Legislator baru dan Harapan publik di Parlemen Senayan

Jakarta, b – oneindonesia – Berakhir sudah jabatan DPR RI setelah 5 tahun menjalankan tugas mereka sebagai wakil rakyat. Pemilihan umum (pemilu) adalah satu wujud negara demokratis. Setiap 5 tahun sekali kita berhak memilih siapa saja yang berahak menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilhan umum pada pasal 2 “Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.” Artinya masyarakat berhak menentukan pilihannya menurut hati nurani mereka sendiri tanpa andanya paksaan, karena pilihan mereka menentukan nasib mereka sendiri selama 5 tahun.

Tentunya dalam masa jabatan DPR RI banyaknya permasalahan yang menyangkut kepentingan rakyat, kinerja para anggota dewan selalu manjadi sorotan masyarakat indonesia, terutama mengenai berbagai kontroversi yang terjadi dalam perjalanan lima tahun ini.

Kalau kita berkaca bagaimana perjalanan DPR selama satu periode, apa saja permasalahan yang di timbulkan serta tentunya berapa banyak RUU yang sudah disahkan? Berdasarkan dataPeneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) pencapaian legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) 2014-2019 lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya. Tercatat DPR periode 2014-2019 hanya mengesahkan 84 Rancangan Undang-Undang (RUU) dengan komposisi 49 kumulatif terbuka dan 35 program legislasi nasional (Prolegnas).

Pada periode sebelumnya, DPR mengesahkan 125 RUU dengan komposisi 56 RUU kumulatif terbuka dan 69 RUU dalam Prolegnas. Selain itu terdapat empat RUU tambahan Prolegnas yang tidak terencana serta dikebut pada penghujung masa jabatan DPR, seperti revisi ketiga Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan revisi UU Perkawinan.

Akan tetapi tidak begitu menjadi prioritas utama tentang berapa banyak RUU yang sudah disahkan DPR pada periode 2014-2019 tetapi yang menjadi polemik adalah apakah kualitas dari RUU yang akan disahkan sudah diterima oleh rakyat atau belum? Hal itu wajar jika setiap pembuatan dan pengeshan RUU menarik untuk diikuti.

Rancangan Undang-Undang yang sangat menarik perhatian dikalangan masyarakat terutama mahasisawa adalah RUU KUHP dan RUU KPK dimana pada tahun 2019 ini menjadi tahun yang buruk bagi DPR. Karena RUU KUHP jika disahkan dianggap dapat berpontensi melggar hak asasi manusi (HAM) dan RUU KPK disebut akan melemahkan kewenangan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) untuk memberantas korupsi di indonesia yang tak kunjung usai, setiap tahun tindak pidana korupsi terus bertambah. RUU KUHPdan RUU KPK  dianggap tidak tepat untuk diterapkan, banyaknya protes yang berujung demo besar-besaran oleh mahasiswa seluruh indonesia untuk memperotes kinerja DPR RI.

Selasa, 24 september 2019 aksi demo pun terjadi, demo yang dilakukan oleh aliansi mahasiswa dan masyarakat sipil di berbagai daerah di indonesia.Demo tersebut digelar karena menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RUU KUHP) dan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Akibat demo tersebut setidaknya 232 orang menjadi korban dari aksi demonstrasi yang berlangsung di berbagai daerah, mulai dari Jakarta, Bandung, Sumatera Selatan hingga Sulawesi Selatan tersebut. Tak hanya dari kalangan mahasiswa saja yang terluka, sejumlah wartawan, masyarakat sipil dan aparat keamanan juga turut menjadi korban.
Bukan saja polemik RUU yang terjadi pada periode 2014-2019, juga masalah anggaran yang terus bertambah tetapi pencapainya sangat rendah Jika melihat APBN sepanjang 2015 hingga 2019, alokasi anggaran untuk wakil rakyat selalu meningkat. Dari Rp 3,6 triliun pada 2015, menjadi Rp 4,6 triliun pada 2019.

Masalahnya, peningkatan anggaran tersebut tidak diiringi dengan peningkatan kinerja DPR, khususnya di bidang legislasi. Total anggaran untuk legislasi 2015-2019 sebesar Rp 1,57 triliun atau rata-rata sebesar Rp 314,14 miliar per tahun. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam, jumlah anggaran untuk pembahasan satu RUU bervariasi. Jika dirata-ratakan dapat mencapai Rp 6,56 miliar per satu RUU. Meskipun anggarannya cukup besar yang diberikan untuk menunjang kinerja DPR dalam melakukan fungsi legislasi, akan tetapi DPR tidak mampu menghasilkan UU yang sudah direncanakan dengan baik.

Korupsi juga menjadi catatan hitam untuk DPR selama ini. Dimana dari data ICW menyebutkan terdapat 23 anggota DPR terjerat korupsi pada periode 2014-2019. Persebaran tertinggi terdapat pada partai yang memiliki suara tinggi, yaitu Golkar sebanyak 8 orang, serta PDIP, PAN, dan Demokrat sebanyak 3 orang.
Banyaknya permasalahan di DPR pada masa periode 2014-2019 dalam menjalankan fungsi legislasi dan juga sebagai wakil rakyat, tentu masyarakat berharap kepada anggota-anggota baru DPR periode 2019-2024 ini dapat melakukan perubahan agar melaksanakan tugas dengan lebih baik lagi. Pentingnya perubahan pada periode baru ini, agar DPR dapat mendengarkan lagi aspirasi masyarakat apa saja yang dibutuhkan oleh mereka haruslah menjadi prioritas utama dalam fungsi legislasi itu sendiri.

Ketua DPR periode 2019-2024 Puan Maharani menyatakan tidak ingin membuat banyak RUU pada periode DPR sekarang. “Kami pilih yang menjadi prioritas dan itu akan menjadi fokus bagi DPR ke depan,” ujarnya.
Meski begitu, masyarakat sepertinya tidak bisa berharap banyak kepada DPR yang baru bisa menyelesaikan banyak RUU atau tidak, yang menjadi harapan masyarakat agar RUU yang akan disahkan tidak menimbulkan kerugian dan rasa tidak nyaman mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *