Oleh: Usman Kansong, Dewan Redaksi Media Group
TAK berapa lama selepas Pilkada DKI 2017, beredar tulisan Eep Saefulloh Fatah di media sosial. Eep menulis jangan cengeng dengan penggunaan agama dalam pemilu. Toh, kata Eep, pilpres di Amerika juga menggunakan agama sebagai senjata politik. Eep menunjuk pilpres Amerika yang mempertandingkan Richard Nixon dan John F Kennedy sebagai contoh pilpres yang menggunakan agama sebagai senjata politik. Sebagai konsultan politik pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, Eep seperti hendak membenarkan penggunaan agama di Pilkada 2017.
Bersamaan dengan itu, di grup pertukaran pesan yang saya ikuti beredar kover buku God Strategy: How Religion Became Political Weapon in America (2010). Karena penasaran ingin tahu penggunaan agama sebagai senjata politik di negara kampiun demokrasi itu, saya pada 2017 membeli buku karangan David Domke dan Kevin Coe itu dengan memesannya terlebih dulu melalui toko buku yang menjual buku-buku berbahasa asing di Jakarta.
Saya membaca, untuk menggambarkan bagaimana agama digunakan dalam politik di Amerika Serikat, Domke dan Coe mengutip pidato pelantikan Presiden Barack Hussein Obama: “We know that our patchwork heritage is a strength, not a weakness. We are a nation of Christians, Muslims, Jews, and Hindus and nonbelievers.”
Domke dan Coe juga mengutip pidato John F Kennedy yang sangat terkenal pada September 1960: “I believe in an America where the separation of Church and state is absolut; where no Catholic prelate would tell the President—should he be a Catholic—how to act, and no Protestant minister would tell his parishioners for whom to vote.”
Dari pidato Obama dan Kennedy itu tergambar agama digunakan sebagai strategi politik dalam konteks demokrasi, kesetaraan, dan keberagaman, juga sekularisme. Penggunaan agama dalam konteks politik semacam itulah yang menyebabkan Barack Obama yang punya darah muslim dalam dirinya serta John F Kennedy yang minoritas Katolik bisa menjadi presiden di Amerika yang mayoritas penduduknya beragama Protestan.
Itu jelas berbeda dengan penggunaan agama di Pilkada DKI 2017 secara brutal demi menghadang Basuki Tjahaja Purnama, kandidat dengan minoritas ganda Tionghoa dan Kristen, menjadi gubernur.
Pada 2017 dalam satu kunjungan ke Amerika, saya membeli buku A History of the American People karangan Paul Johnson.
Di buku yang terbit 1999 itu terdapat kutipan pernyataan Nixon kepada ajudannya, Pete Flanigan. Nixon berkata: “Pete, here’s one thing we can satisfied about. This campaign has laid to rest for ever the issue of a candidate’s religion in presidential politics. Bad for me, perhaps, but good for America.” Nixon menolak menggunakan agama sebagai senjata atau strategi politik meski ia harus kalah dari Kennedy.
Penolakan penggunaan agama sebagai identitas juga terjadi pada Pilpres Amerika 2008. Ketika itu Barack Obama dan John McCain bersaing merebut kursi presiden AS. Dalam sebuah kampanye, seorang ibu pendukung McCain menyebut Obama Arab, muslim, dan teroris.
McCain menjawab, “Tidak, Bu, Obama bukan Arab, bukan pula teroris, kita tidak perlu menebarkan kebencian seperti itu. Dia warga negara Amerika Serikat yang baik dan memiliki perbedaan konsepsi dengan saya, dan itulah mengapa kami berkompetisi dalam pilpres kali ini.” McCain kalah dari Obama.
Orang berharap Anies melakukan serupa yang dilakukan Nixon dan McCain. Anies ternyata sekurang-kurangnya menikmati penggunaan agama di Pilkada DKI 2017. Anies tidak mengikuti jejak Nixon dan McCain, mungkin karena takut kalah. Anies bukan negarawan. Anies lebih memilih dirinya menang meski rakyat terbelah dan demokrasi kalah.
Belakangan beredar foto Anies Baswedan sarungan membaca buku “Why Democracies Die”. Saya membeli buku itu pada 2018, beberapa bulan setelah buku terbit, di toko buku yang menjual buku berbahasa Inggris di Jakarta. Saya, minus sarungan dan tanpa difoto serta diviralkan, membaca buku karangan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt itu untuk keperluan penulisan disertasi saya.
Buku Why Democracies Die menjelaskan kematian demokrasi akibat populisme Donald Trump pada Pilpres Amerika 2016. Populisme Trump ialah populisme sayap kanan yang menggunakan idiom agama, ras, etnik, pribumi-nonpribumi. Pilpres Amerika 2016 serupa Pilkada DKI 2017. Orang ramai merespons foto Anies sarungan membaca buku Why Democracies Die itu.
Tak sedikit yang merespons positif. Banyak yang mengkritik. Saya cuma berharap, Anies tidak sedang belajar membunuh, tetapi menghidupkan, demokrasi. Saya berharap, siapa tahu Anies bertarung di Pilpres 2024, ia tidak ketagihan menggunakan agama atau sekurang-kurangnya menikmati penggunaan agama. Taruhannya fatal, yakni terbelahnya rakyat dan matinya demokrasi.