ProDem Sebut Pengesahan Perppu Covid-19 Jadi Undang-undang oleh Rapat Paripurna DPR, Produk Cacat Hukum

Jakarta, b-Oneindonesia – Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDem) Iwan Sumule mengatakan, pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekenomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem keuangan, menjadi undang-undang oleh DPR, Selasa (12/5/2020), tidak sah dan cacat hukum.

Pasalnya, pengesahaan melalui sidang paripurna yang hanya dihadiri 41 anggota DPR secara fisik dan 255 oramg secara virtual itu cacat hukum dan inkonstitusional.
“Perppu 1/2020 disahkan jadi UU. Rapat paripurna hanya dihadiri 41 orang secara fisik dan 255 orang secara virtual. Sementara 279 orang tidak hadir. Rapat Paripurna Cacat Hukum dan Inkonstitusional. Selain tidak kuorum, paripurna secara VIRTUAL tak dimungkinkan dalam UU MD3. Harus dihadiri,” katanya melalui akun Twitter-nya, @IwanSumule, Rabu (13/5/2020).

Pasal 232 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) menyatakan; “Setiap rapat atau sidang DPR dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum”.
Sedang pasal 232 ayat (2) UU MD3 menyatakan : “Kuorum sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah fraksi, kecuali dalam rapat pengambilan keputusan terhadap pelaksanaan hak menyatakan pendapat”.

Sementara pasal 234 ayat (1) UU MD3 menyatakan : “Tata Tertib DPR ditetapkan oleh DPR dengan berpedoman pada aturan perundang-undangan”.

Saat Perppu itu disahkan DPR kemarin, dari sembilan fraksi di DPR hanya PKS yang menyatakan menolak, sehingga karena delapan fraksi lainnya, termasuk Demokrat dan Gerindra, setuju, maka Perppu pun diketok palu oleh Ketua DPR Puan Maharani, dan sah menjadi UU.

Sejak awal Perppu ini ditolak banyak kalangan dan bahkan telah digugat ke MK agar dapat dijudicial review.
Seperti pernah dituturkan mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua, sedikitnya ada enam hal yang membuat Perppu itu harus ditolak :

1. Perpu Nomor 1 Tahun 2020 termasuk korupsi politik karena seakan-akan dibuat untuk tujuan yang baik, tetapi hakikatnya untuk kepentingan golongan tertentu.
“Dalam hal ini kepentingan konglomerat dan elite politik busuk yang serakah dalam mempertahankan kekuasaan dan aset mereka,” katanya.

2. Perppu itu mengatur bahwa KPK tidak bisa menindak pihak-pihak yang terkait jika Perppu Covid-19 dilaksanakan.

3. Secara prosedural, penerbitan Perppu ini bertentangan dengan putusan MK Nomor 138 Tahun 2009 tentang persyaratan diterbitkannya Perppu, dan juga bertentangan dengan UUD 1945, karena dalam Perppu itu terdapat ‘pasal impunitas’ bagi para pihak yang terlibat dalam penggunaan keuangan negara, sehingga jika terjadi pelanggaran, mereka tak dapat ditindak secara hukum.
“Suatu kekebalan luar biasa yang bertentangan dengan UUD’45,” tegas Abdullah.

5. Pemerintah dapat menggunakan instrumen yang sudah ada untuk konteks penanganan Covid-19, yaitu UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU Nomor 4 Tahun 1988 tentang Wabah dan Penyakit Menular, dan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

6. Tanpa menerbitkan Perppu, pemerintah dapat mengikuti proses baku melalui APBNP untuk menyiapkan anggaran penanganan Covid-19.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *