Oleh : Galih Andreanto Mahasiswa S2 Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, IPB
Pangan menjadi problem krusial akibat merebaknya covid-19. Pandemi telah mendisrupsi tata kelola pangan global, yang mencirikan kecenderungan deglobalisasi. Ini momentum pendongkrak memutakhirkan pertanian pangan nasional. Pandemi ibarat sebuah portal, sebuah pintu gerbang di antara satu dunia dengan dunia berikutnya. Keniscayaan transformasi pada lanskap ini semakin sulit dielakan.
Data BPS (5/8/2020) menunjukan bahwa, sektor pertanian menjadi yang terkuat sebagai penolong ekonomi nasional di masa pagebluk. BPS merilis bahwa lapangan usaha pertanian menyumbang PDB 16,24% pada triwulan II-2020 (Q-to-Q), menjadi yang tertinggi di antara lapangan usaha lain. Namun, secara jangka panjang sektor pertanian berada pada pergulatan tantangan yang tak mudah. Kecilnya luasan lahan yang diusahakan oleh rumah tangga petani menghambat input teknologi. Sempitnya penguasaan lahan – produktifitas tenaga kerja menjadi rendah dan alokasi waktu kerja pertanian yang padat karya menjadi minim. Dapat diprediksi hasil panen rendah dan berbiaya produksi tinggi.
Untuk menuju transformasi pertanian yang mutakhir untuk berlintas-lintas generasi ke depan – fase transisi sangatlah menentukan. Sayangnya, saat ini industrialisasi pertanian pangan seolah mandeg. Hal itu ditandai dengan masih rendahnya produktifitas pertanian pangan nasional. Neraca perdagangan beras, jagung dan kedelai masih mengandalkan impor. Selama 2009-2013 impor komoditas pangan meningkat lebih dari seratus persen (BPS, 2015). Tren ini berlanjut hingga 2019, neraca perdagangan pangan selalu defisit.
Dari segi jumlah aktor, angka petani rumah tangga terus merosot. Menurut sensus pertanian 2013, jumlah rumah tangga petani dalam satu dekade menurun menjadi 26.135.469 dari 31.232.184 pada 2003. Dari segi usia, petani didominasi (>50%) oleh kelompok usia di atas 50 tahun. Kelompok usia muda 20-24 tahun yang berprofesi sebagai petani tanaman pangan, khususnya tanaman padi dan jagung hanya di bawah satu persen (BPS 2015).
Situasi ini menandai posisi industrialisasi pertanian yang stagnan. Cirinya adalah terlalu banyak petani gurem yang berjubel di lahan yang sempit. Setidaknya ada 24.042.229 rumah tangga usaha pertanian yang menguasai lahan pertanian kurang dari dua hektar, dan 15.890.427 diantaranya hanya menguasai kurang dari setengah hektar (SUTAS BPS 2018).
Pada 2018, FAO mengungkapkan bahwa 93 persen petani di Indonesia adalah petani kecil yang menguasai lahan 0.6 hektar per rumah tangga. Data tersebut memperlihatkan betapa padat dan guremnya petani pangan di Indonesia. Kemiskinan akses lahan dipertajam dengan ancaman eksklusi, komodifikasi, konversi dan fragmentasi lahan.
Henry Bernstein dalam “Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria” menyatakan bahwa, pertanian rumah tangga skala kecil identik dengan penguasaan lahan kurang dari dua hektar, ketergantungan pada tenaga kerja keluarga, berorientasi subsistensi dan penggunaan teknologi yang rendah. Teori itu seakan menemukan realitasnya. Hasil Survei Pertanian antar Sensus (SUTAS) 2018 menyatakan petani Indonesia pengguna internet hanya 4.501.415 orang, sementara yang tidak menggunakan internet 28.986.391 orang. Jika keterbelakangan ini terus dibiarkan, maka tidak ada surplus yang didistribusikan dan diperuntukan untuk kecukupan pasokan pangan nasional. Terobosan memutakhirkan sektor pertanian urgen, agar petani dapat merasakan sejahtera, adil dan mendukung kedaulatan pangan.
Turunnya jumlah aktor yang mengusahakan lahan pertanian berbasis rumah tangga dapat dimaknai sebagai peluang. Dimana akan semakin sedikit orang dalam satuan luasan lahan. Potensi produktifitas tenaga kerja di sektor pertanian dapat diraih. Namun, penyebab merosotnya jumlah petani harus dapat diatasi akar persoalannya. Berkurangnya rumah tangga petani dipengaruhi prospek pertanian pangan yang penuh ketidakpastian, tingginya resiko alam, rendahnya pendapatan dan marginalnya pengusahaan tani.
Rasionalitas ekonomi usaha tani marginal tidak mampu menyediakan pendapatan yang cukup sebagai mata pencarian utama. Kenyataan itu seturut dengan konsep J.H. Boeke, yang menemukan ekonomi dualistik di pedesaan. Boeke menemukan dua sub-struktur dalam pertanian di Jawa yang berkembang bersamaan, namun saling terpisah, yaitu antara sub-struktur kapitalis dan sub-struktur pra kapitalis. Itu dapat dilihat dari diversifikasi mata pencarian di pedesaan, dimana alokasi waktu kerja diperuntukan untuk bekerja di lahan sendiri dan di waktu yang lain menjadi buruh. Keterbelakangan penghidupan pedesaan yang erat dengan pertanian harus menjadi pecutan energi bagi transformasi pertanian masa depan.
