Jakarta, b-oneindonesia- Ketua DPR RI Puan Maharani menyebut korupsi menghambat pembangunan ekonomi yang berkeadilan, menurunkan mutu fasilitas publik dan layanan publik, serta menghalangi upaya pembangunan manusia.
Maka itu, dalam memperingati Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia), Puan berpesan agar tindak pidana korupsi dan perilaku koruptif harus dihilangkan lewat upaya pencegahan dan penindakan.
“Namun perlu dipahami, keberhasilan gerakan antikorupsi tidak diukur dari seberapa banyak orang yang ditangkap dan dipenjara, tetapi berdasarkan nihilnya orang yang menjalankan tindak pidana korupsi,” ujar Puan Maharani, 10/12.
Oleh karena itu, lanjut Puan, perlu sebuah sistem yang mampu mencegah upaya-upaya tindak pidana korupsi. Upaya pencegahan, ujar dia, bisa dilakukan dengan menghilangkan metode tatap muka sehingga muncul kebijakan seperti penerapan e-tilang, e-samsat, e-procurement, e-budgeting dan e-planning.
“Langkah tersebut harus terus dilakukan disertai kebijakan memangkas regulasi atau debirokrasi untuk meningkatkan efisiensi pelayanan publik menjadi sederhana, cepat, dan transparan, sehingga tidak ada relevansi untuk menyuap,” ujar Puan.
Namun kebijakan ini dinilai belum sepenuhnya berhasil mencegah tindak pidana korupsi, sebab aksi pencegahan ini ada di hilir. Padahal, perilaku koruptif yang lebih berbahaya ada di hulu berupa korupsi kebijakan.
Untuk itu, DPR meminta Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi di mana KPK menjadi koordinator diperkuat dengan upaya pencegahan di sektor hulu.
Selain itu, ujar Puan, Strategi Nasional Pencegahan Korupsi perlu dikampanyekan secara masif agar masyarakat ikut terlibat dalam upaya-upaya pencegahan korupsi.
“Menanamkan perilaku dan sikap antikorupsi perlu dilakukan sejak dini sehingga perlu ada pelajaran anti-korupsi di sekolah. DPR mendukung upaya-upaya pencegahan tindak pidana korupsi dengan menerapkan prinsip DPR terbuka, transparan dan akuntabel,” ujar dia.
Menurut Puan, DPR juga akan membuat sistem untuk meminimalkan penyalahgunaan mekanisme lobi, terutama saat menjalankan fungsi legislasi sehingga lobi-lobi yang terjadi dalam penyusunan Undang-Undang tidak berpotensi menimbulkan tindakan korupsi.