Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR Papua, Boy Markus Dawir
Jayapura, b-Oneindonesia– Penunjukan Pelaksana Harian (Plh) Gubernur Papua kepada Sekda Papua, Dance Julian Flassy memicu polemik di Bumi Cenderawasih. Hal itu dinilai sebagai pengalihan isu terhadap revisi kedua Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR Papua, Boy Markus Dawir mensinyalir jika penunjukan Plh Gubernur Papua itu, sebagai pengalihan isu terhadap pembahasan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang kini tengah dibahas di DPR RI.
“Penunjukan Sekda Papua sebagai Plh Gubernur, itu dibuat untuk mengalihkan konsentrasi perhatian seluruh rakyat Papua terhadap pembahasan revisi kedua UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua di pusat. Jadi, Mendagri dan Dirjen Otda sengaja dorong hal itu, agar masyarakat Papua tidak konsentrasi terhadap revisi UU Otsus yang sementara dilaksanakan di DPR RI,” ungkap Boy Markus Dawir, Minggu, 27 Juni 2021.
Padahal, kata BMD, sapaan akrab Politisi Partai Demokrat Papua ini, revisi UU Otsu situ sangat penting dan berdampak terhadap Orang Asli Papua (OAP) di Tanah Papua.
Menurutnya, revisi UU Otsus yang tengah berjalan di DPR RI itu sangat penting, sehingga revisi kedua jika seluruh elit politik dan rakyat Papua tidak mengawal dengan baik, terutama DPR, MRP, bupati dan wali kota, pimpinan DPR provinsi, kabupaten dan kota serta masyarakat adat, maka akan rugi dalam 20 tahun ke depan.
“Jika kita terlalu banyak berpikir atau waktu kita terkuras habis membahas masalah Plh Gubernur itu, namun tidak konsentrasi dengan revisi UU Otsus di DPR RI, maka sudah pasti kita Orang Asli Papua akan rugi untuk 20 tahun ke depan. Nah, itu pengalihan isu. Jadi, sebenarnya yang mereka buat itu supaya bisa masyarakat dan elit ribut, sehingga dapat diketok di DPR RI. Nah, ini yang berbahaya,” tandasnya.
Untuk itu, Boy Dawir yang juga Sekretaris DPD Partai Demokrat Provinsi Papua ini menduga bahwa penunjukan Plh Gubernur Papua itu, sebagai bagian dari pengalihan isu terhadap jalannya revisi UU Otsus di DPR RI.
“Ya, itu pengalihan isu. Karena dalam hitungan-hitungan strategi politik, itu sangat mempan untuk mengalihkan perhatian rakyat Papua, terutama para elit untuk bisa melakukan hal-hal yang kemudian akan berdampak hukum. Sedangkan, tuntutan masyarakat asli Papua hari ini, terkait misalnya terkait perubahan pasal 1 huruf t UU Otsus terkait definisi keaslian orang asli Papua yakni yang diangkat dan diakui itu, diminta untuk dihapus,” katanya.
Selain itu, juga ada tuntutan agar bukan hanya gubernur dan wakil gubernur saja yang orang asli Papua, tetapi juga ada tuntutan agar bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota harus orang asli Papua, termasuk pimpinan DPR di provinsi, kabupaten/kota harus orang asli Papua.
Tidak hanya itu, juga ada tuntutan agar Otsus bukan hanya berlaku di provinsi saja, tetapi juga berlaku di kabupaten/kota, sehingga revisi kedua UU Otsus itu harus betul-betul berlaku di provinsi dan kabupaten/kota yang selama ini diminta oleh para bupati dan wali kota.
“Itu juga tuntutan selama oleh bupati dan wali kota di Papua bahwa Otsus juga berlaku di daerah mereka dan juga nanti hanya UU Otsus berlaku di kabupaten/kota juga. Karena selama ini, hanya UU Otsus berlaku di provinsi, sedangkan kabupaten/kota pakai UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Nah, akhirnya UU Otsus tidak bisa berjalan baik di kabupaten/kota di Papua,” paparnya.
Dikatakan, terkait kursi pengangkatan, mestinya bukan hanya berlaku di DPR Papua, tetapi juga harus berlaku di DPRD kabupaten/kota di Papua.
“Dengan berlakunya UU Otsus di kabupaten/kota, maka penyebutan DPRD kabupaten/kota akan berubah menjadi DPR Kabupaten/Kota,” ujarnya.
BMD mengingatkan agar seluruh elit dan masyarakat di Papua agar tidak terjebak dengan permainan Mendagri dan Dirjen Otda dengan penunjukan Sekda Papua menjadi Plh Gubernur tersebut.
“Kita harus cari jalan dan segera untuk membuka komunikasi dengan DPR RI, sehingga saya sangat mengharapkan semua elit politik Papua yang menjabat dipercaya rakyat seperti para bupati dan wali kota, pimpinan dan anggota DPRD yang orang asli Papua agar bersama-sama membangun kekuatan untuk mengawal revisi UU Otsus di DPR RI saat ini,” katanya.
Apalagi, kata BMD, jika pada 5 Juli 2021, revisi UU Otsus itu sudah masuk dalam ranah panja – panja di DPR RI,sehingga perlu segera membuka komunikasi – komunikasi untuk mendorong keinginan dan aspirasi dan kepentingan rakyat Papua untuk masuk dalam revisi UU Otsus itu, bukan hanya dua pasal saja agar ke depan tidak ribut lagi.
“Mari kita satukan kekuatan untuk minta itu. Kita kan minta dalam bingkai NKRI, bukan minta merdeka. Tapi kita minta sesuai aspirasi itu untuk disiapkan dan dimasukkan dalam revisi UU Otsus itu, sehingga kepentingan rakyat Papua itu, dalam bingkai NKRI masuk dalam UU Otsus, sehingga ketika masuk ke event politik dan keberpihakan kepada masyarakat adat dan lainnya, nah itu sudah bisa masuk terakomodir dalam UU Otsus nantinya dan tinggal dilaksanakan atau diimplementasikan,” ujarnya.