In Memoriam Jakob Oetama Sosok Guru & Ayah Ideologis Bagi Jurnalis

Jakarta, b-Oneindonesia – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo turut berbelasungkawa atas wafatnya tokoh jurnalistik sekaligus pendiri Kompas, Jakob Oetama. Tak banyak yang mengetahui, selain mengabdikan diri di dunia jurnalistik, Jakob Oetama juga pernah mengabdikan diri menjadi guru di SMP Mardiyuana, Cipanas, Jawa Barat (1952-1953), Sekolah Guru Bagian B di Lenteng Agung, Jakarta (1953-1954), dan SMP Van Lith di Gunung Sahari (1954-1956). Beliau juga pernah mengabdikan diri di parlemen sebagai anggota DPR RI dari Fraksi Karya Pembangunan, Golkar (1966-1982) serta anggota MPR RI dari Utusan Daerah (1987-1999).

“Bangsa Indonesia kehilangan salah satu putera terbaiknya. Namun kepergiannya tak akan sia-sia. Semasa hidupnya, peraih Bintang Mahaputera dari pemerintah Indonesia pada tahun 1973 ini telah mencurahkan diri dan pemikirannya untuk memajukan dunia jurnalistik. Lebih dari itu, beliau juga seorang budayawan sekaligus pelestari kebhinekaan. Menjadi penegas bahwa kecintaannya terhadap Indonesia tak perlu diragukan,” ujar Bamsoet menyampaikan duka citanya, di Jakarta, Rabu (9/9/20).

Bamsoet mengungkapkan, seusai lulus kuliah dan memulai karir di dunia jurnalistik sebagai wartawan di Harian Umum Prioritas pada tahun 1985, dirinya banyak mendapat inspirasi dari sepak terjang Jakob Oetama. Bagi para jurnalis muda seperti Bamsoet, sosok Jakob Oetama tak sekadar guru, melainkan juga menjadi ayah ideologis.

“Tak hanya mengajarkan, beliau merupakan wujud nyata dari perpaduan idealisme dan integritas. Cara beliau membesarkan Kompas bersama sahabatnya, PK Ojong, merupakan cerminan semangat gotong royong. Terlalu banyak cerita baik tentang beliau yang telah saya dengar dari para wartawan Kompas. Ia tak memperlakukan wartawan maupun karyawannya sebagai pekerja, melainkan sebagai aset berharga yang dirawat, dijaga, dan dikembangkan. Hingga menempatkan wartawan Kompas sebagai wartawan yang paling sejahtera,” tandas Bamsoet.

Lebih lanjut Bamsoet  meyakini, walaupun sosok Jakob Oetama sudah tak ada lagi, namun semangatnya akan tetap menemani. Ketekunannya membangun Kompas hingga menjadi sebesar ini, menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk tidak pantang menyerah menghadapi berbagai cobaan dalam hidup.

“Sosok Jakob Oetama juga termasuk pejuang demokrasi, simbol perlawanan terhadap otoritarianisme. Pada 2-5 Oktober 1965, serta 21 Januari 1978, Kompas pernah dilarang terbit. Namun Jakob Oetama tak bergeming. Baginya, memberikan informasi yang akurat tentang kondisi bangsa dan negara merupakan bagian dari tanggungjawab pers dalam mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujar Bamsoet.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *