Jakarta, b-oneindonesia- Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah memaparkan kompetisi politik dapat dikatakan sudah mencapai rekonsiliasi. Namun, pembelahan yang berlatar belakang ideologis tampaknya masih memerlukan perhatian khusus dari kearifan segenap stakeholder dan seluruh komponen bangsa.
“Ada beberapa hal yang menunjukkan hal tersebut. Pertama rekonsiliasi di tataran elite politik sudah cair. Sebagai salah satu parameternya adalah pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2019 telah dihadiri segenap kontestan pemilu,” ujar Basarah, Rabu (30/10/2019).
“Sebelumnya rekonsiliasi juga telah ditunjukkan oleh serangkaian pertemuan yang melibatkan aktor-aktor politik utama,” imbuhnya.
Hal tersebut disampaikan Basarah saat menjadi pembicara diskusi publik ‘Rekonsiliasi Nasional: Apa, Untuk Apa, dan Bagaimana?’ yang digelar Center for Dialogue and Cooperation Among Civilization (CDDC) di kantor CDCC, Jakarta pada Rabu, (30/10/2019).
Selain Basarah, beberapa narasumber yang hadir dalam acara tersebut hadir Ketua CDCC Din Syamsuddin, Ketua Umum Partai PAN yang juga Wakil Ketua MPR RI periode 2019-2024 Zulkifli Hasan, dan dosen tetap Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia Chusnul Mar’iyah.
Basarah menjelaskan, hal kedua yang harus jadi perhatian ialah rekonsiliasi di tataran sosiokultural. Menurutnya, ini lebih bagaimana menyadarkan dan memulihkan kondisi antar masyarakat kepada kondisi semula.
Meskipun pelaksanaan Pemilu 2019 sudah usai, namun segregasi di dalam masyarakat menjadi agenda mendesak yang harus dituntaskan. Hal ini perlu peran tokoh masyarakat dan tokoh agama mengingat karakter masyarakat Indonesia masih patron-klien.
Adapun hal ketiga, kata Basarah, rekonsiliasi yang sifatnya ideologis. Hal ini terlihat jelas dengan adanya wacana di sebagian masyarakat yang mempersoalkan kembali relasi antara negara dan agama, antara Islam dan Pancasila, serta mempertentangkan bentuk NKRI dengan bentuk Khilafah.
Lebih lanjut Basarah menjelaskan, bahkan pihak ini berusaha mempraktikkan kembali politik Divide et Impera atau politik adu domba antara golongan Islam dan Nasionalis serta ingin memecah belah soliditas TNI dan Polri.
“Rekonsiliasi dalam tataran ideologis yang menjadi parameternya adalah ketika segenap anak bangsa kembali kepada kesepakatan dasar bernegara. Jangan ada nasionalisme phobia dan Islam phobia. Di sini kita berupaya mengajak kembali segenap anak bangsa kembali ke jalan Pancasila,” jelas Basarah.
Oleh karena itu untuk menuntaskan proses rekonsiliasi tersebut, lanjut Basarah, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, elite politik harus memberi edukasi politik kepada masyarakat luas bahwa Pemilu hanyalah agenda lima tahunan. Pemilu bukan peperangan tetapi sekedar kompetisi.
Kedua, pendiri bangsa sepakat menetapkan Sistem Demokrasi Indonesia yang menjunjung tinggi keadaban politik dengan pijakan Hikmat Kebijaksanaan dan Musyawarah Mufakat. Dengan demikian, segenap tokoh agama dan tokoh masyarakat harus memberikan suri teladan bahwa lawan berkompetisi adalah teman berdemokrasi dan lawan berdebat adalah teman berpikir.
“Ketiga, peran stakeholder termasuk di dalamnya segenap instansi pemerintah untuk mengajak masyarakat kembali kepada konsensus berbangsa dan bernegara. Seperti Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika dan tidak mengutak-atik apalagi mengkompromikan hal-hal yang bersifat fundamental demi meraih kekuasaan,” kata Basarah.
Ketua CDCC Din Syamsuddin memaparkan bahwa tingkat kerukunan kehidupan umat beragama di Indonesia sudah cukup harmonis dan bagus, namun faktor politik telah mengganggu keharmonisan tersebut.
Menurutnya, rekonsiliasi ke depan tidak hanya sebatas rekonsiliasi politik semata. Rekonsiliasi juga tidak hanya sebatas akomodasi dalam struktur kekuasaan dan kabinet belaka. Syarat utama rekonsiliasi adalah saling mengakui kesalahan, saling memaafkan, dan membangun kerja sama sinergis.
“Rekonsiliasi akan terus kita lakukan dengan membangun dialog terus menerus. Upaya saling memaafkan harus berujung kepada kerja sama. Tidak hanya di tataran politik saja, melainkan juga di level ekonomi,” ujar Din Syamsuddin.