Jakarta,b-Oneindonesia – Sejak kelahirannya Pancasila tidak pernah bermusuhan dengan agama-agama yang hidup dan berkembang di Indonesia. Pernyataan itu ditegaskan oleh Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah.
Bahkan, lanjut politikus PDIP itu, sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila merupakan sinergi dan sintesis antara agama dan nasionalisme. Karena itu, sangat salah apabila ada pihak yang menyebut musuh terbesar Pancasila adalah agama.
“Saya tidak sependapat dengan pernyataan Pancasila musuh Agama,” tegas Basarah saat menanggapi pernyataan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof. Yudian Wahyudi, yang menyatakan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama.
Basarah menduga kuat bahwa pernyataan Prof. Yudian bukan merujuk pada agama, tetapi menunjuk pada “kelompok-kelompok yang membawa agama” yang dalam semangat perjuangan politiknya ingin mereduksi Pancasila.
Namun, karena pernyataan tersebut sudah beredar luas di masyarakat dan dikhawatirkan menimbulkan salah paham bahwa Pancasila bertentangan dengan agama, maka menjadi tugas bersama untuk menjernihkan kesalahpahaman bahwa Pancasila bertentangan dengan agama.
“Dalam Pancasila justru terkandung nilai-nilai agama-agama dan Ketuhanan yang hidup di Indonesia,” paparnya.
Menurut Wakil Ketua MPR Bidang Sosialisasi 4 Pilar MPR RI ini, apa yang harus ditekankan saat ini adalah bahwa kelima sila yang terkandung dalam Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama apapun agamanya, bahkan dalam batas-batas tertentu kelima sila itu justru menjadi peneguh dari ajaran agama-agama dan nilai-nilai Ketuhanan yang diakui di Indonesia.
“Mari kita rujuk pada sejarah pembentukan Pancasila oleh para pendiri bangsa. Bung Karno sebagai anggota sidang BPUPK, dalam pidato 1 Juni 1945 tentang Pancasila senantiasa mengikutsertakan nilai-nilai Ketuhanan, termasuk saat menggali sila-sila Pancasila itu sejak awal,” ujarnya.
Doktor bidang hukum dari Univeristas Diponegoro Semarang ini mengajak semua pihak untuk merujuk kembali literatur pemikiran Bung Karno dan pendiri bangsa lainnya dalam berbagai dimensi, mulai dari ideologi, sosial, politik, ekonomi, hingga kebudayaan yang kesemuanya membuktikan tidak pernah melepaskan dimensi pemikirannya dari unsur-unsur Ketuhanan.
“Karena itu, tak mungkin Pancasila jauh dari dimensi nilai-nilai Ketuhanan, apalagi dipersepsikan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama,” paparnya.
Jejak sejarah bahwa Bung Karno juga membuktikan Islam dan nasionalisme bisa ditemukan dalam rankaian pembentukan Pancasila ketika atas inisiatifnya sendiri, Presiden Pertama Republik Indonesia itu mengubah Panitia Delapan menjadi Panitia Sembilan yang kemudian melahirkan naskah Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945.
Dari peristiwa pembentukan Panitia Sembilan tersebut terlihat jelas penghormatan Bung Karno terhadap kepentingan golongan Islam dan selalu ingin menjadi jembatan serta menjaga harmoni dan persatuan antara Golongan Islam dan Golongan Kebangsaan.
“Piagam Jakarta itu justru pada awalnya lahir atas inisiatif pribadi Bung Karno membentuk Panitia Sembilan,” katanya.
Saat hendak disahkan pada 18 Agustus 1945, lanjut Basarah, perubahan rumusan sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya” di dalam Piagam Jakarta dan berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” justru terjadi akibat hasil ijitihad dan persetujuan para alim ulama bersama para tokoh pendiri negara lainnya.
Kesepakatan itu demi mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan persatuan Indonesia.
Akhirnya, dengan disepakatinya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar pertama negara Indonesia merdeka, jadilah di satu sisi Indonesia sebuah negara yang bukan negara agama (atau negara satu agama), tapi di sisi lain juga bukan negara sekuler yang menyingkirkan sama sekali nilai-nilai agama dan Ketuhanan dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Saya berharap, dengan penjelasan historis ini menjadi semakin jelas bahwa Pancasila dan agama tidaklah bertentangan. Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara merupakan konsensus final yang disepakati para pendiri bangsa bersama para alim ulama dan tokoh-tokoh agama lainnya serta tokoh-tokoh kebangsaan yang telah bersepakat Pancasila sebagai kalimatunsawa atau titik temu di antara berbagai macam kemajemukan bangsa Indonesia,” tandas Dosen Universitas Islam Malang (UNISMA) itu.
Dengan demikian, Basarah melanjutkan, jika usai sidang BPUPK sejumlah tokoh Islam baik dari unsur Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah serta tokoh-tokoh nasional lainnya sudah menerima Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, mestinya polemik yang membenturkan Pancasila dengan agama tak boleh lagi terjadi.
“Dalam konteks inilah mengapa organisasi Islam NU pada Muktamarnya di Situbondo tahun 1984 menerima dan menegaskan Pancasila sebagai dasar negara yang bersifat final, sedang Muhammadiyah menyebut Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah dalam Muktamar ke-47 di Makassar, Sulawesi Selatan tahun 2015 lalu sebagai penegasan kembali komitmen kebangsaannya.
“Demikian juga dengan orma-ormas keagamaan lainnya, semuanya telah menerima Pancasila sebagai pegangan kehidupan berbangsa dan bernegara kita,” ujar Basarah.