Pertanian masa depan dibayangkan dengan transformasi usaha tani yang modern, melek teknologi, berjejaring dengan berbagai relasi luar desa dan mengarusutamakan riset dan sains. Negara berperan untuk menyediakan lahan, jaminan resiko, subsidi dan penyerapan panen. Hal ini untuk menjaga kestabilan, keberlanjutan dan mempertinggi produktifitas demi menjaga gairah pengusahaan pertanian pangan.
Produktifitas merupakan masalah pokok bagi kesejahteraan, kecukupan pasokan dan efektifitas antara energi keluar dengan hasil. Produktifitas sangat dipengaruhi juga oleh luasan lahan, teknologi dan peralatan. Produktifitas juga dipengaruhi aspek kualitas tenaga kerja, mencakup pengetahuan, metode budidaya, input benih, pupuk, serta penguasaan terhadap teknologi. Kapasitas dan keterampilan tenaga kerja pertanian mendeterminasi hasil konkret dari usaha tani. Capaian yang hendak kita tuju adalah produktifitas tenaga kerja yang mampu menyediakan surplus produksi dan memperbesar skala ekonomi pertanian pangan. Pertanian masa depan yang cocok dengan budaya dan corak Indonesia adalah pertanian yang dikerjakan oleh tenaga kerja keluarga dengan ketercukupan lahan untuk menghasilkan surplus produksi. Hal itu demi meraih produktifitas lahan dan tenaga kerja dengan indikator hasil panen.
Relasi dan Spesialisasi Kerja
Konsep pembagian spesialisasi kerja diteorikan oleh Emile Durkheim, yang menekankan bahwa dunia modern dan rasional akan ditentukan dengan pembagian kerja terspesialisasi terintegrasi. Spesialisasi atau pembagian kerja dapat berkolerasi positif bagi produktifitas.
Aktifitas pertanian identik dengan kolaborasi dalam ekosistem hulu hingga hilir. Relasi pokok itu antara lain, relasi penguasaan tanah, relasi serapan panen, relasi penguasaan produksi pasca panen, pemberian insentif dan penjaminan resiko. Identifikasi relasi dan aktor menjadi elemen penting, seperti pihak mana yang memproduksi benih unggul, pupuk tepat guna dan penyediaan air dan infrastruktur. Relasi penting lainnya adalah kerjasama dengan penghasil teknologi seperti alat dan mesin pertanian termasuk pelatihan dan pendidikan untuk meningkatkan kapasitas alih teknologi.
Relasi kerja secara keseluruhan akan menggambarkan corak ekonomi dalam sektor pertanian. Seluruh hubungan relasi yang melibatkan para aktor dapat diorganisasikan secara kolektif. Pengikat yang kuat adalah budaya kerja sama yang masing-masing punya spesialisasi kerja terintegrasi. Peran koperasi dapat dipergunakan relevansinya secara fungsional dalam kerangka memutakhirkan sektor pertanian. Koperasi secara kelembagaan memadukan corak kerja sama kolektif dengan spesialisasi pembagian kerja berazas kekeluargaan. Institusi itu akan memimpin permufakatan pengumpulan modal, pengorganisasian jasa, pembagian kerja dan pembagian hasil usaha. Koperasi merupakan wahana mengakselerasikan kesetaraan dan keadilan dalam satu nafas berazas kekeluargaan.
Negara dapat menjadi pelopor dalam hal persiapan kelembagaan ini. Syarat utama yang harus dimiliki adalah Big data yang transparan dan akuntabel. Big data kelak dikelola melalui teknologi informasi dan telekomunikasi sebagai alat bantu perencanaan dan pengambilan keputusan. Data dan informasi itu antara lain, objek sumber agraria berupa lahan yang siap dimanfaatkan petani. Big data kedua adalah data subjek tenaga kerja pertanian penerima manfaat redistribusi tanah. Informasi subjek itu dibutuhkan untuk mengetahui siapa saja yang saat ini menjadi petani gurem dan landless, serta siapa saja yang belum memiliki pengalaman, kapasitas dan keterampilan bertani bagi aktor di luar kategori petani, namun berniat menjadi petani. Ini untuk mempersiapkan program pendidikan dalam kerangka spesialisasi kerja.
Big Data berguna untuk mengetahui kebutuhan lahan redistribusi, durasi waktu kerja pertanian, hasil panen, kendala, serta keterbukaan harga input dan hasil panen. Kekayaan data ini berguna bagi digitalisasi produk yang dapat memutus rantai distribusi yang selama ini memfluktuasi harga pangan.
Pandemi adalah kesempatan emas bagi pembangunan pertanian nasional. Perjuangan ini butuh kepemimpinan yang kuat. Pandemi membuka hikmah perlunya terobosan untuk membangun pertanian nasional, sehingga kita selalu siap menghadapi masa depan yang mungkin saja memunculkan pandemi yang lebih dahsyat.