Pembenahan Harus Segera dilakukan Parlemen Baru

Jakarta, b-oneindonesia- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berjumlah 575 Periode 2019-2024 resmi dilantik dan mengangkat sumpah dipandu Ketua MA M. Hatta Ali. Tantangan lembaga legislatif yang kini dipimpin Puan Maharani ini diperkirakan semakin berat dan tidak mudah dalam 5 tahun ke depan. Terutama dalam menjalankan fungsi pengawasan dan legislasi yang kinerja DPR periode sebelumnya dinilai tidak optimal.  
 
Sekretaris Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Totok Yulianto menilai bagi sebagian pihak merasa parlemen baru tidak akan banyak memberi perubahan. Mengingat 56 persen anggota DPR yang terpilih itu merupakan petahana atau wajah-wajah lama. Asal partainya pun tidak banyak perubahan. Anggota DPR yang mayoritas adalah petahana itu telah mendapat kritik keras dan mosi tidak percaya dari masyarakat.
 
“Namun, masuknya beberapa anggota DPR baru diharapkan membawa semangat baru, maka DPR seharusnya sudah harus mulai berupaya memulihkan kepercayaan rakyat kepada lembaga legislatif dengan cara segera berbenah diri,” ujar Sekretaris Nasional Pengurus Besar Bantuan Hukum dan HAM dalam keterangannya, Minggu (3/11/2019). 
Dia menilai berkaca dari kinerja DPR periode 2014-2019 kerap menuai kontroversi di tengah publik. Mulai 23 anggota DPR yang terjerat kasus korupsi; minimnya Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN); revisi UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3). Berlanjut, kontroversi seleksi Capim KPK dan pemilihan ketua KPK, hingga pengesahan RUU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang dinilai melemahkan KPK.
 
Tak hanya itu, di penghujung berakhirnya masa jabatan DPR, justru para wakil rakyat ini melakukan kesalahan fatal di bidang legislasi – meski sebagian pengesahan sejumlah RUU ditunda – dalam proses pembahasan dan pengesahan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU). Sebab, prosedur dan substansi sejumlah RUU tersebut dinilai bermasalah, seperti proses pengesahan revisi UU KPK yang kini sudah menjad UU.
 
“RUU ini tergesa-gesa (midnight law) disahkan tanpa melibatkan masyarakat. Karena itu, PBHI mendorong anggota DPR periode 2019-2024 sebagai wakil rakyat harus mengembalikan kepercayaan publik, bukan sebagai alat legitimasi kekuasaan semata,” tegasnya.   
 
Dia juga meminta anggota DPR terpilih melakukan evaluasi dalam proses perumusan dan pembahasan RUU yang mendapat penolakan masyarakat. Seperti revisi UU KPK, RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Minerba, RUU Pemasyarakatan baik proses pembahasan maupun substansinya.

 
“Kita meminta pembahasan kebijakan ke depan harus mendengarkan aspirasi rakyat serta melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam proses pembahasan secara substantif, bukan hanya formalistik,” harapnya.
 
Guna membenahi sektor hukum dan HAM, PBHI juga meminta DPR dan pemerintah segera merevisi KUHAP dan mengevaluasi UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Mengingat akhir-akhir ini gejolak sosial dan politik telah menelan banyak korban akibat tindakan represif dan proses penegakan hukum yang semakin tidak terkontrol saat menyikapi demonstrasi rakyat.
 
“DPR yang baru harus bertindak kritis dan obyektif sesuai kewenangan (fungsi pengawasan) yang dimiliki dalam mengawal jalannya pemerintahan saat ini. Sebab, semangat pemerintah dalam pembangunan dengan mendorong investasi besar-besaran, berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan dan merugikan kepentingan masyarakat,” kritiknya.  
 
Bahan pembelajaran
Terpisah, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai kinerja legislasi dari tahun ke tahun tak pernah mengalami peningkatan dalam hal merampungkan pembahasan sejumlah RUU dalam daftar Prolegnas. Misalnya, periode 2015-2018, DPR hanya mengesahkan tak lebih dari 20 RUU yang disahkan menjadi UU. Berbeda di 2019, sistem kebut pembahasan dilakukan di penghujung masa periode berakhirnya DPR.
 
Lucius melihat kebiasaan mengulang revisi pada periode DPR dan pemerintahan yang sama membuktikan lemahnya kualitas produk legislasi di DPR. Hal ini disebabkan pembahasan beberapa RUU tanpa melalui prosedur standar, tanpa alasan pendukung mendasar atau urgensi RUU tersebut. “Ini membongkar borok DPR yang melahirkan UU tak berkualitas karena cenderung mengakomodasi keinginan elit, bukan kebutuhan (kepentingan) rakyat,” kata dia.

 
Menurutnya, selama ini kepentingan mendasar sejumlah RUU dihadirkan secara dadakan di penghujung periode DPR. Hal ini dapat disimpulkan hanya untuk mencapai misi bersama para elit politik. Terlebih, pembahasan sejumlah RUU secara kilat bisa selesai yang tak direncanakan di akhir periode didorong kebutuhan elit dalam melakukan transaksi dan bargaining politik.
 
Sementara, kata Lucius, partisipasi publik secara sadar diabaikan demi memuluskan permufakatan meloloskan RUU menjadi UU. Padahal, pengabaian terhadap masukan dan partisipasi publik melawan prinsip demokrasi dan konstitusi. “Wajar saja, UU yang dihasilkan cenderung tidak berkualitas,” kata dia.
 
Dengan kata lain, lanjutnya, periode 2014-2019 telah mengukir sejarah dengan kinerja yang tidak optimal selama 5 tahun ini. Terlebih, citra kelembagaan DPR dihiasi dugaan penyimpangan anggaran, pelanggaran kode etik, dan kemalasan yang melekat dalam pembahasan RUU bersama pemerintah.  
 
Dia mengingatkan catatan-catatan buruk DPR periode 2014-2019 semestinya menjadi bahan pembelajaran DPR periode 2019-2024. Meskipun mayoritas anggota DPR periode 2019-2024 masih diisi wajah-wajah lama, seharusnya sebagai manusia pilihan rakyat lewat Pemilu, mereka punya tekad melahirkan perubahan ke arah yang lebih baik.  
 
“Walaupun harapan untuk perubahan di DPR juga akan tergantung pula pada komitmen Parpol selain komitmen anggota DPR sendiri,” ujarnya. Baca Juga: Hasilkan 15 RUU, Kualitas Legislasi Dinilai Masih Lemah
 
Namun, Lucius berpendapat tanpa komitmen keinginan perubahan parpol menjadi mustahil, kinerja DPR bakal berubah signifikan. Dia menilai bila anggota DPR hanya menjadi “pekerja parpol” dipastikan tidak perubahan. “Kita berharap idealisme masing-masing anggota DPR dapat bersemi di periode 2019-2024. Kita butuh anggota DPR yang tak hanya menjadi ‘pekerja partai’, tetapi juga kritis dengan partai dan kekuasaan elit pada umumnya,” jelasnya.

Komentar