendak rakyat yang paling mendasar.
Sekalipun SBY selalu berdiri di atas semua golongan, tapi pemerintahannya tak luput dari aksi massa bahkan tudingan miring dari pihak yang berseberangan. Namun, tak sekalipun SBY menggunakan kekuasaannya untuk meredam semuanya. SBY lebih memilih menjawab tudingan-tudingan miring dengan data, fakta, dan kinerja. Tak ada istilah buzzer yang menyerang oposisi secara membabi buta, tak ada pembredalan media oleh partai penguasa, dan tidak ada tindakan-tindakan abuse of power untuk menekan suara rakyat melalui institusi tertentu.
Menurutnya, semua itu adalah wajar dan merupakan cerminan dari wajah demokrasi. SBY menganalogikan kritik bak air yang mengalir, kritik harus disalurkan dan tidak boleh dibendung. Karena, kalau dibendung lama-kelamaan dam berkemungkinan pecah dan menggilas semua yang dilaluinya. Maka tak heran, selama 10 tahun kepemimpan SBY menjadi presiden RI, indeks demokrasi Indonesia terus mengalami perbaikan dan kenaikan.
Setelah tak lagi menjadi kepala negara, komitmen SBY menjaga demokrasi terus dilakukannya. Tentunya kali ini dalam kapasitasnya sebagai seorang negarawan. Salah satunya adalah dengan menolak dan menentang polarisasi politik identitas yang membelah masyarakat sejak Pilkada 2017 hingga Pilpres 2019. Memang, langkah SBY ini tidak populer dan tidak menguntungkan bagi partai yang dibesarkannya (Partai Demokrat) di tengah pembelahan dua arus yang saling berhadap-hadapan. Tapi sekali lagi, bagi SBY keutuhan bangsa dan perjuangan atas nilai-nilai demokrasi jauh lebih penting dari sekedar kekuasaan semata.
Terima kasih Pak SBY. Teruslah menjadi guru bangsa dan Selamat HUT pada hari ini bersamaan dengan Dirgahayu Partai Demokrat ke 19